Nominator Rida Award 2010

Mengintip Kehidupan Anak Jalanan Simpang Lampu Merah SKA (2)

Jurnalistik Selasa, 24 Agustus 2010
Mengintip Kehidupan Anak Jalanan Simpang Lampu Merah SKA (2)
Mengintip Kehidupan Anak Jalanan Simpang Lampu Merah SKA (Sumber : www.google.com)

’’Orang Tua Berbuat, Anak yang Pikul Tanggung Jawab’’
Sungguh dilema. Di satu sisi, banyak anak yang telah dibesarkan dengan susah payah oleh orang tuanya justru pada saat berkeluarga ‘lupa’ dengan ‘keringat darah’ orang tua. Namun di sisi lain, anak-anak jalanan di simpang lampu merah SKA justru mengais rezeki untuk orang tua mereka. Mereka justru diharuskan untuk memikul tanggung -jawab akibat ulah dari perbuatan orang tua mereka. Sungguh kerasnya roda kehidupan zaman.

Laporan NUKE FATMASARI, Pekanbaru    nuke@riaupos.com

SENIN (25/1) adalah hari kedua Riau Pos ‘mengintip’ kehidupan anak-anak jalanan. Riau Pos masih penasaran dengan bocah lelaki berbulu mata lentik yang sampai Ahad (24/1) lalu masih belum Riau Pos ketahui namanya. Biasanya, di sela-sela ‘tugas’ mengumpulkan recehan, bocah lelaki itu bersama teman-teman sebanyanya, bermain ditumpukan kelikir atau ilalang yang ada di depan jejeran rumah toko (ruko) yang pembangunannya sudah beberapa tahun tak kunjung selesai.

Ditunggu hingga pukul 15.15 WIB, bocah lelaki itu tak kunjung tampak. Esoknya, Selasa (26/1), Riau Pos datang lagi ke lokasi tempat mereka biasanya berkumpul. Di kedatangan kali ini, Riau Pos ‘mengintip’ dari dekat. Riau Pos singgah ke kedai kaki lima terdekat. Waktu menunjukan pukul 16.35 WIB. Azan Salat Ashar baru saja selesai dikumandangkan.

Di kedai itu, Riau Pos berkenalan dengan lelaki berusia 65 tahun yang sehari-hari dipanggil Opung atau bapak. Dari lelaki asal Tapanuli Selatan inilah Riau Pos akhirnya tahu bahwa kehidupan anak-anak jalanan itu memang keras dan sungguh tak terbayangkan. Baru saja dilahirkan, mereka sudah ‘dimanfaatkan’ oleh orang tuanya untuk mengais recehan di persimpangan lampu merah. Apakah orang yang ‘memanfaatkan’ anak-anak polos itu pantas disebut orang tua atau benarkan mereka adalah orang tua mereka?

Seorang bocah yang baru berusia dua tahunan, datang ke warung Opung saat Riau Pos baru lebih kurang 15 menit duduk di sana. Bocah bertelanjang kaki yang di sudut mata dan lututnya terdapat luka, datang membeli rokok beberapa batang. Rokok tersebut dibelinya untuk ibunya yang diketahui Riau Pos sedang asyik bermain judi di kedai kopi sangat sederhana terbuat dari kayu-kayu buruk dan beratapkan plastik biru tepat di samping ruko yang tak selesai pembangunannya itu. Tak lama, bocah itu kembali lagi karena rokok yang dibelinya salah.

