Minggu, 08 Desember 2024
Ada apa dengan minyak kita ? Mengapa dengan kekayaan sumber daya minyak dan gas yang sebesar itu, kita belum bisa membantu membangun kesejahteraan rakyat Indonesia yang baik? Seperi Brunai Darussalam, Malaysia, bahkan seperti Saudi Sarabia, dan Negara Timur Tengah lain yang jadi negeri penghasil minyak dunia yang utama. Pendapatan Per kapita kita, tak lebih dari US $1000 saja. Mengapa dengan rentang sejarah perminyakan yang panjang itu, Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia di bidang perminyakan masih sangat terbatas? Mengapa kemampuan investasi yang sangat penting bagi hari depan perminyakan itu masih bergantung pada modal asing baik modal maupun tehnologinya? Mengapa minyak Indonesia yang disedot terus menerus turun, dan hampir tak ada penemuan sumur sumur baru? Banyak sumur marginal yang dibiar terlantar, padahal di nagara lain, sumur marginal itu masih begitu produktif . Itulah, tampaknya yang juga menjadi esensi dari buku yang ditulis Ir Nazar Mahmud ini dengan judul yang sangat apresiatif dan menggugah : Energi Minyak, Keadilan yang Terkoyak.
Bagi Nazar, karena dia lahir dan dibesarkan di Riau -salah satu daerah di Indonesia yang menjadi penghasil minyak dan gas terbesar di Indonesia- pertanyaan demikian itu sangat penting diajukan, agar dapat menjawab dan mencari jalan keluar sebelum semua sumber minyak dan gas itu habis. Karena bagaimanapun, Sumber Daya Alam (SDA) ini adalah sumber daya yang tidak dapat terbarukan lagi. Habis disedot, maka habis jugalah riwayat kekayaan dan kegemilangan minyak itu dari bumi Riau.
Setelah malang melintang sebagai karyawan, Insinyur perminyakan ini (dan bagi Riau sampai saat ini professi ini termasuk professi yang hanya segelintir putera daerah yang sempat memperoleh pendidikan dan kesempatan di sektor migas), Nazar seakan menemukan sejumlah jawaban. Sejumlah fakta dari berbagai temuan dan analisanya terhadap kerja dan jarih payahnya menggeluti sektor ini. Temuan dan pengalaman itu pulalah yang ingin dia bagi dan diskusikan melalui buku ini. Nazar ingin mengajak pembaca, khususnya masyarakat Riau, merenungkan apa yang terjadi dengan Indonesia sebagai salah satu negara penghasil minyak dan gas terbesar di dunia. Apa yang terjadi dengan Riau yang menyumbang hampir 60 persen devisa Indonesia dengan minyaknya? Apa yang terjadi dengan SDM Riau di bidang perminyakan? Mengapa kita seperti orang asing dan tersingkir di tengah-tengah kekayaan dan kesempatan yang besar itu?
?Kita musti mengubah budaya kerja kita, etos kerja kita, mind set (pola pikir) kita ? itulah antara lain kesimpulan Nazar. Mungkin tidak akan terlambat, meski minyak kita sudah hampir habis. Mungkin peluangnya hanya sedikit, sementara proses perubahan budaya, sikap, pandangan, dan mind set itu memerlukan waktu bertahun tahun. Seakan Nazar begitu pedih dan pahit harus mengatakan ?Kekayaan minyak dan gas itu ternyata tidak membuat kita semua, di Indonesia, di Riau, menjadi lebih baik. Lebih cerdas, lebih tangguh menghadapi cabaran dunia?
Nazar, yang lahir di Bengkalis, dan dibesarkan di Tanjungpinang, dari ibu orang Sungai Buluh (Singkep) itu, adalah juga seorang pembaca yang kritis. Seorang penyimak dan penyimpan informasi (dalam bentuk file, kliping, foto, dll) tentang perkembangan dan teknologi perminyakan yang teliti dan telaten, serta cerdas dalam membuat analisa dan kesimpulan. Dia juga degan berani menarik kesimpulan politis terhadap berbagai aspek perkembangan sektor pertambagan dan industri perminyakan yang menjadi wilayah pergulatan politik, interest,dan kekuasaan di Indonesia. Sebagai salah seorang yang pernah jadi anak muda dan menjadi pemimpin di kalangan mahasiswa ketika dia menimba ilmu di ITB bandung, dia menjadi lebih dapat memahami semua geliat , kiat, siasat, dan kelicikan politik itu untuk menjadi bahagian dari degup nadi tulisannya ini. Bagaimana harapan rakyat Indonesia yang dititipkan dilinangan minyak dan semburan gas, bagaimana perasaan geram, kesal, dan marah, jika kekayaan yang demikian besar dan berharga itu hanya dihabiskan oleh karena kita tidak belajar dan berusaha menjaganya dengan semangat idealisme dan kepercayaan yang penuh.
Sebagai seorang yang lama mengenal Nazar, saya sangat menghormatinya, karena sikap idealisnme nya yang nyaris tak pernah luntur, meski zaman terus berubah, politik jatuh bangun, dan kekuasaaan silih berganti. Sampai di saat pensiun inipun, dia tetap sangat perduli, kritis, dan kadang sangat emosional, seperti dapat dilihat dari tulisannya dalam buku ini, jika prinsip-prinsip kejujuran dan kepercayaan publik itu disalahgunakan. Keras, tegas, cergas, dan nyaris tak mau berkompromi dengan apapun yang bernama penyimpangan. Dia menjadi sosok yang sangat menghargai disiplin kerja (mungkin ini bahagian dari pelajarannya bekerja dengan orang-orang dan perusahaan asing), juga sangat memegang teguh prinsip dan falsafah dalam bekerja. ?Jangan abaikan hal-hal yang kecil. Sebuah rencana besar dan ambisius, bisa saja runtuh, karena kealpaan terhadap sebuah skrup kecil ?itu pelajaran berharga yang dia timba dari pengalamannya lebih dari 20 tahun mengabdi di ladang-ladang minyak itu. Suatu kearifan yang berhasil dia gali dari tebaran peluh, pekik lelah dan putus asa, serta harapan, di ladang-ladang minyak yang dia geluti.
Membaca buku ini, yang menurut saya hampir merupakan sebuah mamoar nya Nazar, karena mencatat hampir separuh dari perjalanan hidupnya, karir, dan energinya, kita memang banyak belajar dan memahami dunia perminyakan tanah air kita. Memahami tentang keberhasilan, dan juga kegagalan. Harapan, dan juga kesia siaan. Manfaat, dan juga melapetaka dari sebuah SDA yang tidak dikelola dengan baik oleh SDM yang andal, dan bermoral. Buku ini menyuruh kita merenung, introspeksi, dan bangkit dari kealpaan dan kelalaian kita selama ini.
Shabas !
Kata Pengantar untuk buku Ir. Nazar Mahmud ?Energi Minyak, Keadilan yang Terkoyak? (Pekanbaru, 10 November 2008)