Kamis, 12 September 2024
Wartawan JPNN.COM Afni Zulkifli meraih penghargaan Rida Award 2010, untuk kategori Karya Jurnalistik terbaik. Sebelum bergabung dengan JPNN.COM Afni adalah wartawan Pekanbaru Pos. Selain gesit, Afni juga dikenal sebagai reporter yang tidak mudah menyerah. Ia juga mudah menyesuaikan diri. Sehingga, begitu menginjakkan kakinya di Jakarta, ia langsung tancap gas sebagai mesin pencari berita yang produktif. Namun, bukan liputan Afni di Jakarta yang kali ini mendapatkan penghargaan Rida Award, penghargaan jurnalistik yang digelar untuk lingkungan Riau Pos Grup (RPG). Penghargaan Jurnalistik Rida Award sudah digelar tiga kali, dan digelar setahun sekali.
Kali ini Afni tidak menulis kembali laporan gempa bumi itu. Tetapi, ini merupakan catatan perjalanan Afni, bagaimana ia melakukan liputan gempa bumi di Padang Pariaman. Ketika itu, Afni memutuskan naik sepeda motor dari tempatnya bekerja di Pekanbaru menuju ke Padang. Padahal, saat itu ia masih mengalami cedera patah kaki, karena kecelakaan. Namun, didorong semangatnya yang menggelora ia tetap nekad melakukan reportase ke lokasi gempa bumi dengan bersepeda motor dan kaki masih pincang. Berikut catatan perjalanan Afni, yang dua pekan silam memupus keraguannya untuk melepas statusnya sebagai perempuan lajang.
------------------
‘’Ya Allah Nak, Kami Lapar’’. Tak kusangka, tulisan hasil kerja jurnalistikku selama hampir sebulan itu-bercerita tentang kondisi para korban gempa di sepanjang garis pegunungan Padang Pariaman- akan tampil sebagai pemenang Rida Award 2010. Sebuah anugerah dilingkungan Riau Pos Group (19 anak erusahaan media RPG Se Pulau Sumatera)yang selama ini menjadi incaranku.
Aku senang dengan dunia tulis menulis, sejak aku masih kecil. Aku selalu ingin menjadi seorang penulis. Karna dulu aku tidak tahu, ada pekerjaan yang namanya jurnalis. Kemenanganku itu, seperti anugerah dari Tuhan. Pertama, aku masih terlalu junior di media sebesar RPG ini *belum sampai 3 tahun* . Kedua, menjadi anugerah karena aku baru saja melangsungkan pernikahan diawal bulan. Ketiga, karena tulisan itu aku buat awalnya tidak ada sama sekali terniat untuk dilombakan.
Masuk nominator saja - aku sudah bangga luar biasa. Jadi saat panitia memintaku pulang dari Jakarta ke Pekanbaru untuk menghadiri pengumuman, aku sempat bertanya:’’Apa tak bisa diwakili saja?’’. Ternyata tak bisa. Jadilah aku mendadak pulang dengan pesawat siang.
Malamnya, aku berangkat dari rumah juga dengan perasaan siap kalah. Bukan berarti aku tidak optimis jadi pemenang, tapi aku memang menulis bukan untuk jadi pemenang. Tapi bagaimanapun, seperti yang pernah dikatakan seorang Rida K Liamsi ‘’Hargailah karya jerih payah sendiri’’ maka rasanya perlu untuk aku ceritakan kembali, dibalik semua kemenangan itu. Karna tulisan itu bagiku bukanlah sekedar tulisan.
30 September 2009. Padang-Sumatera Barat diguncang gempa dengan kekuatan 7,9 SR. Saat mendengar beritanya aku langsung tersentak. Memory-ku langsung kembali pada beberapa musibah nasional yang pernah aku saksikan dampaknya dengan mata kepalaku sendiri. Berbagai musibah ini, akhirnya menjadi awal mengapa aku memilih menjadi seorang Jurnalis. Aku rasa, aku memang ditakdirkan untuk menceritakan ini kembali. Disini.
Saat musibah akbar gempa dan tsunami Aceh tahun 2004, yang menewaskan ratusan ribu jiwa dan diakui masuk 5 besar musibah bencana alam terbesar sepanjang sejarah dunia, aku yang masih menjadi mahasiswa di Malang-Jawa Timur, saat itu akhirnya terbang dengan menggunakan Hercules TNI AU untuk menjadi relawan. Aku memimpin tim relawan dan hanya sendirian perempuan. Tapi waktu itu aku masih
seorang mahasiswi biasa dan bukan seorang wartawan.
Aku bergerak hanya berdasarkan naluriku sendiri. Aku tidak bisa hanya duduk diam menyaksikan televisi terus melaporkan jumlah korban yang tak pernah berhenti. Aku tidak bisa hanya mendengarkan, dampak gempa yang menghilangkan puluhan kota seketika. Aku tidak bisa hanya diam saja.
