Rabu, 30 April 2025
* 16 Tahun Menyerah, Dikalahkan Ombak dan Hama Babi
Dipersiapkan menjadi petani rumput laut, tapi ombak besar membuat tanaman mereka selalu busuk. Beralih ke petani sayur, hama babi tak terlawan. Kegagalan menghantam berulang kali. Bagaimana mereka bertahan?
Oleh Muhammad Nur
SITI Atmiah menyekakan lengan baju ke dahinya, mengurangi kucuran keringat yang membuat matanya memicing. Matahari pertengahan Desember lalu memancar terik, silau, membuat picingan mata perempuan 50 tahun itu kian rapat. Ia mendorong gerobak hijau, membawa kangkung, pucuk ubi, ubi kayu dan kacang panjang. Perlahan, ia terus menyusuri jalan semen di pulau itu, menjajakan sayur dari rumah-rumah.
Sesekali ia berhenti untuk sejenak bernaung di kerindangan pohon yang sempat ia temui. Lalu ia pijat sendiri betisnya. Berjam-jam menjajakan sayuran membuat kakinya pegal. Apalagi, jalan yang ia lalui turun naik, berbukit-bukit. Dua kali seminggu ia mendatangi satu per satu rumah-rumah penduduk yang umumnya diatur di daerah transmigrasi, letaknya berpencar-pencar.
Sekitar pukul 11.30 WIB, tak ada lagi rumah yang tak disinggahi Siti Atmiah. Ia sudah lewati semua rumah penduduk di sekitar Kantor Lurah Air Raja, juga rumah-rumah di sekitar SMAN 6 Air Raja dan rumah di sekitar pelantar yang menanjung ke laut kurang lebih 100 meter. Tak semua dagangannya laku. Beberapa ikat kangkung, pucuk ubi, dan kacang panjang masih menyesaki separo gerobaknya.
Sayur yang dijual Atmiah bergantung pada pasokan dari luar pulau. Maka tak heran bila harganya pun tinggi. Seikat kangkung kira-kira setengah kilo harganya Rp3.000, sama dengan harga sekilo ketela rambat. Yang murah hanya pucuk ubi, Rp500 seikat. Hitung punya hitung, dari berjualan dua kali seminggu, menempuh dua kali tiga kilo meter naik turun jalan berbukit, Atmiah bisa mengantongi paling banyak Rp50 ribu. Bila tidak sedang laku seperti siang itu dia hanya dapat Rp30 ribu. Bagi Atmiah, berapapun hasilnya tetap ia syukuri, sebab bila sama sekali tidak ada pasokan sayur, maka sama sekali tak ada yang bisa ia lakukan.
***
Siti Atmiah adalah salah seorang yang masih bertahan di Air Raja dari 80 Kepala Keluarga (KK) yang datang sebagai transmigran, pada bulan Maret 1992, enam belas tahun lalu.
“Saya dari Kendal,” katanya kepada Batam Pos yang menemuinya di depan kantor lurah siang itu. Sejak tiba di daerah transmigrasi itu, Atmiah seperti terperangkap. Ia tak bisa kemana-mana, pun untuk sekedar sesekali pulang ke kampung ke Jawa.
“Untuk makan saja susah, saya harus dagang sayuran. Ini pun bukan milik saya, milik warga yang punya warung. Saya diupah dari hasil jual sayuran ini,” ujar Siti Atmiah. Apapun ia lakukan untuk bertahan. Ditilik dari nasib Atmiah, ini adalah sebuah proyek tranmigrasi yang gagal. Atmiah dan kawan-kawan semula dipersiapkan untuk menjadi petani rumput laut. Pulau Air Raja, yang dikepung lautan semula dinilai cocok untuk tanaman tersebut. Semuanya meleset, salah perhitungan.
