Rabu, 30 April 2025
Saya memang mempunyai obsesi untuk menerbitkan sendiri surat kabar, dan obsesi itu sering membuat saya nekad. Tahun 1983, misalnya, saya nekad berhenti sebagai koresponden majalah Tempo di Riau, karena ingin menerbitkan surat kabar mingguan Genta di Pekanbaru, yang kebetulan sudah lebih setahun tidak terbit. Kenekatan itu muncul setelah saya ke Surabaya dan bertemu Dahlan Iskan, yang sudah saya kenal ketika dia menjadi koresponden Tempo untuk Kaltim dan kemudian jadi kepala Biro Tempo di Jatim. Saya iri, karena dia ternyata sudah memimpin surat kabar sendiri, Jawa Pos. “Kalau Dahlan bisa kenapa saya tidak?” kata hati saya. Walau kemudian kenekatan itu harus saya bayar mahal, karena ternyata saya hanya mampu bertahan setahun di surat kabar itu. Karena bertentangan dengan ketua yayasan penerbit surat kabar itu, saya akhirnya mundur, dan harus memulai dari nol lagi karir jurnalistik saya.
Tetapi, betapapun pahit, obsesi itu tetap tak pernah padam. Dan dia kembali bangkit, tujuh tahun kemudian, dan juga dibangkitkan oleh Dahlan Iskan. Saya ingat, ketika itu di suatu malam, di bulan Maret tahun 1990, di percetakkan Jawa Pos di Karah Agung, saya bertemu kembali dengan Dahlan. Sebetulnya, saya punya penugasan dari harian Suara Karya tempat saya berkerja waktu itu, untuk mewawancarai Dahlan dalam kapasitas selaku Team Manager Persebaya, dalam kesebelasannya baru saja mengharu biru stasiun-stasiun kereta api sepanjang jalan Jakarta- Surabaya, gara-gara kalah dari Persib, Bandung. Saya diminta Mas Susanto (Redpel Suara Karya) untuk minta komentar Dahlan tentang kejadian itu. Tetapi, begitu bertemu Dahlan, yang kami bicarakan justru bukan sepakbola, tetapi tentang surat kabar.
“ Sudahlah Rid. Tak usah pikirkan sepakbola itu. Sekarang bagaimana kalau kita bikin koran di Riau. Anda berani?” tanyanya. Saya memang agak kaget dengan tawaran itu. Tetapi, juga sekaligus surprais,karena sebelum dia mengajukan tawaran itu, saya sudah terkagum-kagum dengan keberhasilan Dahlan membangun Jawa Pos. dari sebuah surat kabar kecil kantornya di Kebang Jempung dengan oplah hanya 3.500 eks, di tahun 1983, tiba-tiba sudah menjadi sebuah koran besar dengan oplah 300 ribu,dengan sebuah percetakkan yang bagus, dan dengan sebuah kantor yang segera akan selesai untuk mengantikan kantor Kembang Jempun yang tua dan sempit itu. Tak heran, kalau jawaban saya pun bagai kilat menyambar.
“Berani, cuma saya harus diberikan mesin cetak,” kata saya.
“ Itu soal kecil. Saya punya banyak mesin. Ok Anda cari mitra koran daerah yang mau bekerjasama. Kalau OK, nanti kontak saya lagi,” lanjut Dahlan.
Begitu saja. Dia berdiri, menepuk bahu saya, berjalan pergi entah ke mana. Tinggalkan saya dengan seribu pikiran, di ruang tamu percetakan Karah Agung. Rasa tidak percaya, rasa meledak, dan tiba-tiba seperti sebuah perahu layar yang diterpa angin keras, langsung melesat, meluncur, menggapai kembali obsesi yang lama terpendam.
Begitulah. Saya segera kembali ke Riau, dan melakukan penjajakan dengan pihak surat kabar mingguan Riau Pos, milik Pemda Riau. Melalui kepala Biro Humasnya Drs Asparaini Rasyad, kami lakukan negosasi. Dan setelah terdapat kesepahaman, saya menengok kembali Dahlan, dan kemudian Dahlan mengirim Pak Indra Slamet Santoso, SH, ke Pekanbaru, untuk mewakili Jawa Pos dan sekitar bulan juni 1990, sebuah kesepakatan kerjasama antara yayasan penerbit Riau Makmur, penerbit SKM Riau Pos, dengan pihak Jawa Pos, ditandatangani dan sejak hari itu dimulailah upaya menerbitkan koran harian di Riau.
