Selasa, 08 Oktober 2024
KETIKA Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Riau Pos Intermedia yang menerbitkan harian Riau Pos, yang dilangsungkan di Prigen, Jatim, tahun 1994, menyetujui usul saya untuk melakukan uji coba sistim cetak jarak jauh (SCJJ) di Tanjungpinang, sebelum ada gambaran persis bagaimana ujud teknologi cetak jarak jauh akan diterapkan. Apakah menggunakan teknologi yang dibentuk Deppen, atau ada pilihan lain yang lebih murah tetapi aman, seperti yang sedang diujicoba panitia khusus studi sistem cetak jarak jauh yang dibentuk Deppen, atau ada pilihan lain yang lebih murah tetapi aman, seperti yang sedang diujicoba oleh harian Jawa Pos melalui proyek SCJJ nya Surabaya-Balik Papan. Yang jelas, usul saya tentang SCJJ itu lebih dilatar belakangi sedikit idealisme dan sedikit penciuman bisnis. Antara lain adalah:
1. Secara geografis memang sulit bagi Riau Pos yang terbit di Pekanbaru untuk menguasai pasaran di Bintan dan Batam, karena letaknya yang jauh dan transportasi yang kurang mendukung. Koran dikirim dari Pekanbaru kadang-kadang baru berangkat pukul 10.00 dan beredar di Batam pukul 14.00 dan bahkan di Tanjungpinang bisa pukul 16.00. Terkadang koran tidak terangkut, karena pesawat Pekanbaru Batam penuh. Sementara, potensi pasar di dua daerah ini begitu besar, apalagi setelah kedua kawasan ini dinyatakan sebagai salah satu pusat pertumbuhan dan kerjasama ekonomi yang disebut Sijori (Singapura, Johor, dan Riau) itu. Diprediksi, penduduk di dua kawasan industri dan pariwisata ini akan mencapai 2 juta jiwa. Sedangkan peran ekonominya demikian besar dan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ini akan merupakan pasar iklan yang sangat berarti, kalau Riau Pos bisa menguasai pasar kawasan ini.
2. Secara ideal, Riau Pos punya kewajiban moral untuk juga memperhatikan masalah penyebaran informasi di kawasan perbatasan Riau tersebut, karena adanya ketidak seimbangan arus informasi yang diterima. Informasi melalui media asing misalnya, selain masuk melalui media TV dari 7 saluran (4 dari Malaysia dan 3 dari Singapura), juga dari media cetak. Pukul 08.00 paling lambat The Strait times sudah beredar di batam dan Tanjungpinang. Juga koran-koran lain yang terbit di Singapura, seperti Bussines News. Jika Riau Pos bisa terbit dan beredar lebih pagi di Batam dan Bintan, berarti ada harus informasi lain yang masuk ke sini sudah memberi pengaruh opini yang lain terhadap kehidupan masyarakat daerah perbatasan ini.
3. Secara bisnis, SCJJ ini juga bisa melakukan penghematan yang cukup besar buat ongkos kirim. Karena sebelumnya untuk ongkos angkut koran dengan pesawat dari Pekanbaru ke Batam dan Tanjungpinang rata-rata perbulan sudah menguras Rp 12,5 juta. Belum biaya lainnya. Kalau SCJJ, berarti hanya ada angkutan jarak pendek dari Bintan ke Batam dan ini hanya akan menelan 50% dari biaya kirim sebelumnya. Disamping lebih terjamin, bahwa koran tersebut tetap terangkut dan tiba pada waktunya.
4. Sisi lain, adalah faktor kepeloporan. Ini sudah merupakan komitmen semua anak perusahaan yang tergabung dalam Jawa Pos Media Grup untuk selalu berada di depan.”Kepeloporan itu penting, agar kita selalu kreatif, dinamis dan berada di depan agar tidak tergilas oleh perubahan,” begitu penegasan Dahlan Iskan, bos Jawa Pos Media Grup pada setiap kali bertemu karyawan, atau rapat dengan pimpinan anak perusahaan.
