Nominator Rida Award 2010

Melogok Kehidupan Warga Transmigran Di Rawa Kolang, TAPENG (3)

Jurnalistik Sabtu, 28 Agustus 2010
Melogok Kehidupan Warga Transmigran Di Rawa Kolang, TAPENG (3)
Murid, guru, dan ortu siswa sekolah lokal jauh di Rawa Kolang-Tapteng

Sekolah Lokal Jauh Hanya Tiga Kelas, Butuh Sumbangan Buku dan Beasiswa

Empat tahun sejak lahan transmigran Rawa Kolang dibuka, sekolah sama sekali belum ada. Atas usaha Edy Saputra (saat itu pegawai RRI), tahun 2004 akhirnya ada Sekolah Lokal jauh di Balai Desa. Tiga tahun kemudian, barulah didirikan bangunan sekolah tiga ruangan. Tenaga pendidik dua orang, direkrut dari warga trans sendiri. Gaji awal kadang tak sampai Rp100 ribu sebulan.

DAME AMBARITA, RAWA KOLANG

“Awal perkenalan saya dengan warga trans dimulai saat saya masih bekerja di RRI cabang Sibolga. Saat itu, saya menerima surat dari warga trans SP tiga Rawa Kolang agar mengespos nasib mereka pada Siaran Pedesaan RRI. Saat itu tahun 2004. Dan itulah satu-satunya ekspos di media massa tentang nasib warga trans Rawa Kolang,” jelas Edy Saputra, pensiunan pegawai RRI, kepada METRO.

Saat terjun langsung meliput kehidupan warga trans di Rawa Kolang, hati pak Edy tergerus sedih, khususnya terkait pendidikan anak-anak. “Sekolah sama sekali tidak ada. Kalau ada anak yang mau sekolah, harus diantarkan orang tuanya ke Kolang (sekitar lima km) naik sepeda. Dan sering harus ditunggui sampai pulang sekolah karena sulit rute yang ditempuh,” jelasnya.

Karena prihatin, Pak Edy berupaya menghubungi Dinas Pendidikan Tapeng, saat itu dikepalai Pak Sugeng, hingga akhirnya berasil mengusahakan Sekolah Lokal Jauh. “Disepakati anak-anak belajar di Balai Desa,” kenangnya.

Orang tua senang ada Sekolah Lokal Jauh. Persoalannya muncul, karena tak ada guru yang bersedia mengajar anak-anak. Tak habis akal, Pak Edy mengusulkan tenaga pendidik diregrut langsung dari warga trans sendiri. Didapatlah Ibu Lestari (warga trans pengungsi Aceh) dan Pak Tosari (warga trans tamatan STM). Tahun pertama, anak-anak membayar uang sumbangan Rp5.000 per anak, atau Rp7.000 untuk dua orang kakak beradik. Pak Edy  Saputra dipercaya sebagai Bapak Pembina.

Seharusnya, 38 anak dikali Rp5.000, dapat diperoleh uang Rp190.000. tetapi ternyata banyak orang tua murid yang tak sanggup bayar. “Kadang dapat Rp50 ribu kadang Rp70 ribu sebulan. Padahal kami ada dua orang. Makanya saya sering rela tak dapat gaji dan total sumbangan murid itu saya serahkan pada Pak Tosari, agar gajinya tak terlalu kecil. Yang penting anak-anak dapat belajar,” terang Bu Lestari, diiyakan Pak Tosari.

Untunglah, Pak Sugeng selaku Kandis Pendidikan Tapeng saat itu, dari kocek pribadinya rela mengoroh uang Rp200 ribu per bulan (masing-masing Rp100 ribu) sebagai honor guru sukarelawan itu. Pak Sugeng juga menyumbangkan seragam sekolah, buku, dan bola untuk olahraga.

Permulaan, anak-anak sekolah dibagi dua, yakni kelas satu dan kelas dua. Uniknya, saat salah satu diantara guru ada urusan di luar sekolah, tinggal satu orang guru yang bertugas mengajar. “Kalau sudah begitu, kita terpaksa mondar-mandir dari ruangan yang satu ke ruangan yang lain,” jelasnya.

