Selasa, 08 Oktober 2024
Dulu, Sambil Tidur pun, Dapat Ikan Segunung
Di era baru kemerdekaan atau tahun 1945-an, siapa yang tak kenal nama Bagansiapi-api? Inilah daerah penghasil ikan terbesar di Indonesia, bahkan ditahbiskan sebagai penghasil ikan terbesar di dunia setelah Norwegia. Untuk wilayah Asia Tenggara, ketika itu, Bagansiapi-api sempat menjadi pusat perdagangan ikan dunia. Namun, kini kejayaan itu kian meredup. Bahkan kampung-kampung nelayan masih tetap jadi kantong kemiskinan.
Laporan PURNIMASARI, Bagansiapi-api purnimasari@riaupos.com
TITIK hitam kecil di lautan itu lama-kelamaan bergerak menuju daratan. Kain bekas yang dijadikan bendera berkibar-kibar ditiup sang bayu. Perlahan kapal pompong nelayan itu merapat ke sebuah bang liau (gudang yang terbuat dari kayu yang digunakan untuk menampung hasil tangkapan ikan nelayan) di pinggiran kampung nelayan di Sinaboi, Kabupaten Rokan Hilir, Riau.
“Apa bawa banyak?” ujar seorang lelaki Tionghoa bernama Cin Lai pada nelayan yang datang. ‘’Udang Ko (koko, panggilan umum untuk lelaki Tionghoa, red),” jawab sang nelayan. Cucuran peluh yang ditimpa sinar matahari senja pukul 17.00 WIB itu membuat tubuhnya kian mengkilat.
Pompong pun berpusing mencari tempat merapat yang bagus. Bang liau biasanya dibangun di sepanjang bibir sungai atau laut dengan pelantar luas yang menjorok ke air.
Bangunan ini disangga puluhan tiang (umumnya dari batang nipah) setinggi kurang lebih empat meter. Mendengar bunyi pompong merapat, para pekerja di bang liau pun telah sibuk. Mereka yang tadinya tidur-tiduran di balai-balai di atas pelantar segera bergegas turun. Boks-boks ikan berwarna oranye disusun berjajar dan timbangan pun dipasang.
Tak lama kemudian, bakul-bakul ikan yang terbuat dari rotan segera diangkut dan hasil tangkapan diserakkan di lantai pelantar yang terbuat dari kayu. ‘’Sekarang lagi musim udang,” ujar Cin Lai. Harganya bisa mencapai Rp30 ribu per kilogram. Udang-udang itu lantas dimasukkan ke dalam gentong plastik besar berdiameter satu meter yang sudah berisi air. Setelah itu udang diambil menggunakan tampi dan langsung ditimbang. Kemudian disortir, langsung dimasukkan ke boks-boks ikan yang sudah diberi es batu.
Seorang perempuan yang duduk di sebuah ruangan mirip loket berukuran dua kali satu setengah meter mengeluarkan uang pembayaran ikan hari itu. Dia duduk sambil membuai bayinya dan sesekali keluar memeriksa masakan untuk sang tauke yang tengah dijerang di atas kompor. ‘’Saya masuk kerja pukul 9.00 WIB. Biasanya kapal ikan datang pukul 12.00 WIB dan pukul 17.00 WIB,” ujarnya.
Itulah sekelumit episode kehidupan di sebuah bang liau di Sinaboi. Di arah luar menuju daratan, hamparan jaring-jaring nelayan dijemur berserakan di atas lapangan luas yang beralaskan papan. Seorang anak lelaki menyapu hamparan udang kering yang dijemur untuk membuat ebi. Di sisi yang lain, tiga orang lelaki menyusun ikan basah yang telah dibelah untuk dikeringkan menjadi ikan asin di atas kawat yang dibingkai kayu berukuran satu kali setengah meter. Bau amis ikan adalah aroma yang biasa tercium di sana. Produk utamanya adalah ikan segar, udang, udang kering (biasa disebut he kwa dan he bie), ikan asin, terasi dan lain-lain.