Itulah pada awalnya. Tapi bagaimana gagasan itu bisa direalisasi? Bagaimana teknologi yang harus dipakai?
***
GAMBARAN tentang teknologi yang dipilih itu, baru dipastikan sekitar bulan Juli 1995, setelah devisi teknik JPNN menawarkan satu model ujicoba yang lebih murah, namun terjamin secara teknis. Pilihan ini semakin kuat, setelah lokakarya masalah cetak jarak jauh yang diprakarsai Ditjen Grafika Deppen di Surabaya, awal bulan September, tidak menemukan teknologi yang lebih murah. Mereka menyimpulkan, SCJJ masih sulit, dimana teknologi yang ditawarkan masih tetap mahal, dan masih diatas Rp 5 milyard. Setelah pilihan teknologi versi Jawa Pos Grup yang akan digunakan itu pasti, barulah kerja-kerja persiapan awal, terutama pekerjaan sipilnya dimulai.
Tapi mengapa di Bintan, bukan di Batam? Bukankah secara bisnis, Batam lebih menjanjikan karena daerah ini sudah lama berkembang. Semua prasarana sudah memadai, khusus telekomunikasi yang sangat diperlukan oleh sistim cetak jarak jauh. Juga, Batam kan pelabuhan bebas? Ini juga yang dipertanyakan pak Dahlan.
Tetapi, saya gigih mempertahankan pilihan dari Tanjungpinang, dan ini terutama dengan pertimbangan kemampuan investasi jangka pendek, dan mudah-mudahan tenaga kerja yang diperlukan. Tanah misalnya, jauh lebih murah dibeli di Tanjungpinang, ketimbang Batam, karena tanah yang dibeli di Tanjungpinang bisa langsung jadi hak milik. Sementara di Batam harus di sewa 30 tahun, dan jauh lebih mahal. Di samping, tanahnya nyaris sudah tak ada lagi yang disewa pihak lain. Kemudian upah buruh dan lainnya. Sehingga investasi awal berupa tanah dan bangunan bisa lebih irit. Disamping juga prediksi lima tahun ke depan, Bintan juga akan lebih dominan dalam pertumbuhan ekonomi dan penduduk. Paling tidak itulah alasan ekonomisnya, dan akhirnya pak Dahlan setuju.
Begitulah, akhirnya, dimulai dengan membeli tanah seluas lebih kurang 2000 meter persegi di jalan Sungai Jang, Tanjungpinang, maka proyek SCJJ itupun dimulai. Target seperti yang diinginkan pak Dahlan, adalah terbit paling lambat September 1995. ternyata, dengan berbagai upaya, terobos sana, terobos sini, akhirnya proyek itu selesai juga. Gedung percetakan yang merangkap kantor dengan luas yang tak lebih kurang 300 meter persegi selesai dibangun. Pertengahan Agustus, mesin cetak tiga unit merek Gross Community, tiba dan pertengahan September selesai dipasang. Uji coba cetak selama beberapa hari, sudah menunjukan hasil baik, dan berarti bisa dimulai. Tinggal bagaimana sistim tranmisi data untuk cetak jarak jauh itu sendiri. Pertanyaan: bagaimana mengirim halaman-halaman yang sudah di- lay out di Pekanbaru itu ke Tanjungpinang dengan tepat waktu, dengan tingkat gradasi seminimal mungkin, dengan perangkat teknologi kompeterisasi yang sederhana dan murah.
