Senin, 14 Oktober 2024
Pertama-tama haruslah diakui bahwa pada panel diskusi mencari hari jadi atau hari lahirnya kota Tanjungpinang, kita memang menghadapi berbagai keterbatasan. Baik keterbatasan waktu, keterbatasan sumber sejarah yang diperlukan, maupun keterbatasan para peserta yang berkecimpung dalam disiplin ilmu sejarah. Padahal, untuk mencari hari lahirnya sebuah kota seperti Tanjung¬pinang ini, berarti kita harus bertolak jauh kemasa lalu. Barangkali puluhan, dan mungkin ratusan tahun, pada saat Tanjungpinang mulai disebut, atau mulai memegang peranan atau mulai di bangun. Dalam teori sejarah, upaya mencari suatu kepastian peristiwa di masa lalu itu, dikenal sebagai bagian dari disiplin ilmu sejarah yang terikat oleh berbagai ketentuan dan acuan.
Selain dari pada itu, khususnya untuk masalah keterbatasan sumber rujukan, baik sember kepustakaan, maupun nara sumber lainnya di daerah ini selalu merupakan hambatan yang tidak kecil. Sekalipun Riau pada masa cemerlangnya Kesultanan Riau Lingga dahulu (1722-1911) mempunyai tradisi penciptaan berbagai karya tulis, seperti karya sastra sejarah, budaya dan agama, namun dalam masa seabad kemudian semua khazanah budaya itu sudah amat sulit ditemukan. Beberapa hasil karya yang kemudian berhasil diselamatkan, yang sekarang sudah di inventarisasikan serta diperbanyak (terutama dengan melakukan kerja alih aksara) maka keterangan-keterangan yang kita peroleh masih jauh dari mencuku¬pi. Masih banyak yang harus digali atau yang tetap jadi teka-teki. Banyak yang harus dikaji dan diteliti lagi, bahkan jauh sampai ke negeri Belanda atau ke negri lainnya, yang justru lebih banyak menyimpan hasil-hasil karya daerah ini.
Maka itu, pendekatan kepustakaan saja memang tidak cukup untuk meneropong tentang peristiwa dan latar belakang lahirnya sebuah kota seperti Tanjungpinang ini. Perlu berbagai pendekatan lain, seperti pendekatan demografis, sosial ekonomi dan politik serta sosial budaya. Meskipun dengan itu semua belum tentu satu hasil maksimal bisa dicapai. Sebagai contoh dapat ditunjuk upaya mencari hari jadi kota Padang, ibu kota Sumatera Barat, ternyata mereka memerlukan waktu tak kurang dari 12 tahun untuk mencapai titik final, dan baru sekitar Februari 1986 lalu menemukan satu tarikh yang tepat yang dapat diajukan ke DPRD mereka untuk disah¬kan. Padahal, siapapun tahu, di negeri itu bukan saja terdapat banyak sejarawan yang handal, juga mereka telah berhasil menyela¬matkan sumber-sumber sejarah negeri mereka.
Contoh lain, adalah hari jadi Pekanbaru, ibukota propinsi Riau. Sekalipun sebuah seminar telah merekomendasikan tanggal 23 Juni 1784 sebagai hari jadinya, tapi sampai saat ini tanggal tersebut belum disyahkan, dan pekanbaru sendiri tetap memakai tanggal 17 Mei sebagai hari jadinya, dimana tanggal tersebut merupakan saat kota Pekanbaru ditetapkan sebagai Haminto, atau Kota B, yaitu 17 Mei 1946.
Dari contoh-contoh tersebut, jelaslah bahwa upaya menetapkan hari jadi sebuah kota itu, suatu kerja yang memang tidak gampang. Selain memerlukan satu kerja yang cermat dalam mengumpulkan fakta-fakta sejarah, juga diperlukan berbagai pendekatan lain yang justru sering merupakan faktor penentu dalam menilai setiap peristiwa sejarah. Diantaranya adalah faktor nasionalisme, her¬oisme, patriotisme dan lainnya dan tidak semata-mata bersandar pada fakta sejarah saja.