***
Saya tahu, bahwa upaya menerbitkan harian di Riau itu berat. Tetapi saya tahu, dengan dorongan Dahlan yang berasil membangun Jawa Pos, dan juga pengalamannya dengan dua koran daerah, yaitu Manutung di Balikpapan dan Fajar di Ujung Pandang, yang ternyata bisa berjalan baik, maka kerja menerbitkan Riua Pos akan menjadi lebih mudah. Yang penting, harus ada kerja keras, kemauan keras dan kerja terus menerus dari berbagai kelemahan dan kesalahan. “Kalau bikin koran itu gampang. Tapi yang susah itu jual koran,” kata Dahlan. Artinya harus ada manajemen untuk mengelola usaha itu. Itulah yang saya pegang.
Tapi, ya, tahun-tahun pertama penerbitan Riau Pos, adalah tahun-tahun yang sangat tidak mudah. Bukan hanya soal pengalaman yang terbatas dalam mengelola surat kabar, apalagi latar belakang saya adalah seorang wartawan. Bukan hanya soal modal usaha yang terbatas. Tapi karena juga model manajemen yang ditawarkan Dahlan adalah manajemen yang memang memerlukan semangat baja, pantang mundur, dan tak boleh menyerah dalam keadaan bagaimanapun.
“Tak apa. Biar kita rasakan bagaimana sulitnya berusaha. Nanti kalau berhasil dan jadi besar, tidak lekas gelap mata, dan besar kepala,” pesan Dahlan. Itu dengan suka duka, dan kalau diingat-ingat lagi membuat kami di Riau Pos, sering geleng kepala dan nyaris tak percaya.
Misalnya dalam hal sarana usaha. Meskipun Dahlan mengirim dua unit mesin cetak, haris V eks Tempo, tetapi sebagai peralatan pendukungnya harus dicari di Pekanbaru. Seperti membuat steiger untuk mengerek kertas ke mesin. Kami terpaksa mencarinya ke komplek besi bekas PT Caltex, di dekat sungai Siak. Dan saya ingat bagaimana Mas Sugiono (kini alm., dan untuk dialah terima kasih saya tak habis-habisnya) yang ditugaskan Dahlan memasang mesin, pergi bersama Suryanto, salah satu karyawan awal yang bergabung dan kini sudah menjadi penjabat harian Padang Ekspres, ke tepi sungai dan menemukan besi yang cocok. Namun besi itu terendam dalam air yang penuh kotoran manusia.
“Wes To, kita angkat saja. Biar nanti, pulangnya kita mandi,” cerita Suryanto mengutip ucapan Mas Sugiono. Besi itu harus dipikul mereka berdua lebih dari 100 meter, sebelum menemukan truk untuk ke gedung tempat mesin cetak akan dipasang.
Di kali lain, karena koran baru dan sebelumnya sudah beberapa kali mati-hidup, tingkat kepercayaan pasar sangat rendah. Tak usahkan untuk menjual, untuk titipkan saja, agen-agen tidak mau. ”Tak usahlah pak. Tak ada tempat nanti menumpuk,” kata agen-agen itu dengan berat hati.
Atau kali lainnya , “Tak usahlah, Pak, nanti terbit dua tiga kali, mati lagi. Pembaca kecewa,” kata mereka.
Akibatnya penjualan koran sangat-sangat lambat dan sulit. Maka cash flow-pun bukan main susah. Dan karena kurang pengalaman, banyak diabaikan. Spare Part mesin yang tak cukup, persedian kertas yang habis, dan lainya. Saya pernah terpaksa menempelkan pengumuman yang tak terbit, suatu hari dengan air mata yang mengenang di pelupuk mata. Saya benar-benar menangis, karena telah terbit beberapa bulan, terpaksa tak terbit karena kehabisan kertas. “Tak bisa mengaji karyawan tepat waktu barangkali bisa menghibur diri, tapi tak bisa terbit, saya rasa bagaikan kiamat,” kata saya sambil menahan rasa pedih.
Mesin cetak yang waktu itu kemampuannya terbatas dan hanya bisa mencetak hitam putih, juga sering membuat kami kelabakkan, jika ada pemintaan pemasangan iklan berwarna. Saya terpaksa membawa cetakan itu ke Padang, ke percetakan Kemenejer Jaya atau harian Singgalang. Satu ketika, saat dalam perjalanan pulang dari Padang, terjadi banjir besar. Jalan putus, dan kendaraan tidak bisa lewat. Padahal koran harus terbit keesokaan harinya, dan nomor bukti iklan berwarna harus dikirim ke Jakarta. Akhirnya saya nekad, dengan menumpang perahu kecil, sambil memikul hasil sebagian hasil koran percetakan, menyeberang jalan yang putus dengan perahu menuju bahagian jalan yang tidak terendam dan setelah berjalan kaki hampir setengah jam sambil memanggul koran, saya menumpang truk untuk menuju Pekanbaru. Di tengah jalan, dengan rasa lapar dan lelah yang tak tertahankan, saya berfikir, sampai kapan saya harus begini. Tapi, tiba-tiba rasa marah bangkit dalam dada saya.