Disinilah letak keunggulan Devisi eknik Jawa Pos News Network (JPNN) yang bermarkas di Karah Agung Surabaya itu (kantor pusatnya harian Jawa Pos waktu itu, sebelum pihak ke Graha Pena di Jalan A Yani). Berkat kerja keras seluruh awak JPNN dan didukung oleh tenaga ahli dari Scomtec, Surabaya, perusahaan menyuplai sebagai perangkat kerja komputer yang dipakai, maka ditemukan cara yang paling efisien, murah dan dengan tingkat keberhasilan sampai 95%. Ini tentu saja tak terlupakan peran dari pihak PT Citra Surya Mandiri (CSM), perusahaan yang menangani perangkat penerima dan pengirim data melalui satelit. Kombinasi yang tak kenal lelah ketiga pihak ini, akhirnya memang berhasil mewujudkan impian Riau Pos dan Jawa Pos Media Grup untuk menjadi surat kabar pertama yang melakukan sistim cetak jarak jauh itu.
***
SEBETULNYA, saya sudah hampir menyerah. Soalnya, selama hampir tiga bulan bolak-balik Pekanbaru-Tanjungpinang untuk merealisasikan SCJJ itu, saya masih tetap jantungan karena teknologi yang dipakai masih terus dibeli sampai ke Singapura. Belum lagi kendala alam. Ketika uji coba pertama pengiriman data melalui satelit dari Pekanbaru ke Tanjungpinang sempat memakan waktu sampai 3 jam untuk satu file saja. Berapa lama perlu waktu kalau korannya hanya 16 halaman? Kapan terbitnya? Kerisauan begitu juga kerisauan para teknisi yang menangani proses teknoliginya.
Untung akhirnya ketahuan juga, bahwa salah satu kendala tranmisi itu adalah akibat dari tebalnya kabut asap dan abu, yang waktu itu diakibatkan oleh pembakaran hutan. Beberapa hari setelah kabut reda, maka proses tranmisi makin baik, makin cepat dan akhirnya pengiriman 16 halaman dari Pekanbaru, menembus waktu ideal hanya sekitar 2,5 jam saja.
Memang luar biasa teman-teman dari JPNN, CSM dan Scomtec itu. Gigih dan menjadikan proyek SCJJ Riau Pos ini sebagai tantangan mereka. Seluruhnya bertekad, harus jadi dan harus sukses. Tak heran, ketika tanggal 25 September, sekitar pukul 12.00, file pertama berupa satu halaman koran yang akan terbit, berhasil masuk dan diproses dalam waktu hanya sekitar 13 menit dan begitu halaman itu berhasil diprint, komplet, dan taNpa cela, maka seluruh teknisi SCJJ bersorak riang. Saya sendiri bahkan menjerit, melepas stress,
“Ya, Tuhan, Syukurlah…..Akhirnya jadi juga kerja kami ini,” kata saya sambil meneteng halaman training paper yang selesai diprint.
Saya suruh Heri Setiawan, teknisi dari Scomtec memegang halaman yang selesai di Print. Kebetulan edisi yang akan dicetak besoknya itu adalah edisi hari minggu, yang terbit 12 halaman.
Ternyata yang dua halaman lagi, macet. Lama sekali dan hampir empat jam baru tuntas. Semua berkeringat. Tapi, itu pun sebetulnya, keterlambatan yang bersejarah juga. Sebab gara-gara terlambat cetak itulah, maka pak Dahlan dan pak Eric Samola, SH (Presiden komisaris) PT Riau Pos Intermedia, dapat hadir dan menyaksikan cetakan pertama koran hasil cetak jarak jauh itu. Sebab kedua petinggi Jawa Pos Grup yang sudah berjanji akan hadir pada cetakan perdana SCJJ di Tanjung Pinang itu dan dijadwalkan akan tiba malam hari tanggal 24 September, ternyata terlambat gara-gara pesawatnya tertunda dan baru tiba di Tanjungpinang pagi pukul 10.00 pad saat-saat koran SCJJ sedang meluncur di mesin cetak. ”Hebat! Ternyata bisa juga kalian ya. Ini SCJJ pertama dan benar-benar sejarah……”kata pak Dahlan. Pak Erick (yang kini sudah almarhum) mengangguk-angguk setuju dan mengacungkan jempolnya.
