Menjadi Guru

Maswito

Sahabat Kamis, 10 September 2009
Maswito

Dalam tradisi kebudayaan Melayu, seseorang yang memilih menjadi  “pendekar “, berarti memilih “jalan keris“. Sama halnya dengan tradisi dalam budaya Jepang, bilamana seorang memilih menjadi “shogun “, maka dia memilih “jalan samurai“. Jalan keris, atau jalan samurai, meskipun tercermin prilaku keras dan bau darah, tetapi dibaliknya senantiasa tertanam makna kebaikan, makna pengabdian. Karena, dalam tradisi dan pengabdian mereka, tidak semua hal harus ditegakkan dengan keris, atau dengan samurai. Tidak semua mesti menusuk dan membunuh.

Jalan keris dan jalan samurai , adalah simbol pilihan yang dilakukan dengan sepenuh hati, dengan segenap pertimbangan, dan dengan meperhitungkan dan menerima semua resikonya. Resiko menjadi seorang yang selalu berhadapan dengan perlawanan, dengan konflik, dengan pertentangan, dengan hidup mati, dan juga perlindungan . Tetapi, jalan itu juga jalan pengabdian untuk mencapai sebuah cita-cita hidup yang seimbang, selaras, dan bahagia dalam kondisi yang bagaimanapun.
 
Pilihan jalan untuk mengabdi dengan semangat untuk melakukan sesuatu yang dapat menjaga keseimbangan, menjaga keserasian, dan mencapai kebahagiaan batin itu jugalah sebenarnya pilihan “menjadi guru“. Pilihan ini, juga sebuah pilihan yang penuh tantangan, penuh tuntutan, dan penuh resiko. Inilah “jalan pena “, jalan yang ditempuh melalui urat darah kecerdasan, urat darah hati nurani, urat darah moral dan etika, dan urat darah keikhlasan. Karena itulah, sama dengan pilihan menjadi pendekar, menjadi  shogun, maka menjadi guru, adalah pilihan yang harus dipertimbangkan secara masak dan dengan hati yang lapang, hati yang teguh, karena dalam jalan yang ditempuh penuh dengan tuntutan dan cobaan. Jalan yang tak mudah membuat orang bahagia, kecuali mereka yang telah memilihnya secara sadar, dan tahu kemana dia akan pergi. Dan apa yang harus dia perbuat.
 
Sekarang ini, menjadi Guru (saya sengaja memakai huruf kapital, karena inilah sebuah pilihan sangat terhormat),  sebagaimana tercermin dalam kumpulan tulisan Maswito di dalam buku ini, tampaknya memang sebuah jalan yang penuh ketidakpastian. Bukan karena  jalan pena ini, adalah jalan yang salah. Tetapi  mereka yang memilih untuk menjadi guru, yang memilih jalan pena ini, adalah mereka yang tidak mempertimbangkan pilihannya secara ikhlas, dan tidak melakukan pilihannya secara sadar. Pilihan menjadi guru sekarang ini, adalah pilihan mencari jalan hidup yang pasti. Menjadi pegawai negeri, dan mendapat pensiun, setelah mengabdi 20 atau 30 tahun. Sikap memilih yang hanya berdasarkan agar dapat hidup dan “rasa aman“ itulah yang kemudian selalu menimbulkan rasa kecewa, rasa sesal, rasa marah, rasa tidak dihargai, rasa tidak diperlakukan secara adil. Cara memilih menjadi guru seperti ini, adalah sikap yang mengingkari dasar dan esensi dari “menjadi seorang guru“, yang sejak  dahulunya sudah diperlambangkan  “bagai sebatang lilin “. Dia menerima tugasnya untuk menerangi, dan dia menerima kenyataan setelah sumbunya habis, maka diapun padam dan tak pernah dikenang.
 