“Tidak. Pokoknya, saya tak boleh menyerah. Riau Pos harus terus hidup. Harus besar,” kata saya bertekad.
Lebih dua tahun saya dan teman-teman di Riau Pos berjuang keras. Soal gaji tanggal 45 atau 60, sudah tak dihiraukan lagi. Pokoknya, kami harus membuktikan, Riau Pos adalah surat kabar pertama yang terbit di Riau, tiap hari dan mampu menembus batas waktu, dan tidak akan mati lagi. Kami menyebutnya sebagai perjuangan menembus mitos, karena sejak dahulu Riau dicap sebagai daerah yang korannya tak bisa hidup. Meski sudah banyak koran yang mencoba terbit, tetapi enam bulan kemudian mati lagi. Riau waktu itu disamakan dengan Irian Jaya dan Timor-Timur, padahal daerahnya kaya raya.
Dahlan dan Jawa Pos memang mengajarkan kepada saya kerja keras, ketekunan dan tanggungjawab. Karena itu, meskipun Jawa Pos punya uang, tak lantas menguncurkan Riau Pos bantuan dan pinjaman. Setelah modal kerja pertama diberikan dalam bentuk mesin, kertas dan biaya operasional, seterusnya Riau Pos harus hidup dan sendiri dan mandiri. Saya ingat bagaimana Pak Dahlan harus membeli dasi, karena kami harus bertemu dengan pimpinan sebuah Bank di Batam untuk menandatangani kredit modal kerja. “Dengan cara bisnis yang sehat begini, kita tahu bagaimana harus berusaha dan memenuhi kewajiban,” pesan Pak Dahlan sambil menanggalkan dasi dan memberikannya pada saya untuk kenang-kenangan setelah meninggalkan bank.
***
AKHIRNYA Riau Pos bisa tumbuh dan terus tumbuh. Mulai dari oplah hanya 2500 eks, ketika terbit pertama 17 Januari 1991, terus merangkak menjadi 7500 eks tahun kedua, 12.500 tahun ketiga, dan 18.000 tahun keempat. Tahun kelima sudah melewati 20.000 dan kami di kantor sempat membuat pesta kecil merayakan prestasi itu, dan bahkan waktu kami menyusun rencana anggaran dan menargetkan pendapatan Rp 1 milyar, kami mengundang Dahlan untuk memberikan semangat. Tahun itu kami namakan tahun Go to 1 M.
Tahun ke enam Riau Pos sudah menembus 25.000 eks. Dan tahun ketujuh (1998) sempat menembus oplah 50.000 eks, yaitu pada hari lengsernya Presiden Suharto dan oplah itu bertahan sampai 10 hari, walaupun kemudian turun. Tahun-tahun berikutnya, Riau Pos kukuh di pasar dengan oplah diatas 35.000 eks perhari.
Tapi dari rangkaian cerita di atas yang terpenting sebenarnya, adalah keberhasilan Riau Pos mempertahankan keberadaannya sebagian surat kabar daerah yang terbit terus dan Alhamdulillah tidak pernah absen mengunjungi pembacanya. Artinya, dengan terbit kontinyu, dari tahun ke tahun sampai tahun ke-10, maka Riau Pos sudah berhasil menembus mitos yang dulunya mengatakan bahwa di Riau tidak pernah ada koran yang bisa berumur panjang. Yang menuding orang-orang pers di Riau tak mampu mengelola surat kabar secara baik dan profesional, meskipun Riau daerah yang kaya raya dan rakyatnya cukup mampu. Karena itu, begitu kami menembus batas terbit tahun kelima, maka kami segera merayakannya sebagai tahun yang penuh sejarah. Kami mengkampanyenya sebagai tahun menembus mitos. Ini misalnya bisa dilihat dari billboard dan spanduk-spanduk Riau Pos dipasang sebagai bahagian promosi kami, yang mengambar seorang tokoh Melayu yang kami namakan wak atan, berdiri riang, sambil memanah sebuah papan targetnya (papan sasaran), dengan mengunakan anak panahnya selembar koran yang dilipat bak sebuah pesawat mainan. Gambar itu menyimbolkan keberhasilan kami menembus mitos itu, dengan gaya dan tradisi Riau, dengan citra dan filosofi budaya Melayu.
Dan tahun-tahun berikutnya, kami sudah mulai mengkampanyekan Riau Pos tidak hanya sebuah koran, tetapi juga sebagai sebuah kekuatan Riau di bidang ekonomi. Sebagai sebuah lokomotif pembangunan, yang terus bergerak kedepan. Terus di depan dan tetap terdepan. Insyallah!
***