Setelah hari itu, tak ada lagi masalah prinsip yang secara tehnik menjadi kendala uji coba itu. Dengan perbaikan sistim dan tekhnik kerja, pelan-pelan dead line penerbitan bisa teratasi, dan seminggu kemudian, Riau Pos benar-benar sudah beredar pukul lima pagi di Tanjungpinang dan pukul tujuh di Batam.
Banyak pembaca di Tanjungpinang dan Batam yang kaget. “Ah, dengan apa Riau Pos kirim koran, kok datang pagi sekali? Pesawat kan biasanya siang?” sebagian pembaca di Tanjungpinang mengungkapkan keheranan, karena sebelumnya koran di sana mereka terima diatas pukul 12.00.
Bahkan, hasil cetak jarak jauh ini, sempat juga membuat kaget Pak Harmoko, menteri Penerangan waktu itu. Waktu itu, pukul 06.00 pagi, ketika akan main teknis di Tanjungpinang, Pak Harmoko disodori koran Riau Pos oleh Pak Asparaini Rasyad, yang waktu itu adalah Kepala Biro Humas Pemda Riau. (Pak Asparaini juga adalah salah seorang komisaris PT Riau Pos Intermedia yang menerbitkan Riau Pos). “Koran mana ini? Koran sini?” Tanya Pak Harmoko, begitu cerita Pak Aspar. “Bukan pak koran Pekanbaru,” jawab Asparaini. ”Kok pagi sekali. Kan Pekanbaru di daratan Sumatera. Pakai apa kirimnya?” tanya Pak Harmoko. “Bukan dikirim Pak. Tapi ini koran Riau Pos yang dicetak jarak jauh,” lanjut Asparaini. “Apa, SCJJ. Apa Iya?” lanjut Pak Harmoko. Pak menteri heran. Terutama, karena beliau belum pernah memberi izin koran SCJJ, kok sekarang ada yang melakukannya? Tapi, kata Pak Asparaini, waktu itu, pak Menteri sekejap saja agak kaget. Setelah itu, biasa saja. Selesai membolak-balik beberapa halaman, langsung mengajak Asparani main tenis. “Saya ngeri juga kalau sampai Pak Hamoko bilang stop itu, mana izinnya” cerita Asparaini mengenang peristiwa itu.
Sementara Pak Asparaini dag dig dug dengan Pak Harmoko, saya juga dag dig dug, ketika menemui Pak Subrata, Dirjen PPG di kamarnya di Hotel New Holiday, di Batam. Pak Subrata, waktu itu berada di Batam karena PWI Pusat mengadakan Sidang Gabungan (Sigap) bersama Dewan Kehormantan dan Pengurus cabang PWI se Indonesia di Batam. Pak Harmoko diundang untuk membuka acara itu dan Pak Subrata sebagai salah satu pembicara. Pak Harmoko diundang untuk membuka acara itu dan Pak Subrata pun terkaget-kaget ketika saya lapori koran SCJJ itu, karena merasa belum pernah menandatangani izin SCJJ, meskipun tahu bahwa pihak Kanwil Deppen Riau da Riau Pos sudah mengajukan permohonan izin SCJJ di Tanjungpinang itu ke Deppen. Akhirnya, setelah saya jelaskan dan ditambah beberapa alasan, Pak Subrata bisa mengeryit dan mengangguk.
“Ya, teruslah. Tapi ini kan ujicoba. Izinnya terus diproses ya,” katanya. Saya mengangguk dan Plong, karena petinggi Deppen itu tak sampai memerintahkan saya untuk stop dan tak boleh melakukan SCJJ.
Saya juga plong, karena peristiwa koran SCJJ itu juga diketahui teman-teman para pengurus PWI Pusat, PWI cabang dan para tokoh pers Indonesia, seperti Pak Rosihan Anwar, dll, yang hadir di Batam yang pagi-pagi sudah disodori koran Riau Pos edisi SCJJ.