Karena kelas III belum ada, terpaksa anak-anak yang sudah naik ke kelas tiga harus menempuh perjalanan sekitar tiga sampai lima km ke SD Induk di Desa Aek Badan.

Tahun 2005, jumlah murid di Sekolah Lokal Jauh turun menjadi 36 orang. Tahun berikutnya naik menjadi 40 murid. Kelas tetap dua, yakni kelas satu dan kelas dua. Tahun 2007, atas upaya Pak Edy dan Pak Sugeng, Kanwil Transmigrasi bersedia membiayai pembangunan tiga ruang kelas untuk Kelas Lokal Jauh ini, meski hanya seadanya dan tanpa ruangan guru. Tahun itu juga, jumlah kelas ditambah kelas tiga, dengan jumah murid 36 orang. Dan tahun 2008-2009, tinggal 34 murid saja.

“Meski hidup mereka sulit, tapi anak-anak trans di sini cukup bersemangat bersekolah. Padahal untuk makan tiga hari saja mereka susah. Ada anak yang baju seragamnya sudah koyak karena orang tuanya tak mampu membeli yang baru. Banyak yang masih berkaki ayam alias tak bersepatu ke sekolah. Asalkan ada dukungan dari orang tua mereka, kebanyakkan anak-anak trans senang bersekolah,” terang Bu Lestari dengan nada bersemangat.

Dukungan orang tua itu misalnya dengan mengajari anaknya dirumah, membantu membuatkan PR (Pekerjaan Rumah), dan tidak mewajibkan anak menjaga burung di sawah pada jam belajar, atau menyuruh anaknya menjaga durian pada jam sekolah saat musim durian tiba.

Prestasi anak Sekolah Lokal Jauh, pengakuan Bu Lestari, tak kalah dari anak-anak di sekolah lain. Terbukti, beberapa anak-anak trans yang melanjutkan sekolah di SD Aek Badan tampil sebagai juara kelas. “Hanya satu harapan kami di sini, agar ada perhatian dari pemerintah atau para dermawan, untuk menyediankan beasiswa bagi anak-anak berprestasi namun ekonomi orang tuanya tidak mampu. Saya sangat ingin mereka melanjutkan sekolah. Mereka patut mendapatkan pendidikan yang layak. Anak-anak trans itu tidak bodoh. Jangan sampai mereka merasa malu dan terhina karena mereka anak-anak trans. Saya bahkan rela tak jadi CPNS asalkan mereka mampu melanjutkan sekolah,” kata Bu Lestari sambil terisak-isak.

Ia menuturkan, sebenarnya anak-anak trans di Rawa Kolang lebih membutuhkan beasiswa dibanding anak-anak kota yang orangtuanya mampu secara financial. “Apa artinya anak-anak kota yang berprestasi mendapatkan beasiswa, sementara orangtuanya mampu membiayai?” katanya dengan nada yang berapi-api.

Rasa cinta Bu Lestari dan Pak Tosari kepada anak-anak trans, diwujudkan mereka terus mengabdi sebagai guru, meski selama tiga tahun tak dapat gaji layak. Gaji mereka berdua baru sedikit mendingan sejak tahun 2005, yakni sejak mereka lulus sebagai guru Bakti, dan berhak medapat gaji Rp60 ribu. Dan tahun 2007 naik menjadi Rp710 ribu.

“Harapan kami, agar Orangtua Asuh yang bersedia membiayai pendidikan anak-anak trans. Nanti anak-anak bisa kami pilih, yakni yang berprestasi tapi orangtua yang tak mampu,” harapnya.

Di akhir kalimatnya, Bu Lestari para relawan yang tergerak hatinya untuk menyumbangkan buku-buku  khususnya buku cerita anak-anak, majalah bobo atau sejenisnya, serta buku-buku lainnya. “Bekas pun akan kami sambut dengan senang hati. Karena anak-anak murid kami jarang mendapat buku cerita. Kalau ada majalah bobo bekas, pasti kami terima dengan senang hati. Anak-anak murid kami sangat  haus bacaan,” kata Bu Lestari dengan nada sedih, dan air matanya bercucuran. (bersambung)