Walaupun demikian, tidak berarti kita harus berkecil hati dan kendor semangat. Sepanjang apa yang kita perbuat itu memenuhi persyaratan dan dapat dipertanggung jawabkan, kenapa hal itu tidak kita lakukan?. Budayawan Sudjatmoko sendiri sudah menegas¬kan :”Ilmu Sejarah adalah satu ilmu yang paling terbuka bagi para amatir, bagi para pencinta sejarah. Gedung ilmu sejarah yang telah dibina dan dimiliki oleh umat manusia sekarang, untuk seba¬gian penting, diujudkan oleh orang-orang yang bukan ahli sejarah, melainkan hanya pencinta sejarah”. Dan kita, dan termasuklah makalah ini melalui panel diskusi pada hari ini, justru sedang melakukan hal demikian, dengan sedaya kita.
Sebagai makalah utama dalam panel diskusi ini, adalah makalah Sdr Hamzah Junus, " Lahirnya Kota Tanjungpinang." Dalam maka¬lah ini tampaknya Hamzah sudah mencoba menghimpun sebanyak mu¬ngkin fakta-fakta sejarah dan informasi-informasi sepanjang yang berhasil dipantau nya, sebagai kerangka untuk menjadi titik tolak bagi menetapkan sartu tarikh yang tentang kapan agaknya Tanjungpinang itu lahir dan apa peristiwa yang melatarinya.
Untuk sampai pada beberapa alternatif momentum yang bisa dipakai, Hamzah melakukan sejumlah pendekatan. Antara lain pende¬katan kepustakaan, pemukiman, administratif dan sedikit latar belakang sosial ekonominya. Dari pendekatan tersebut kemudian Hamzah menawarkan beberapa pilihan yang cukup menarik. Antara lain :
Memang, terhadap beberapa alternatif itu, Hamzah mengakui sulit untuk segera membuat pilihan, mana yang paling mendekati dan paling mungkin dijadikan titik tolak. Dalam hal Tanjungpinang sebagai tempat pemukiman yang muncul sebelum meletusnya perang Riau misalnya, diakui bahwa kawasan pemukiman itu tidaklah amat teratur dan terbentuk dalam satu sistim komunitas sebuah kampung atau kota. Kawasan pemukiman itu merupakan tempat yang selalu di¬tinggalkan, tergantung pada situasi pada waktu itu. Baik oleh berbagai sebab sosial, maupun sebab-sebab politik. Baru setelah selesai perang Riau, Tanjungpinang dikatakan mengarah sebagai satu pemukiman yang ditata dan dibangun sebagaimana mestinya, terutama oleh pemerintah kolonial Belanda (VOC).
Untuk itulah, sekalipun Hamzah cukup yakin bahwa diantara alternatif yang dikemukakannya itu ada yang boleh dipakai sebagai titik tolak untuk menentukan satu tarikh yang tepat, namun Hamzah tak menolak berbagai kemungkinan lain, yang tentunya tidak sema¬ta-mata bersandar pada beberapa pendekatan yang ia kemukakan. Mungkin oleh pertimbangan etis, nilai-nilai kultur, semangat kepahlawanan, dan lainnya yang bisa dijadikan landasan, untuk menetapkan hari jadi sebuah kota.
Dari beberapa contoh upaya penetapan hari jadi sebuah kota yang pernah kita ketahui, memang ada beberapa faktor lain yang cukup menentukan keputusan akhir. Contoh yang menarik misalnya adalah penetapan hari jadi kota Jakarta.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa berdasarkan catatan-catatan sejarah yang ada, maka kuat fakta bahwa yang membangun Jakarta itulah Gubernur Jenderal VOC Jan Pieter Coen, 30 Mei 1619. Tetapi pemerintah daerah Jakarta sendiri justru memilih peristiwa Pan¬geran Fatahillah merebut Sunda Kelapa dari tangan kerajaan Pejajaran dan menghancurkan armada Portugis disana, lalu kemudian membangun satu perkampungan bernama Jayakarta, pada 22 Juni 1572, sebagai hari jadi Jakarta. Tampaknya momentum keperkasaan Fatahillah menghancurkan armada Portugis yang dipimpin oleh Fransisco de Sa, merupakan peristiwa historis yang lebih tepat diangkat sebagai titik tolak, ketimbang kenyataan sejarah bahwa Batavia atau Betawi yang berbentuk sebuah kota justru dibangun oleh VOC melalui tangan JP Coen.