Tapi keramahan tak lekang dari Atmiah, ia menawari singgah. Ia memetakan arah rumahnya. “Lurus, nanti ada masjid belok kanan lalu lurus lagi. Paling ujung. Mampirlah,” ajaknya dan ia pun berlalu. Baju terusan bermotif bunga yang ia kenakan dibasahi keringat, membanjir di punggungnya.
***
Kelurahan Air Raja di Pulau Air Raja seperti terputus dari gemuruh industri di pusat Kota Batam. Luasnya kurang lebih lima kilo meter persegi. Nama Air Raja, konon, didapat karena pulau ini pernah disinggahi Raja Bintan bernama Datuk Munsang Arafah bersama permaisurinya Tengku Putri Siti Hawa, beserta panglima dan cucunya. Dalam perjalanan ke Johor Lama Malaysia, perahu lancang kuning yang membawa rombongan ini dihantam badai dan terdamparlah mereka di pulau ini. Singkat kata, bekal mereka habis, termasuk air. Merekapun berdoa, hingga menemukan mata air di pulau itu yang kini dikenal Perigi Air Raja. Pulau itu kemudian diberi nama Air Raja. Perigi tersebut jaraknya dari bibir pantai hanya sekitar 30 meter.
Kisah tentang Raja Bintan itu tertulis di pintu gerbang Perigi Air Raja ini. Perigi Air Raja tersebut kini menjadi salah satu objek wisata sejarah di Batam. Perigi ini tidak pernah kering, meski musim kemarau.
Sebelumnya, Air Raja masih masuk wilayah Kecamatan Bintan Utara, Kabupaten Kepulauan Riau (sekarang Bintan), Provinsi Riau (sekarang Provinsi Kepulauan Riau). Sejak tahun 2000 Air Raja bergabung ke Kecamatan Galang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau.
Satu-satunya akses ke pulau ini hanya lewat laut. Dari Tanjunguban ke Air Raja bisa makan waktu kurang lebih satu jam, kalau kita naik pompong nelayan. Bila dimulai dari Batam, perjalanan bisa ditempuh lewat Telagapunggur Bawah. Untuk sampai ke pelabuhan rakyat itu, orang harus melewati pelabuhan feri ramai yang melayani penumpang ke Tanjungpinang, dermaga ASDP, sampai ke pos TNI AL. Tak selalu ada pompong yang siap berangkat di sana. Jika ada pun mereka hanya mau angkut penumpang kalau disewa Rp65 ribu sekali jalan. Tak ada pelayaran reguler. Ini adalah bentuk isolasi lain atas Kelurahan Air Raja. Jika cuaca bersahabat, waktu tempuh lebih singkat, hanya setengah jam. Kalau musim angin utara atau ombak besar datang, perjalanan lebih berisiko, lebih boros waktu, dan sewa pompong pun naik jadi Rp100 ribu.
***
Tak jauh dari Perigi Air Raja dan pelantar menjorok ke laut. Dari pelantar itu tampak SMAN 6, berdiri di atas bukit. Sekolah ini dibangun Pemerintah Kota Batam. Sekarang ada 64 siswa belajar di sana, 23 siswa kelas tiga, 16 siswa kelas dua dan 25 siswa kelas satu. Pelajar sekolah ini ada anak warga transmigrasi, ada juga anak-anak Suku Laut dari sekitar Air Raja, yakni dari Pulau Abang, Pulau Subang Mas, Tanjung Piayu dan Pulau Akar.
“Ada lima siswa kami yang harus mengayuh sampan berjam-jam tiap hari untuk sampai ke sekolah ini,” ujar Kepala Sekolah SMAN 6 Air Raja Dwi Sulistiyani.
Bangunan SMA ini tampak masih terawat, meski fasilitasnya masih terbatas. Komputer sebelas unit bantuan pemerintah pusat belum bisa dimanfaatkan, karena genset sekolah ini butuh bahan bakar solar, sementara kas sekolah seret. “Perangkat internetnya ada tapi belum terkoneksi. Jadi anak-anak ketinggalan informasi,” kata Rofinuddin, guru Bahasa Inggris sekolah itu.