Keberhasilan uji coba ini, memang melegakan. Bukan Cuma bagi manajemen Riau Pos, juga bagi Pemda Riau. Gubenur Riau Soeripto, di dampingi Bupati Kepulauan Riau A Manan Saiman dan Walikota Tanjungpinang. Andi Rivai, memerlukandatang menjenguk unit SCJJ Riau Pos ini di Tanjungpinang. “Pertahankanlah ini,” pesan Gubenur Soeripto. Sebab dengan adanya SCJJ ini, misi ideal Riau Pos dengan motonya: Bangun Negeri, Bijakkan Bangsa, bisa semakin jelas, yaitu dengan cara membantu pemerintah dengan meratakan informasi ke tengah masyarakat.
“Sekarang masyarakat perbatasan Riau dan Singapura dan Malaysia, sudah bisa memperoleh informasi lebih pagi dari daerahnya sendiri. Tidak seperti dulu, keduluan koran asing,” ujar Pak Ripto. Dan bagi awak Riau Pos, pesan Boss yang satu ini, memang merupakan dukungan moral yang bukan kepalang besarnya. Mereka ingat bagaimana Gubenur Riau itu menolehkan pesannya di bekas plat cetak Riau Pos tahunn 1993: Sekali Layar Terkembang, Berpantang Surut Kebelakang” dan pesan itu sudah dipaku oleh karyawan Riau Pos sebagai tekad untuk maju terus. Pak Ripto sendiri, selain Gubenur Riau, tempat Riau Pos terbit, juga Ketua Yayasan Riau Makmur, pemegang 25 persen saham PT Riau Pos Intermedia, penerbit harian Riau Pos.
***
DAMPAK SCJJ itu bagi usaha Riau Pos sendiri segera terasa. Kalau sebelum SCJJ oplah Riau Pos yang beredar di Batam dan Bintan hanya sekitar 3500 eks per hari, maka dalam waktu satu tahun saja oplahnya sudah melewati 10 ribu eks, dengan pendapatan iklan yang naik hampir 400 persen. Ini membuat oplah Riau Pos di seluruh Riau naik deras menuju tiras 30 ribu.
Tapi, lagi-lagi Pak Dahlan benar. Setelah melakukan ujicoba selama hampir setahun, ternyata Tanjungpinang tidak pas untuk tepat SCJJ, karena kota ini bukan kota yang terlalu deras perkembangan ekonominya. Untuk kawasan ini ternyata masih tetap Batamlah primadonanya. Pengiriman koran dari Tanjungpinang ke Batam dini hari dengan speed boad, sunguh kerja yang luar biasa beratnya. Angin ribut. Mesin rusak, arus deras dan lain-lain hambatan. Akhirnya koran sampai di Batam tetap siangan. Akhirnya pasar tidak lagi dipaksa untuk agresif. Maka akhirnya, kami putuskan untuk memindahkan mesin cetak ke Batam. Maka akhirnya Batamlah yang jadi motor utama dan pusat pengembangan SCJJ ini. Dan pengujung tahun 1997, mesinpun pindah ke Batam. Dan pemindahan inipun merupakan sejarah tersendiri bagi sistim transfortasi Bintan-Batam. Karena ternyata, mesin cetak Riau Pos itu muatan pertama yang diseberangkan dari Bintan ke Batam dengan mengunakan truk-truk di atas kapal penyeberangan(RoRo) milik LASDF. Selama ini kapal Ferri penyeberangan itu hanya mengangkut penumpang dan barang. Kendaraan bermotor tidak boleh sembarangan, karena prosedurnya rumit, karena Bintan pelabuham bercukai. Di Batam kan banyak mobil tanpa cukai. Kalau dibawa ke Bintan, harus kena biaya yang mahal.