Peristiwa yang berlatar nasionalisme dan patriotisme itu juga yang tampaknya menjiwai penetapan hari jadi kota Padang yang diputuskan jatuh pada 7 Agustus 1669, meskipun ada tanggal lain yang juga cukup kuat fakta sejarahnya, yaitu 30 April 1666. Pilihan pada 7 Agustus 1669 itu menurut panitia dan juga beberapa sejarawannya, antara lain Dr Taufik Abdullah, adalah karena tanggal tersebut lebih mempertlihatkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia di sana. Semangat persatuan dan kesatuan ini tercermin pada saat rakyat Pauh menyerang dan menghancurkan loji/benteng Belanda di Muara Padang. Sedangkan peristiwa 30 April 1666, sekalipun juga terjadi pertempuran antara rakyat dengan Belanda yang dikenal dengan nama Perang Lubuk Lintah, tetapi dinilai kurang patriotis dan passif,karena yang melakukan penyerangan justru Belanda dan bukan inisiatif rakyat disana. Walaupun dari peristiwa itu masih ditemukan cukup bukti, berupa meriam-meriam kuno, kubu-kubu dan makam para pahlawan perang lubuk lintah tersebut.
Sudah tentu masih banyak daerah lain di Indonesia yang memilih pendekatan dan latar belakang historis yang demikian itu sebagai momentum menetapkan hari jadi kota-kota penting mereka. Suatu pilihan yang memang lebih mengutamakan rasa kebangsaan dan kepribadian bangsa itu sendiri. Sebab bagaimanapun, kata semen¬tara para ahli, sejarah, suatu bangga memang cenderung subjektivi¬tas.Dan fokus subjektivitas suatu bangsa, seperti dikatakan oleh budayawan Sudjatmoko, adalah kepribadian nasionalnya. Dan kepri¬badian nasional itu tak lain adalah sumber dari rasa dirinya, dari harga diri bangsa itu.
Pilihan yang demikian itu, bukanlah pula sikap ingin memungkiri dan memalsukan sejarah. Sebab pilihan itu dilakukan berdasarkan fakta-fakta sejarah yang ada. Hanya, kita dihadapkan kepada sikap dalam menentukan pilihan, manakah yang sebenarnya lebih mencerminkan kepribadian serta kesadaran sejarah kita.
"Kesadaran sejarah mampu untuk membebaskan manusia dan bangsa itu dari pada cengkraman determinisme sejarah" demikian tegas Sudjatmoko.
Bertolak dari dasar pemikiran yang demikian itulah, dalam kerangka mencari titik tolak hari jadi Tanjungpinang yang kita cintai ini patut kita pertanyakan : Tidakkah kita perlu mencontoh keputusan beberapa daerah lain itu dalam menetapkan hari jadi kotanya, dan apakah kita punya landasan dan fakta sejarah yang demikian itu untuk dijadikan momentum menetapkan hari jadi Tanjungpinang ?.
Tentu saja ada, sebab masyarakat daerah ini bukanlah masyarakat yang pasif dan selalu menyerah kalah terhadap segala tekanan dari luar. Bangsa Maritim selalu hidup penuh dinamika dan semangat patriotisme yang tak pernah padam. Itulah yang ingin coba kita temukan sekarang ini.