Di Aceh, aku menghabiskan waktu hampir 1 bulan. Yang kami kerjakan dihari-hari pertama adalah memunguti mayat-mayat korban gempa dan tsunami. Mayat-mayat itu ibarat sampah yang berserakan dimana-mana. Ada yang hilang kepalanya, ada yang hilang matanya dan sangat banyak yang hilang anggota badan lainnya. Sementara ribuan pengungsi lainnya, harus kami saksikan setiap hari mencari sanak saudara mereka. Tanpa air mata karena mungkin memang sudah habis tak bersisa.
Aku saat itu masih seorang mahasiswi, saat menyaksikan betapa dampak bencana alam itu ibarat kutukan Tuhan. Ibu kehilangan anak-nya. Anak kehilangan Ayah Ibu-nya. Tidak ada lagi halaman. Tidak ada lagi sanak keluarga. Mengaduh kesakitan sendirian. Aku bersama ribuan relawan yang datang dari penjuru Negeri dan dunia Internasional, saat di Aceh benar-benar setiap hari hanya bekerja diatas kuburan hidup saudara-saudara kami sendiri.
Sekitar 10 hari, kerjaku adalah memunguti mayat-mayat korban tsunami. Sesekali menyalurkan bantuan sembako ke pegunungan-pegunungan di Lamno dan Lok Nga. Melewati ribuan Kilometer tanah tak lagi berpenghuni. Dua kota ini hanya menyisakan ratusan penduduknya saja. Selebihnya hilang tanpa bekas bersama dengan kota mereka.
Sedangkan sisa hari lainnya di Aceh, aku direkrut oleh Tentara Diraja Udara Malaysia (TUDM) untuk membantu mereka bekerja di atas Helikopter. Mereka butuh seorang penerjemah bahasa bagi penduduk tempatan. Saat itulah, untuk pertama kalinya aku melihat cara kerja wartawan saat berada dilokasi bencana.
Setiap hari, aku berangkat menggunakan helikopter sekitar pukul 07.00 WIB pagi. Helikopter hanya mengangkut empat orang kru saja. Pilot, Co Pilot, tekhnisi dan Aku. Aku bertindak mengatur siapa saja yang akan naik dan tidak boleh naik ke atas helikopter. Selain itu kami menyalurkan bantuan dari negeri jiran itu melalui udara, ke lokasi-lokasi gempa yang tidak tercapai oleh bantuan darat.Karena jalan dan jembatan di daerah-daerah sudah banyak yang hilang tergerus tsunami.
Selain membawa bantuan barang sembako, helikopter itu juga bertugas membawa para wartawan. Baik media lokal maupun media asing. Setiap hari, wartawan yang mengantri untuk bisa naik helikopter mencapai ratusan. Yang bisa diangkut hanya 5-7 wartawan saja tiap harinya.
Para wartawan ini datang dari seluruh penjuru dunia. Saat itulah, aku pertama kali melihat,bagaimana seorang wartawan dari belahan dunia Eropa, rela meninggalkan istrinya yang sedang hamil, hanya untuk mendapatkan berita dan foto-foto dari lokasi tsunami. Saat diatas helikopter aku berkomunikasi
dengannya, dikatakannya begini:
‘’Bencana ini luar biasa dahsyatnya. Ada ribuan jiwa yang akan mati kelaparan. Kita harus segera menyampaikan berita, foto dan memberikan fakta pada dunia, tentang apa yang terjadi disini. Mungkin kita tidak bisa memberikan bantuan dengan materi, tapi kita bisa menyebarkan berita ini dan secara tak langsung telah membantu saudara-saudara kita disini,’’.
Aku saat itu begitu tersentuh dengan profesi seorang jurnalis. Setiap hari, aku selalu mengamati cara kerja mereka. Bagaimana sebuah kamera menjadi senjata. Bagaimana mereka melakukan wawancara dengan para korban. Dan mereka memeluk para korban sambil terus mengatakan,’’Kami akan kabarkan keadaan kalian disini. Semoga besok bantuan sudah tiba’’.
Aku saat itu berpikir: ditengah bencana, wartawan yang datang dengan sebuah kamera dan pena ditangan mereka, seperti air ditengah padang pasir. Air harapan bagi para korban. Kami setiap hari terbang, mendekati pegunungan-pegunungan dan menyalurkan bantuan. Sesekali membawa korban dari pegunungan yang sudah kritis untuk segera mendapatkan pertolongan di kota. Tiga kali helikopter harus berhenti di lokasi yang disebut sebagai basis GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Dan sekali, helikopter yang kami tumpangi nyaris jatuh di pegunungan karena mengalami kerusakan mesin. Tapi kalaupun saat itu aku mati, aku senang mati disaat membantu saudara-saudaraku sendiri. (Bersambung )