Rida Award 2009

Tanjungpinang, dalam Ancaman Limbah Medis RSUD

Jurnalistik Selasa, 17 November 2009
Tanjungpinang, dalam Ancaman Limbah Medis RSUD

“Ini hasil limbah yang dibakar,” kata seorang pria sembari menunjukkan tumpukan abu hitam di dalam gerobak dorong tak jauh dari ruang berisi mesin incinerator Rumah Sakit Umum Daerah Tanjungpinang, Minggu (28/6). Pria itu, Freidy, tenaga honor yang pekerjaan sehari-harinya membakar limbah kering rumah sakit yang berpotensi menyebabkan pencemaran, termasuk penyakit.

Oleh Andre Mediansyah


RSUD Tanjungpinang rata-rata menghasilkan 25 kilogram limbah medis per hari, termasuk limbah cair. Lima tahun dan hingga sekarang, mesin instalasi pengolahan air limbah (IPAL) RSUD tidak berfungsi maksimal. Selama itu pula, sisa pengolahan limbah cair mengalir lewat parit melewati rumah-rumah penduduk. Menyebarkan potensi bahaya berupa kuman-kuman penyakit. Untuk kemudian, bermuara ke laut Tanjungpinang yang ikan dan udangnya ditangkap nelayan.

Selama ini limbah medis padat berupa botol infuse, jarum suntik, sisa obat, pisau bedah, sisa potongan manusia, bahkan sisa darah serrta air seni dari penderita HIV/AIDS, dimasukkan dalam kantong plastik kemudian di tumpuk di incinerator
Incinerator  adalah alat penghancur sampah medis berupa alat pembakaran. Membakar sampah dengan incinerator. merupakan cara yang paling mudah dan cepat memusnahkan sampah medis.

Freidy menjelaskan, jika warna kantong yang akan dimusnahkan berwarna oranye, itu ditandakan berisi limbah berbahaya. Menurut petugas sana, tak ada seorangpun petugas yang berani membuka kantong yang biasanya merupakan sampah bagi pasien HIV/AIDS. Semua sampah, setelah terkumpul selama tiga hari di incinerator., baru dibakar.” Ini untuk menghemat solar,” kata Freidy lagi.

Sementara limbah cair berbahaya yang seharusnya dialirkan ke IPAL untuk diolah, terpaksa turut dibakar bersama limbah medis kering.”Tapi ini dijamin tak berbahaya lagi. Kuman-kuman atau virus sudah mati,” kata Freidy lagi.

Sementara limbah cair berbahaya yang seharusnya di alirkan ke IPAL untuk diolah, terpaksa turut dibakar bersama limbah medis kering. “Tapi ini dijamin tak berbahaya lagi. Kuman-kuman atau virus sudah mati,” Freidy mencoba meyakinkan.

Ditambahkannya, limbah cair biasanya terlebih dahulu dipilah oleh perawat atau petugas di laboratorium. Segala bentuk limbah yang berbahaya, langsung dibawa ke petugas IPS/RS untuk kemudian dibakar, dimasukkan ke dalam gerobak dorong, lalu dibuang ke penampungan sampah RSUD.

Dalam gerobak yang ditunjukkan Freidy itu, abu limbah tak semuanya lebur. Masih nampak benda padat berupa lelehan kaca yang menggumpal beku. Juga jarum suntik sisa penggunaan bagi pasien rumah sakit. Freidy menjamin abu limbah itu sudah steril. Dia kemudian meyakinkan dengan mengambil satu jarum dan kemudian memilinnya di ujung jari.”Ini sudah tidak ada apa-apa lagi,” tuturnya.

****

Tergeletak begitu saja, kondisi mesin IPAL RSUD mengenaskan. Mesin yang diletakkan dalam semacam peti kemas itu, fisik luarnya mengenaskan. Di atas mesin tumbuh tanaman beringin setinggi sekitar satu meter. Dindingnya berwarna biru muda sebagian mulai  berkarat.

Kendati tidak berfungsi lagi, air limbah dari septitank dan ruangan yang ada di rumah sakit, semisal ruang operasi atau instalasi gawat darurat, mengalir melalui pipa khusus yang ditanam ke tanah ke mesin IPAL. Cairan, berupa air seni atau air cucian mengandung darah kemudian ditampung ke dalam bak berukuran besar, lalu keluar mengalir ke saluran. Warnanya keruh mengalir ke parit yang tidak lancar tersumbat plastik, kayu dan dedaunan, yang terhubung dengan parit umum di lingkungan sekitar rumah sakit. Muaranya tak diketahui pasti. Namun indikasi kuat alirannya kemudian bermuara ke laut.

Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Tanjungpinang menilai kadar pencemaran masih berada pada ambang batas. Pengecekan terhadap zat kimia di air laut tersebut  dilakukan setiap tahun. Sejauh ini BLH meyakini tidak ditemukan adanya dampak menonjol dari aliran limbah cair rumah sakit terhadap lingkungan masyarakat sekitar.”Itu hasil penelitian kami dirumah sakit,” kata Kepala BLH Tanjungpinang, Yulianus Muchtar tanpa menyebut rincinya. Ia juga mengaku tak tahu persis ke mana limbah cair bermuara.

Dr. Husain, Kepala RSUD Tanjungpinang, membantah limbah cair berbahaya dibakar bersama limbah kering di mesin incinerator.. Katanya, limbah berbahaya diolah tersendiri sebelum dialirkan ke saluran pembuangan, dengan memberikan disinsfektan  khusus. Husain menyakinkan, pihaknya mengusahakan agar limbah cair tidak mencemari lingkungan meski mesin IPAL selama ini tidak berfungsi maksimal. “Yang bisa kita upayakan kita lakukan, dan yang tidak kita doakan,” katanya dengan nada pesimis.