Dari berbagai fakta sejarah dan informasi-informasi yang sudah diketengahkan oleh Hamzah Yunus, kepada kita sebetulnya sudah juga disajikan beberapa fakta yang dapat dijadikan momentum yang berlatar belakang heroisme dan patriotisme yang mencerminkan semangat persatuan dan kesatuan itu. Hanya saja informasi dan fakta oleh Hamzah belum dijuruskan kepada satu pilihan yang paling mendekati. Untuk itu kita perlu melakukan berbagai telah yang lebih terarah pada konsep tersebut.
Dari beberapa kemungkinan itu, kita melihat beberapa hal yang bisa disimpulkan kan :
Bahwa Tanjungpinang sudah muncul bersamaan dengan dibangunnya negeri Riau, barangkali memang ada faka-fakta yang mendukungnya. Setidaknya bahwa pada waktu itu nama Tanjungpinnag sudah dikenal, walaupun menurut kepustakaan nama itu baru muncul tahun 1722. Tetapi apakah adanya sebuah nama, sudah berarti disana ada satu pusat pemukiman yang sudah berfungsi, setidak-tidaknya menjalan¬kan peran sosialnya.Apakah tidak mungkin nama Tanjungpinang ketika itu, hanya sebuah nama untuk menandai suatu tempat bagi beberapa keperluan. Seperti untuk persinggahan mengambil air, titik navigasi bagi kapal-kapal yang akan memasuki sungai Riau, atau keperluan lainnya yang belum bersifat pemukiman. Barangkali hanya sebuah dua rumah yang belum mencerminkan pengertian komuni¬tas. Ini berbeda misalnya dengan sebutan kampung Bugis, Kampung Bulang, atau Kampung Melayu. Tanjungpinang, seperti juga penger¬tian tanjung-tanjung yang lain, lebih menunjukkan pada bentuk tofografi satu wilayah. Barangkali kalau kita membicarakan asal usul nama Tanjungpinang, agak lebih mendekati. Setidaknya satu pengertian adanya sebuah tempat yang berupa sebuah tanjung dan disana tumbuh banyak pohon pinang, dan para musafir menyebut tempat itu sebagai Tanjungpinang. Tetapi tetap sulit untuk menandai peristiwa itu sebagai petunjuk lahirnya satu tempat atau sebuah pemukiman.
Jika kita telaah sumber sejarah, baik itu sumber kepustakaan maupun sumber informasi lainnya, maka sampai saat meletusnya perang Riau 1782, peranan dan kedudukan Tanjungpinang itu memang sangat kurang jelas dan kabur.Timbul tenggelam, dan dianggap sangat kurang menentukan bisa dikemukakan beberapa contoh:
Melalui pendekatan kepustakaan, kedudukan dan fungsi Tanjungpinang memang baru agak jelas mulai tahun 1782, ketika mele¬tusnya perang Riau. Sebagaimana diketahui setelah terjadi prse¬lisihan yang tajam antara Belanda di Malaka dengan Raja Haji, Yang dipertuan Muda RIau ke-4 (1777-1784) akibat skandal candu dikapal "Betsy", maka sekembali dari Malaka Raja Haji langsung memerintahkan agar dibangun beberapa kubu pertahanan Pulau Bayan (Kubu Utama), Penyengat, Tanjungpinnag dan Teluk Keriting. Disitu ditempatkan beberapa orang Panglima, seperti Panglima Encik Sumpok dan Encik Kubu.Perang Riau itu meletus penghujung Juni 1782.
Tetapi pembangunan kubu di Tanjungpinang dan Teluk Keriting itupun sulit dijadikan titik pangkal mulai dibukanya Tanjungpi¬nang sebagai sebuah pemukiman, karena pembangunan sebuah kubu lebih bersifat insidentil untuk keperluan suatu ketika, dan akan ditinggalkan bila perang selesai, atau kubu itu dianggap tidak penting lagi. Namum jelas, sejak peristiwa itu, Tanjungpinang mulai punya arti dan menjadi salah satu tempat menentukan sejarah Riau seterusnya.