Hidup senantiasa berubah dan kehidupan moderen, memang telah mengubah segalanya. Termasuk konsep dan azaz memilih sebuah profesi dalam hidup. Pengaruh perubahan  hidup akibat deraan tehnologi, telah mengubah gaya hidup, membangkitkan tuntutan dalam penampilan, dalam kebutuhan dan selera, dalam cara mengaktualisasi diri. Dan membuat pilihan menjadi guru itu, sebuah pilihan yang membuat seorang kerap berhati pedih dan merasa dizalimi. Merasa ketidakadilan, karena apa yang sudah dia lakukan, tidak dihargai. Padahal,  dalam hatinya merasa alangkah mulia profesinya sebagai Guru. Padahal  begitu banyak pakar dan ahli mengatakan profesi dalam hidup ini, hanya ada dua. Guru dan bukan guru. Kalau tak ada guru, tak ada seorang presiden. Kalau tak ada guru, tak ada seorang konglemerat, dan kesuksesan serta jabatan mulia dalam hidup lainnya.
 
Profesi guru itu memang mulia. Profesi guru itu adalah jalan hidup yang sangat dekat menuju surga, karena Tuhan pasti akan melimpahkan karunia-Nya atas kemuliaan yang telah diberikan  profesi ini. Tapi itu belum tentu diperoleh “ seorang guru“, jika dia tidak memilih  “menjadi guru “ itu dengan kesadaran yang penuh, dan keikhlasan untuk melakukan sesuatu demi kebaikan orang lain. Seorang Guru akan senantiasa dalam kesedihan, jika dia di setiap waktu merasa  “menjadi guru”, berarti menerima takdir untuk dilecehkan, untuk diperlakukan tidak adil, untuk menjadi penonton dengan hati yang pedih atas pentas kehidupan lain yang gemerlap dan mewah. Menjadi guru itu, menjadi “Oemar Bakry“, menjadi seorang yang dengan kepala tertunduk, wajah yang lelah, kalah, menyeret kehidupan, untuk pulang ke rumah yang telah menantinya dengan segala kemiskinan (begitulah gambaran muram lagu baladanya Iwan Fals itu )
 
Lalu, mengapa memilih menjadi guru? Lalu mengapa masih ada yang mau menjadi guru? Lalu mengapa masih ada yang mau menjadi Oemar Bakry yang miskin dan tersisihkan itu? Mengapa masih ada yang “memilih jalan pena“ ini ? Mengapa, dalam tekanan dan pelecehan profesi yang demikian itu, masih ada yang mau, yang tetap, dan sanggup bertahan “menjadi guru“ ?
 
Rasanya, makin lama, makin sulit kita menjawabnya. Mungkin memang itulah pilihan yang dilakukan dengan sadar. Itulah pilihan hati. Atau itulah pilihan  yang tersedia. Itulah batu loncatan yang ada, sembari menunggu batu loncatan yang lain. Toh, sekarang ini, banyak Guru yang bisa menjadi lurah, bisa menjadi camat, bisa mnenjadi anggota dewan (parlemen), bahkan bisa menjadi bupati dan wali kota. Guru sekarang adalah  sebuah profesi, dan karena itu mereka yang memilihnya adalah orang-orang yang  bekerja secara profesional juga. Orang yang berpikir pragmatis, strategis, dan praktis. Menjadi Guru sekarang, bukan lagi sebuah pengabdian, bukan “jalan pena“  sebagaimana dahulu, yang dalam urat darahnya mengalir  kehendak untuk memuliakan hidup orang lain dengan cara membagi (bahkan menyedekahkan) ilmu dan kecerdasannya, untuk mengilmukan dan mencerdaskan orang lain, dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun. Menjadi Guru sekarang, bukan lagi seperti guru mengaji zaman dahulu, yang  di depan silanya, hanya ada setalam pulut kuning dengan sejumlah telur rebus yang  kulitnya diberi gincu merah, dan sehelai rotan dibelah empat. “Cik Gu, ajar anak saya. Pukul dia dengan rotan, kalau dia malas dan kurang ajar. Dan ini pulut  kuning, tanda  hati kami, ayah ibunya, ikhlas dan berterima kasih“
 