Sekitar 20 menit kemudian, seorang perempuan yang mengaku berusia 10 tahun datang pula ke kedai Opung. Perempuan berbaju merah lusuh tanpa alas kaki itu juga berbelanja. Dari Opung, Riau Pos mengetahui bahwa perempuan itu bernama Cindy. Cindy dan empat orang adiknya tinggal di belakang ruko yang ada di seberang jalan tempat Riau Pos ‘mengintip’. Cindy datang bersama keluarganya dari Padang. Di simpang lampu merah, Cindy, adik perempuan dan tiga adik lelaki, mengais rezeki untuk ‘biaya’ berjudi ibunya. Kasihan Cindy. Meski pada Riau Pos, Cindy mengaku tak bersekolah, namun ia pandai matematika. Beberapa kali digoda temannya dengan pertanyaan hitung-hitungan. Tambah-tambah hingga kali-kali. Cindy dengan cepat dan bijak menjawab. Jawabannya selalu benar. ‘’Belajar dari mana Cindy?’’ tanya Riau Pos. Gadis berambut panjang tak terurus ini tak memberi jawaban.

Dari cerita Opung diketahui bahwa ibu Cindy sudah tiga kali berkawin dan rata-rata meninggalkannya karena kebiasaan buruknya bermain judi. ‘’Dulu, ibu Cindy tinggal di Pasar Raya Padang,’’ cerita Opung yang juga 35 tahun di Padang dan baru 10 tahun di Pekanbaru. Cindy dan empat beradik mengais rezeki untuk ‘modal’ ibu bermain judi. ‘’Itulah hidup Dik. Keras dan menyedihkan. Di satu sisi saya ditinggalkan oleh anak-anak yang kami besarkan dengan ‘keringat darah’ namun di sisi lain, mereka anak-anak ini justru ‘dipaksa’ untuk mengais rezeki recehan,’’ ucap Opung.

Di kedai Opung, anak-anak jalanan biasanya singgah berbelanja. Opung yang tidak mengetahui kalau kami adalah Riau Pos, bercerita banyak tentang kehidupan mereka. Seorang bayi perempuan yang ternyata berusia 1,5 tahun, yang pada Ahad (24/1), digendong Cindy saat mengais rezeki di simpang lampu merah, duduk bersama ibunya, perempuan muda yang masih terlihat paras cantiknya. Perempuan muda itu asal Palembang dan sudah ditinggalkan oleh suami. Kini, bayi perempuan itulah yang mengais rezeki untuknya.

Lalu, ada pula bocah lelaki yang baru tiga bulan ini datang dari Medan. Ayah dari bocah lelaki ini kini mendekam di Lembaga Permasyarakatan Medan sedangkan ibunya juga punya hobi buruk bermain judi serta mabuk. Bocah lelaki inilah yang mencarikan uang untuk menyalurkan hobi si ibu. Sementara Nong, gadis asal Aceh, yang dalam tulisan sebelumnya Riau Pos panggil Bunga, datang bersama kakaknya dan anak dari kakaknya ini kini sudah tiada. Bukan karena sakit namun karena teman sepermainannya yang juga anak jalanan.

Cerita tentang kerasnya kehidupan anak jalanan mengalir begitu saja dari Opung. ‘’Bila adik tahu cerita kehidupan anak-anak jalanan ini secara keseluruhan, adik pasti kaget. Hidup mereka benar-benar keras. Mereka anak-anak yang tabah. Namun sayang, orang tua mereka tak memberi mereka contoh yang baik. Itulah hidup Dik. Penuh perjuangan dan mereka dituntut untuk berkorban,’’ ucap lelaki tua mantan supir taksi ini. ‘’Inilah asam garam kehidupan,’’ singkatnya.

Riau Pos melirik jam. Waktu menunjukan pukul 17.35 WIB ketika sepeda motor Revo baru dengan nopol BA 48XX BR singgah. Motor itu dikendarai seorang ibu berperawakan besar dan diboncengannya duduk seorang bocah lelaki yang Riau Pos duga seumur Cindy. Siapakah dia? Opung berujar, yang di motor itu juga orang tua yang tak patut untuk ditiru. Dia datang dari Pariaman. Di Pekanbaru, dia menyuruh anaknya untuk mengemis di lampu-lampu merah. ‘’Kadang-kadang mereka di Jalan Riau dan kadang-kadang di sini (SKA, red). Berpindah-pindah tempat,’’ ujar Opung. Lalu ibu gendut itu kerjanya apa? ‘’Nggak ada. Kerja dia cuma mengantarkan anaknya ke simpang-simpang lampu merah,’’ jawab Opung.