Sebelumnya Walikota Tanjungpinang Suryatati A Manan telah berjanji, tahun 2009 ini Pemko telah mengalokasikan dana perbaikan mesin IPAL RSUD. Katanya ketika itu, IPAL yang rusak akan diteliti apakah akan diganti atau cukup dengan perbaikan.”Yang sudah jelas dianggarkan penggunaanya,” tegas Suryatati.

Menurut Kepala Bidang Pelayanan RSUD Tanjungpinang, dr Nugraheni Purwaningsih, saat dilakukan penilaian ,IPAL yang rusak tersebut bisa dilakukan perbaikan.” Dengan catatan dengan perbaikan yang berat,” tuturnya.

Dr Husain menambahkan, mesin IPAL yang tidak optimal berfungsi sejak sekitar lima tahun itu, diputuskan perbaikannya. Proses lelang sedang dilaksanakan. Dalam dua minggu ke depan, perbaikan yang berat,” tuturnya.

Dr Husain menambahkan, mesin IPAL yang tidak optimal berfungsi sejak sekitar lima tahun itu, diputuskan perbaikannya. Proses lelang sedang dilaksanakan. Dalam dua minggu ke depan, perbaikan sudah mulai bisa dikerjakan.

Data di Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau, jumlah rumah sakit di Kepri berjumlah 21 rumah sakit baik milik pemerintah maupun swasta. Namun dalam hal ini, Dinas Kesehatan Kepri, seperti disampaikan Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan Dinkes Kepri, Khasam Iskandar MM, pihaknya belum mengetahui pasti apakah seluruh rumah sakit yang ada itu telah memenuhi standar dalam hal pengolahan limbah. Pihaknya, ungkap Khasam, sudah pernah mengirimkan surat ke tiap-tiap rumah sakit untuk meminta data informasi mngenai fasilitas serta kondisinya. Termasuk yang diminta mengenai peralatan pengolahan air limbah.” Tapi sampai sekarang surat itu belum ada balasan,” katanya, Senin (29/6).

Jika pengolahan air limbah tidak berjalan dengan baik, ada beberapa kelompok masyarakat yang rentan terhadap resiko gangguan. Mereka yang paling rentan berada dalam ancaman limbah RSUD adalah karyawan rumah sakit yang kesehariannya melakukan kontak dengan pasien, pengunjung, serta masyarakat yang bermukim di sekitar rumah sakit. Di samping itu, menurunnya mutu lingkungan bisa berakibat menurunnya derajat kesehatan masyarakat Tanjungpinang.

DPRD Tak Pernah Bahas Kerusakan IPAL
Anggota Komisi III DPRD Tanjungpinang, Muhammad Arief mengatakan, menganggap, rusaknya IPAL milik RSUD Tanjungpinang adalah persoalan yang sangat serius. Ironisnya, sejauh ini para wakil rakyat itu tak pernah membahas persoalan yang sangat serius karena berpotensi mengancam kesehatan masyarakat. Arief malah berkilah, seharusnya Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (Bapedalda) yang turun tangan melihat dampak lingkungan atas rusaknya IPAL. Bapedalda harus melakukan pengukuran terhadap tingkat pencemaran dari aliran limbah yang bermuara ke laut.

Salah satu cara mengantisipasi persoalan di atas, DPRD tengah mengupayakan mengembangkan konsep Badan Layanan Umum (BLU) di RSUD Tanjungpinang. Dananya, tegas Arief, akan dianggarkan di APBD Perubahan. Pemerintah Daerah diharapkan memberi dukungan atas rencana ini.”Kan nantinya bisa diaudit (perkembangannya). Berhasil atau tidak akan terlihat,” tuturnya.

Dengan sistem Badan Layanan Umum, tambahnya, akan tercipta kemandirian bagi rumah sakit, yang diharapkan dapat meningkatkan pelayanan. Dana yang ada di rumah sakit tidak wajib disetorkan ke kas daerah, melainkan bisa mengelola sendiri. Baik untuk keperluan peralatan rumah sakit, atau peningkatan kesejahteraan karyawan.

Arief menilai semua sistem di RSUD Tanjungpinang memiliki kualitas yang rendah. Ini menurutnya cukup dimaklumi. Dengan kondisi rendahnya biaya operasional yang dimiliki, RSUD memiliki tuntutan yang lebih tinggi.”Permasalahan di rumah sakit merupakan suatu dilema besar,” katanya.

Sebagai perbandingan, ia menyebut RSUD di Sukabumi, Jawa Barat. Dengan suntikan dana yang diberikan pemerintah, RSUD Sukabumi telah memiliki cadangan dana mencapai Rp 50 milyar. Dengan dana itu, rumah sakit bisa memperbaiki layanan. Bahkan dengan  teknologi yang dimiliki, RSUD Sukabumi bisa mengolah air limbah men jadi air bersih yang bisa diminum. Kembali ke soal rusaknya IPAL, Arief berpendapat  pihak RSUD seharusnya bisa memperbaikinya. Karena rumah sakit dengan leluasa menginventarisir mana permasalahan yang bersifat wajib untuk terlebih dahulu diselesaikan.

Andre Mediansyah adalah wartawan Posmetro Batam. Tulisan ini masuk nominator Rida Award III 2009 yang dimuat di Posmetro Batam pada 30 Juni 2009