Perang Riau itu sendiri berlangsung diwilayah Riau selama lebih kurang 8 bulan dan baru berhenti setelah ekspedisi Belanda mengalami kekalahan berat dan terpaksa mengundurkan diri ke Melaka. Perang itu kemudian berlanjut di Tanjung Palas dan Teluk Ketapang (Melaka) dan baru berakhir 18 Juni 1784, setelah Raja Haji gugur disana.
Tetapi dari rekonstruksi perang Riau itu, ada satu peristiwa penting dimana Tanjungpinang terlibat, yaitu pertempuran sengit antara pasukan Riau dan tentara Belanda yang berhasil mendarat di pantai Kampung Jawa sekarang untuk merebut kubu di Tanjungpinang. Dari catatan-catatan yang masih terbatas dan perlu dilakukan berbagai rujukan lanjutan, diperoleh informasi bahwa pertempuran itu terjadi sekitar tanggal 6 Januari 1784, ketika sejumlah pasukan Belanda berhasil mendarat dan merebut salah satu bukit di Tanjungping dan bersiap mengadakan serangan. Tetapi ketika itu pasukan Riau yang bertahan di bentengnya di Teluk Keriting berha¬sil menghantam kapal Malaka Walvaren, kapal komando tentara Belanda, sehingga meledak dan menewaskan sekitar 300 serdadu Belanda termasuk pimpinan ekspedisi waktu itu Hakim Alnold Lemk'er.
Keberhasilan pasukan Riau menghancurkan Malaka Walvaren itu membangkitkan semangat pasukan Riau yang bertahan di kubu Tan¬jungpinang. Dengan bantuan pasukan baru dari Pulau Bayan dan Penyen¬gat, mereka menggempur pasukan tersebut Belanda itu hingga kucar-kacir, dan mundur dengan meninggalkan sejumlah korban.Itulah salah satu puncak perang Riau dan titik kemenangan yang diperoleh oleh Raja Haji. Kemenangangan ini bukan menunjukkan kehebatan Raja Haji sebagai Panglima Perang, tetapi juga telah menyelamatkan kerajaan Riau dari cengkeraman penjajahan.
Memang, perlu ada riset dan penelitian ulang tentang peris¬tiwa tersebut. Sebab, seperti saat peledakan kapal komando Mala¬ka’s Walvaren itu sendiri masih terdapat pertelingkahan waktunya. Hamzah sendiri mencatat 4 Maret 1784 berarti ada selisih beberapa bulan. Namun dari fakta-fakta sejarah ini ada satu hal yang boleh dipakai sebagai pegangan. Bahwa di Tanjungpinang telah terjadi satu peristiwa heroik yang patut dibanggakan dan kemudian menjadi jejak awal dari penubuhan Tanjungpinang sebagai sebuah kota. Setidaknya, setelah Tanjungpinang diselamatkan, kemudian sebagai kubu terus dipertahankan dan disempurnakan, karena terbukti sangat strategis dan menentukan. Belandapun kemudian, setelah memenangkan perang Riau 1784 memilih Tanjungpinang sebagai basis penempatan loji dan kemudian pusat keresidenan mereka.
Dari rekonstruksi sejarah tersebut memang tidak begitu gampang untuk menunjuk kesatu kesimpulan bahwa itulah tanggal yang paling patut dipakai sebagai hari lahir Tanjungpinang, Namun, sebagaimana judul makalah banding ini, maka perang Riau tersebut dapat dipakai sebagai titik tolak untuk menetapkan hari jadi Tanjungpinang. Tahun-tahun pertempuran sengit itulah yang dengan jelas menunjukan peranan dan kedudukan Tanjungpinang. Sekalipun sebagai sebuah kota yang layak, baru setelah berada dalam kekuasaan Belanda baru di wujudkan.