Tak jauh dari situ, seorang lelaki Tionghoa bernama Budiman (25), menguap lebar sambil duduk berselonjor di bangku kayu panjang yang dipakukan ke tiang pelantar. ‘’Kalau di bang liau, susah mau tidur nyenyak. Bunyi mesin pompong kapal hilir mudik. Tapi sebentar lagi air mati, agak kurang ribut sikit,” ujarnya.
Kalau air mati, itu tandanya air pasang kecil. Biasanya terjadi pada 10-13 hari bulan. Saat itu ikan sulit didapat dan inilah masanya para nelayan beristirahat. ‘’Sekarang sudah agak mudah karena melaut sudah pakai GPS (global positioning system). Tempat-tempat yang banyak ikan sudah ditandai sehingga ketika melaut, nelayan tinggal mengikuti GPS itu. Kalau dulu pakai kompas, lebih susah,” ujar Budiman.
Sistem kerja nelayan terbagi dua. Ada nelayan yang menerapkan bagi hasil dengan tauke, ada pula yang memakai cara pembayaran harian tergantung besar kecilnya tangkapan ikan hari itu. Tapi yang biasa dilakukan adalah cara yang kedua. ‘’Dulu, cakap kasarnya, melaut sambil tidur-tidur pun tetap dapat ikan segunung. Begitulah saking mudahnya mendapatkan ikan banyak. Sekarang harus mau susah, baru bisa dapat ikan,” ungkap Budiman.
Ia mengakui, masa kejayaan ikan di Bagansiapi-api kini mulai surut. Ketika Bagansiapi-api menjadi primadona, hasil ikan ketika itu bisa mencapai antara 150 ribu ton hingga 200 ribu ton per tahun. Dulu, seorang tauke di bang liau bisa menerima pasokan ikan dari belasan hingga puluhan kapal pompong sehari. Memang hasil tangkapan per hari tidak pernah sama. Tapi rata-rata satu kapal pompong bisa membawa ratusan kilogram sekali melaut. Kini, rata-rata hanya delapan kapal pompong sehari dan hasil ikan yang didapat paling-paling hanya 80 Kg.
Salah satu penyebabnya adalah maraknya penangkapan ikan dengan pukat harimau. Biasanya ini dilakukan oleh nelayan dari provinsi tetangga seperti Sumatera Utara dan Aceh. Bahkan saat ini makin diperparah oleh nelayan dari luar negeri seperti Thailand dan Malaysia. Akibatnya, hasil tangkapan ikan turun hingga 50 persen.
Menurut salah seorang tauke ikan di Sinaboi, Ho Lan, pukat harimau itu membuat nelayan tempatan tak berkutik. ‘’Kalau nelayan biasa seperti kita cuma bisa apalah. Paling-paling hanya berani melihat mereka dari jauh. Kami sudah mengadukan hal ini berulang kali ke pihak terkait. Katanya sudah ada kapal TNI AL yang turun, tapi nyatanya pukat harimau jalan terus,” keluh Ho Lan.
Perairan Bagansiapi-api sungguh mendapat rahmat yang luar biasa dari Yang Maha Kuasa. Daerah ini seakan surga ikan yang tiada habisnya. Itu karena ia memiliki teluk yang merupakan muara dari aliran Laut Cina Selatan dan Selat Melaka sehingga sangat disukai ikan, terutama untuk tempat bertelur.
Ini ditambah pula dengan karakteristik laut Bagansiapi-api yang agak berlumpur sehingga mengandung banyak endapan makanan dari kedua laut besar tersebut. Dengan dua kehebatan itu, ikan seakan tiada habis-habisnya apalagi jika hanya dimanfaatkan oleh para nelayan tempatan. Namun apa daya, faktanya kini, Sinaboi dengan jumlah penduduk sekitar 10.315 orang jiwa adalah salah satu kantong kemiskinan di Rokan Hilir.