Sekarang, orang tua murid, akan datang dengan tinju, kalau anaknya keserempet tinju guru yang emosi, karena anaknya bengal dan kurang ajar. Sekarang ini, orang tua akan mengadu ke polisi kalau anaknya dinilai telah dianiaya. Sekarang ini ada KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). Sekarang ini, ada Undang-undang Profesi Guru dan Dosen. Sekarang ini,  sekali lagi, menjadi guru, adalah profesi, bukan pengabdian. Karena itu, seperti judul kumpulan tulisan Maswito ini “Nasibmu Oemar Bakry (Catatan Nurani Seorang Guru)“, para guru, silakan kalian demo kalau kalian diperlakukan kurang adil, gaji rendah, tunjangan belum dibayar, atau THR terlambat, karena kalian tidak lebih dari “buruh “. Dan kemudian,  jangan marah, kalau nanti ada pula para orang tua dan murid murid kalian yang akan demo dan mendesak kepala sekolah dipecat, atau guru dipindahkan (dengan berbagai tuduhan) kalau mereka merasa kurang puas. Di tangan kalian, tak ada lagi “rotan belah empat“ sebagai lambang hubungan  guru dan murid yang tidak putus. Tak ada lagi perkataan “Cikgu, ajarkan anak saya, dan kalau dia kurang ajar, pukul lah dia “. Karena,  Guru sekarang adalah Oemar Bakry yang pegawai negeri, orang yang digaji dan dibayar negara untuk mengajar ilmu, pengetahuan, dan kecerdasan lain, pada anak-anak warga negara yang membayar pajak. Para pembayar pajak itu mengatakan, urusan pendidikan itu urusannya pemerintah. Untuk itu angkatlah guru, dan gaji mereka untuk mengajar. Guru yang tak sesuai dengan kehendak pembayar pajak, berhentikan.
 
Menjadi Guru sekarang ini,  harus bekerja dibawah sistim, dibawah aturan, dan undang-undang yang dibuat oleh para wakil para pembayar pajak. Sistim dan peraturan itu harus dipatuhi. Lihatlah, sudah ditetapkan 20 persen anggaran negara yang sebahagian berasal dari pajak itu, harus untuk pendidikan, dan itu ada undang-undangnya. Guru harus disartifikati. Guru harus S-1, Guru harus ini dan itu.Sama seperti profesi lain. Itulah  realitasnya sekarang ini. Itulah “jalan hidup“ para Guru sekarang. Oemar Bakry, silakan bersedih, silakan merintih, dan silakan memilih. Jika memilih “ menjadi guru“, lupakan definisi guru versi Dani Ronnie, atau Mac Millan, sebagaimana dikutip Maswito. Saya setuju dengan Musa Ismail, Guru SMA di Bengkalis, Riau, yang dalam testemoninya di buku ini mengatakan,  “Guru adalah figur yang terjebak dalam kredit “. Mulai kredit untuk memenuhi keperluan hidup, sampai kredit untuk kenaikan pangkat. Bayangkanlah, bagaimana wajah dan wujud muridnya, jika guru nya sudah seperti ini.
 
Beruntung, masih ada guru yang berpikiran seperti Maswito, dan pikiran-pikiran kritisnya yang ada ada dalam kumpulan tulisannya dalam buku ini. Dengan pikiran dan idealisme yang masih tersisa ini, pilihan “menjadi guru“ itu, masih memberi ruang bagi “jalan pena“ untuk tetap bermakna. Artinya, “menjadi guru“ itu, tidak harus berdiri di depan kelas,  di depan para siswa yang  bagai dewa. Tapi juga dapat dilakukan dengan “segores pena “, sebuah cerita, sebuah sajak, sebuah artikel opini, dan sebuah buku yang didalamnya masih terasa idealisme dari sebuah cita-cita, sebuah kehidupan yang bermakna. Hidup ini hanya bermakna, kalau kita dapat memberi  makna pada kehidupan ini. Shabaslah !
 
Kata Pengantar untuk buku Maswito (Tanjungpinang, 29 November 2008)