Rindu Sekolah
‘’Kami juga ingin sekolah, namun apa daya kami orang susah. Bila dilahirkan di keluarga yang serba berkecukupan, mungkin kami mau sekolah. Kami pun rindu sekolah. Namun keluarga kami susah. Jangankan untuk biaya sekolah, untuk makan pun susah,’’demikian ucap Sugiyanto. Berbeda dengan anak jalanan lainnya, Sugiyanto ogah jadi peminta-minta. Sebaliknya, ia justru membantu abangnya berdagang Siomay Bandung. Remaja asal Brebes, Jawa Tengah ini pada Riau Pos, Ahad (24/1), terlihat sibuk menjualkan siomay Bandungnya dengan harga Rp1.000, Rp1.500 atau Rp2.000 per bungkus kepada anak jalanan. Sugiyanto atau biasa dipanggil Yanto, bercerita banyak tentang dirinya yang baru tiga bulan ini mencari nafkah dengan berjualan siomay Bandung di Pekanbaru.

‘’Sebelumnya kami di Pasirpengaraian. Saya ikut abang ke sini (Riau, red). Berjualan Siomay Bandung. Kami ada berlima. Saya, abang, sepupu saya dan teman-teman abang,’’ ujar Yanto yang mengaku hanya dapat menikmati bangku sekolah sampai kelas enam Sekolah Dasar (SD) saja. Ketika ditanya Riau Pos, apabila sekolah, sekarang sudah kelas berapa? Yanto dengan mantap menjawab, ‘’Kelas 2 SMA Kak.’’

‘’Sebenarnya saya rindu sekolah. Apalagi ingat teman-teman di Jawa. Namun mau bagaimana lagi. Orang tua kami hanya petani dan kami orang susah. Kakak saya yang besar, sekarang jadi Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia. Hanya kakak yang tamat sampai SMA. Sedangkan saya diajak abang merantau bersama bosnya ke Riau. Kami berjualan siomay. Setelah abang tahu bagaimana membuat siomay Bandung yang enak, kami pun pindah ke Pekanbaru. Baru tiga bulan ini,’’ papar Yanto yang sehari-harinya berjualan siomay Bandung untuk anak-anak SD dan SMP di seputaran Jalan Tuanku Tambusai Pekanbaru.

Ayah dan ibu Yanto di kampung bukan petani pemilik lahan namun mereka adalah petani yang bekerja dengan petani lain yang punya lahan. ‘’Kami sekeluarga berlima Kak. Orang tua kami susah. Kakak yang jadi TKI pun tak bisa berbuat banyak. Akhirnya saya sendiri yang putuskan untuk berhenti dan ikut abang mencari nafkah. Bukan untuk orang tua namun untuk biaya hidup,’’ ujarnya.

Di Pekanbaru, Yanto dan ‘keluarga kecil’nya tinggal di salah satu rumah toko (ruko) yang belum rampung pembangunannya di belakang Berlian Karaoke. Untuk biaya sewa, mereka membayar Rp150 ribu per bulan. ‘’Tinggal kos di sana (ruko, red) juga dibatasi waktunya sama yang punya. Cuma sampai tiga tahun saja,’’ cerita Yanto. Jika sedang laris, penghasilan dari jualan siomay Bandung mampu mencapai Rp100 ribu per hari. ‘’Untuk biaya makan dan modal tetap nggak cukup Kak. Padahal sudah ada tiga gerobak kecil (berukuran sangat sederhana, red). Dua gerobak berjualan siomay Bandung dan satunya lagi berjualan kue putu. Begini lah kerasnya hidup Kak. Padahal waktu SD, cita-cita saya bukan menjadi tukang siomay Bandung,’’ ucap Yanto.(bersambung)