Sinaboi hanyalah satu di antara tiga daerah pemasok ikan terbesar di Bagansiapi-api. Dalam bahasa Cina, Sinaboi dijuluki Cia Cui Kang. Cia berarti segar atau rendah garam. Cui berarti air dan Kang berarti sungai. Jadi Cia Cui Kang bisa bermakna ”segar dari air sungai”.
Pelabuhan yang Tak Kunjung Terealisasi
Kini, Sinaboi telah menjadi sebuah kecamatan di Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Ia pernah digadang-gadang menjadi tempat pelabuhan internasional. Azam ini sebenarnya cukup masuk akal sebab Sinaboi tepat berada di bibir Selat Melaka dan berbatasan langsung dengan Dumai, kota pelabuhan yang juga berkembang pesat.
Selain itu, Sinaboi juga hanya beberapa puluh mil dari Port Klang dan Port Dickson, kota pelabuhan di Malaysia. Di masa silam, karena ramainya perdagangan di Selat Melaka, membuat Belanda menjadikan Bagansiapi-api sebagai salah satu basis kekuatannya dan membangun sebuah pelabuhan. Konon, ketika itu, inilah pelabuhan yang paling canggih di perairan Selat Melaka.
Namun kini, mimpi membuat pelabuhan internasional itu tak kunjung terwujud. Kondisi jalan darat menuju Sinaboi sejauh kurang lebih 30 Km ke arah timur dari Kota Bagansiapi-api belum bisa dikatakan menggembirakan.
Akibatnya, jarak 30 Km itu memakan waktu tempuh kurang lebih 1,5 jam di perjalanan. Inilah satu-satunya jalan yang menghubungkan Sinaboi-Bagansiapi-api. Di pangkal jalan, kondisinya masih berupa jalan pengerasan yang dilapisi pasir dan batu.
Setelah itu masih ada beberapa bagian yang berupa tanah kuning. Jalan mulus dengan aspal hotmix memang sudah ada tapi masih selang-seling. Ketika Riau Pos ke sana pada Ahad (21/2), empat alat berat tengah bekerja menyelesaikan perbaikan jalan. Dulu, kondisinya jelas lebih parah.
Sebab itu, pasokan ikan ke Bagansiapi-api lebih banyak dilakukan lewat sungai. Sementara itu, jarak Pekanbaru-Bagansiapi-api bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih enam jam atau dua jam jika dari Dumai.
Gagalnya rencana pembangunan pelabuhan itu juga diakui Bupati Rokan Hilir, H Annas Maamun. Menurutnya, itu terjadi karena dulu terjadi kesalahan dalam pemilihan lokasi pelabuhan. Ketika itu yang ingin dijadikan areal pelabuhan adalah daerah di sekitar pertengahan Sinaboi. Padahal, di tempat itu perairannya dangkal sehingga menyusahkan kapal-kapal yang hendak bersandar.
“Kini, rencana pembangunan pelabuhan di Sinaboi sudah diperbaiki. Lokasinya akan dipindahkan tepat di bibir Selat Melaka. Dengan demikian tempatnya benar-benar strategis dan ia tepat berada di perairan dalam sehingga takkan menyusahkan kapal-kapal yang mau singgah. Untuk biaya paling tidak memakan Rp100 miliar. Untuk jembatan kayu di Sinaboi akan segera kita ganti dengan yang permanen,” ujar Annas.
Selain pembangunan pelabuhan, salah satu masalah klasik yang menyebabkan terisolirnya daerah pesisir seperti masih lemahnya infrastruktur yakni jalan dan listrik juga adalah lagu lama di Sinaboi. Inilah kendala akut yang menyebabkan perekonomian sulit sehingga akhirnya menjadi kantong kemiskinan. Belum semua daerah di Sinaboi bisa menikmati aliran listrik.
Pengerjaan akses jalan Sinaboi-Dumai sejauh kurang lebih 60 Km hingga kini juga masih terbengkalai. Padahal, jalan ini telah dianggarkan sejak tahun 2003. Bahkan, proyek jalan ini pernah jadi kasus dugaan korupsi senilai Rp1,5 miliar yang sempat ditangani Polda Riau.