Belanda sendiri sebenarnya baru mulai membangun Tanjungpinang sebagai basis kekuasaan mereka, sekitar tahun 1790, dengan mendirikan benteng dan pangkalan armada disana. Sebelumnya, terdapat beberapa pertelingkahan informasi. Menurut sementara catatan sejarah, tempat yang dijadikan loji pertama Belanda dengan Residen David Ruhde, 18 Juni 1785 (menurut catatan lain 19 Juni 1785) adalah di Pulau Bayan, sebuah bangunan rumah atap daun, tempat ini sudah ada sejak zaman Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, yang menempatkan beberapa puluh serdadu Belanda disana. Pada awal timbulnya sengketa antara Raja Haji dengan Belanda, disitu ada seorang wakil pemerintah Belanda yaitu Gerald Pangal, orang yang pertama menerima laporan Raja Haji dalam kasus kapal Betsy. Loji itulah yang kemudian diserang dan dihancurkan oleh sejumlah lanun-lanun asal Tempasok yang diminta bantu oleh Sultan Mahmud menghajar residen Belanda David Rudhe yang dianggap terlalu lancang dan suka mencampuri urusan kerajaan Riau. Karena itulah peristiwa penghancuran loji Belanda tersebut yang terjadi 13 Mei 1787 itu, sulit dimasukkan sebagai momentum untuk menetapkan hari jadi Tanjungpinang. Kecuali misalnya, memang terdapat kepastian lain bahwa memang loji pertama ini dibangun di Tanjungpinang, dan bukan di Pulau Bayan.
Tetapi kehadiran Belanda mulai 1787 di Tanjungpinang tidak cukup lama. Tahun 1795 mereka kembali angkat kaki, setelah Riau diambil oleh Inggris dan kedaulatan Riau dikembalikan. Ini akibat dari meletusnya revolusi Prancis, dimana jajahan Belanda diambil alih oleh Inggris baru, setelah ada perjanjian Wina 1815 Belanda kembali, dan masuk ke Riau tahun 1818 dan mengadakan perjanjian baru dengan Sultan Riau Abdurrahman.
Tahun 1820, melalui satu perjanjian dengan Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga Raja Djaa'far, YDM Riau ke-VI (1806-1832), Belanda berhasil memperoleh satu kawasan di Tanjungpinang sebagai tukar ganti. Belanda memperoleh tanah, sedangkan Raja Djafaar dibebaskan dari hutang perang nya sebesar 13.708 rupiah, dan setiap bulan kemudian Belanda membayar sewa sejumlah 4.000 rupiah. Itu terjadi sekitar 5 April 1820. Dari ketika itu kota Tanjungpinang mulai diazaskan. Dan pada bagian tanah yang diambil Belanda itu termasuklah pusat pertahanan tentara Riau dahulu dan kubu-kubunya, yang sekarang disebut Bukit Benteng dan Tanjung Buntung.Kawasan itu kemudian dikenal dengan istilah “Kota Belanda”, dimana hukum Sultan tidak berlaku disana.
Demikian beberapa fakta dan informasi yang barangkali bisa digunakan untuk membuat panel diskusi ini bisa menghasilkan sesuatu yang lebih berarti dan bisa dipegang. Dari pada sekedar asumsi-asumsi yang tidak sangat tegas.
Mengingat keterbatasan rujukan dan sumber informasi yang akurat, maka memang sebagai tindak lanjut panel diskusi ini harus ada media lain atau forum yang lebih luas untuk mengkajinya sehingga menjadi satu keputusan yang boleh dipertanggung jawabkan dari segala disiplin ilmu yang menghendakinya.Barangkali satu sumposium, atau bahkan satu seminar yang kelak bukan cuma membicarakan soal kapan hari jadi Tanjungpinang, tetapi juga sejarah perkembangan kota ini, sejak ia ditubuhkan sampai zaman pembangunan ini.
Barangkali sesudah panel diskusi ini, bolehlah dibentuk satu tim atau panitia pengumpul segala fakta dan informasi tentang sejarah perkembangan kota Tanjungpinang, sebelum semua dokumen dan sumber informasi yang berharga itu lenyap dan sulit diperoleh kembali.
Tanjungpinang, 10 November 1986.