Karena itu, kerja memindahkan mesin cetak dari Bintan yang merupakan pelabuhan bebas cukai, bukan pula kerja yang tak melelahkan. Terutama mengurus surat menyuratnya. “Repot juga mengespor barang bekas,” kelakar teman-teman di tanjungpinang. Karena itu pula begitu, kapal Ferri itu merapat di pelabuhan LASDF Telaga Punggur dan mesinnya diangkut truk menuju gedung percetakkan baru di Tanjung Uncang, Batam, bukan kepalang lega hati saya.
“Mas, mesinnya sudah pindah,” begitu kata saya dari via telepon kepada Pak Dahlan, sembari menceritakan kisah pemindahan yang penuh pengalaman itu. Seperti biasa, Pak Dahlan Cuma ketawa.
“Ya, itukan namanya sekolah. Tapi Anda kan tambah pandai,” katanya.
Tapi sayang, proyek SCJJ yang dikerjakan dengan sudah payah dan penuh sejarah itu, ternyata pertengahan tahun itu. ternyata pertengahan tahun 1998, terpaksa kami kuburkan. Era reformasi, yang juga memberikan ruangan yang lebih longgar pada kehidupan pers Indonesia, justru gong bagi kami untuk sementara melupakan SCJJ Riau Pos. Hitungan bisnis kami menyatakan, bahwa akan lebih baik menerbitkan koran sendiri di Batam dengan visi, misi dan isi hampir sama dengan Riau Pos, tetapi mempunyai rasa Batam yang lebih tinggi. Maka, 10 Agustus 1998, lahirlah Sijori Pos, koran harian yang mirip Riau Pos, hanya untuk isi lokal (local contents) lebih banyak Batam dan sekitarnya. Dan Riau Pos membuat keputusan untuk memberi kesempatan saudara kandungnya itu untuk menjadi penguasa Batam. Artinya Riau Pos konsentrasi di pasar Riau Daratan dan Sijori Pos di Riau Kepulauan. Dan dampaknya Alhamdullilah, tidak mengecewakan. Oplahnya melesat dalam beberapa bulan menuju titik 20 ribu dan bahkan sampai 25 ribu per hari. Dan iklannya telah memberi kontribusi besar bagi ikut memajukan dunia promosi usaha disana. Sijori Pos pantas mengkampanyekan dirinya sebagai ”Koran Nasional Terbesar dari Batam”. Dan Sijori Pos, SCJJ itu, telah memberi warna dalam sejarah penerbitan pers di Riau dan khususnya di Riau Kepulauan tempat di mana sejarah Jurnalistik sudah terasa cukup jauh. ”Pohon Perhimpunan” sebuah jurnal perjalanan Raja Ali Kelana ke Natuna, yang terbit ditahun 1889, menjadi awal dalam sejarah jurnalistik di kawasan ini.
Dan ada satu hal lagi dalam riwayat penerbitan pers di Batam dan Bintan ini, khususnya Sijori Pos, yang patut di kenang. Menyambut tahun 2000 yang kenal dengan milenium III itu, Sijori Pos pernah terbit 100 ribu eksemplar (merupakan koran pertama di luar Pulau Jawa yang pernah terbit dengan oplah terbesar ini. Riau Pos sendiri Cuma pernah mencapai 50.000 eks, pada 22 Mei 1998, hari Pak Harto Lengser) pada tanggal 1 Januari 2000 dan memberikan bonus pada para pembacanya dengan memperebutkan sebuah mobil Suzuki Baleno, yang kami namakan Baleno Milenium. Teman-teman di Jawa Pos Grup kaget ketika Pak Dahlan menceritakan kisah itu dalam forum rapat evakuasi Jawa Pos grup dan mereka minta kami menceritakan bagaimana kiat kami menemukan ide itu dan apakah memang menguntungkan. Kan harga Balenonya mahal?
”Ini bukan soal untung rugi, tapi soal semangat .....,” kata saya. Ya, semangat, ya obsesi, ya mimpi, ya kenekatan, dan itu semua adalah bagian dari promosi, bagian dari bisnis...
***