Meski jembatan di akses jalan Sinaboi-Dumai telah selesai, namun jalan ini tak kunjung terhubung karena Departemen Kehutanan tidak memperbolehkan pembangunan jalan yang melintasi areal perkebunan HPH sepanjang 25 Km. Padahal, jika akses jalan Sinaboi-Dumai terealisasi, jarak tempuh di antara keduanya hanya akan makan waktu satu jam.
Kondisi inilah yang juga sempat membuat Annas Maamun naik spaning. ‘’Masa kita mau membangun jalan di daerah sendiri tidak boleh?” ungkapnya. Kini, secercah harapan terbit kembali setelah Annas bertemu dengan Menteri Kehutanan yang baru.
“Saya sudah menghadap Menhut untuk membicarakan hal ini. Menhut mengizinkan namun beliau minta kita menyiapkan kembali berkas-berkas lama. Mudah-mudahan ini tak ada lagi kendala sehingga jalan Sinaboi-Dumai bisa segera selesai. Karena, dengan terbukanya jalan ini juga bisa membuat perekonomian rakyat menggeliat dan bisa mengurangi kemiskinan,” kata Annas.
Sebelum sampai ke perkampungan nelayan Sinaboi, kita akan melewati Kepenghuluan Rajabejamu dan Kepenghuluan Sungai Nyamuk. Kedua masih termasuk dalam wilayah Kecamatan Sinaboi. Di kiri dan kanan jalan banyak tumbuh pohon kelapa dan areal persawahan. Memang, selain terkenal sebagai pengekspor ikan, Rokan Hilir juga menjadi salah satu pemasok beras bahkan dulu juga terkenal dengan karet alamnya.
Memasuki perkampungan nelayan Sinaboi, khususnya Sinaboi Besar, kita menemui jembatan kayu sepanjang kurang lebih 50 meter yang beberapa bagiannya sudah ada yang menganga. Sampai di sini mobil terpaksa diparkir dan perjalanan hanya bisa dilanjutkan dengan berjalan kaki atau naik sepeda motor.
Turun dari jembatan kita akan disambut jalan semen di atas air dengan lebar kurang lebih dua meter. Di perkampungan nelayan ini, sebagian besar penduduknya adalah warga Tionghoa. Tempat tinggal mereka merupakan rumah panggung dari kayu yang dibuat menghadap ke jalan dengan jarak yang sangat rapat. Di bagian atas rumah juga umum dijadikan sarang burung walet.
Di bagian belakang rumah-rumah ini, bersandarlah puluhan kapal pompong. Karena ketika itu Hari Raya Imlek baru sepekan berlalu, suasana kampung masih terasa meriah karena lampion dan hiasan khas Imlek lainnya memenuhi jalan dan rumah-rumah penduduk. Suasananya lebih terasa seperti di China Town.
Menurut Camat Sinaboi, Abdul Manan, ketika pasokan ikan menurun dan melaut tak lagi menjanjikan, kini masyarakat beralih mata pencaharian dengan berladang atau membuat kebun sawit.
“Kalau untuk Kepenghuluan Rajabejamu dan Sungai Nyamuk, mata pencaharian bercocok tanam dan berkebun tidak terlalu masalah. Karena wilayah mereka memang lebih banyak daratan. Cuma untuk Kepenghuluan Sungai Bakau dan Sinaboi sendiri, beralih mata pencaharian inilah yang jadi masalah. Sebab mereka telah terbiasa melaut,” ujar Abdul Manan. Padahal, lanjut Abdul Manan, dengan kondisi tanah yang subur, bercocok tanam ataupun berkebun tetap menjanjikan.
“Karena itu kadang di sini pendatang bahkan lebih maju dari warga tempatan. Sebab mereka memang sudah terbiasa bekerja mengolah tanah. Sementara warga tempatan tetap masih terbiasa melaut. Kalau masalah listrik, kendala saat ini adalah masih kurangnya mesin (pembangkit listrik tenaga diesel), sehingga listrik masih belum merata,” tutur Abdul Manan.(bersambung)