Guru-guru di SMA ini rata-rata mengajar tiga mata pelajaran berbeda di setiap kelas. Bahkan, ada juga yang membantu mengajar di SMPN 15 tak jauh dari SMA ini, karena sekolah yang memiliki 60 siswa itu kekurangan guru. Sekitar 500 meter dari SMA ke arah barat, juga ada Sekolah Dasar 014.
Air Raja saat ini berpenduduk 778 orang dengan 208 KK, 414 laki-laki dan 359 perempuan. Sebagian besar berusia produktif. Sebelumnya, ada 285 KK yang terdiri dari 200 warga bedol desa dari Lobam Laut dan 80 warga trasmigran dari Jawa – termasuk Atmiah - dan 5 KK warga tempatan.
Di pulau ini juga ada fasilitas kesehatan berupa puskesmas pembantu dengan satu orang bidan. Pustu ini baru direhab dengan anggaran dari APBD Kota Batam tahun 2008. Roda pemerintahan digerakkan oleh Lurah dengan lima staf. Tiga sudah bersatus pegawai negeri, selebihnya honorer. Mereka bergaji pokok antara Rp692 ribu sampai Rp1.593.800. Fasilitas di kantor lurah ini umumnya rusak, hanya satu dari empat perangkat komputer dan printer yang berfungsi.
“Satu kamera digital untuk layani pembuatan KTP,” kata Talib Jafar, Sekretaris Kelurahan yang telah mengabdi sejak Januari 1979 dengan status honorer hingga saat ini.
***
Rumah Siti Atmiah baru dicapai setelah bertanya beberapa kali. Jalan semen ternyata tak sampai ke depan rumahnya. Proyek paving blok dari Pemko Batam yang menyambung jalan semenisasi pun mangkrak. Masih ada sekitar 500-an meter yang belum selesai dikerjakan.
“Pemborongnya lari, makanya jalannya tak selesai,” ujar Mahfud Hidayat, pelajar SD 014 kelas lima di pulau itu. Bocah laki-laki ini jalan setapak menuju rumah Siti Atmiah. Kiri kananya ditumbuhi semak belukar. Jarak rumah itu sekitar 500 meter dari jalan utama, tersembunyi oleh semak-belukar dan pohon tinggi.
Rumah itu seperti dijaga oleh pohon kapuk randu. Pokok itu umurnya enam belas tahun, seumur proyek transmigrasi di pulau itu. Juga ada sebatang pohon pinang dan beberapa pohon nangka, mangga, jambu mete dan kelapa di kiri kananya. Atmiah juga punya kandang ayam berpagar kayu setinggi dua meter. Tapi tak tampak seekorpun ada ternak unggas itu di sana. Buru-buru dijual ketika wabah flu burung datang.
Suami Siti Atmiah, Ibrory, sedang berbaring di atas meja kayu 3x4 meter di dalam rumahnya, tanpa alas apa-apa. Dari jauh terdengar suara radio menyiarkan membacakan berita sore. Ibrory sedang mendegarkan warta berita dari RRI Tanjungpinang.
“Biarpun susah, tapi tak boleh ketinggalan informasi,” ujar Ibrory, sambil mempersilahkan masuk. Ia langsung mengecilkan volume radio merek International yang hanya dilengkapi tombol tunner dan volume itu.
Ibrory, 60 tahun sudah mulai beruban. Wajahnya penuh kerut ketuaan. Namun ia masih tampak sehat dan gesit. Saat itu, ia mengenakan baju kotak-kotak dan sarung.
“Berani juga wartawan Irak. Presiden Amerika Gerorge W Bush ditimpuki sepatu, saya baru dengar tadi beritanya,” ujar Ibrory sambil tertawa lepas.
Ia mengaku sangat suka mendengar warta berita dari radio kesayangannya yang sudah lama ia miliki itu. Ia hafal jadwal siaran berita, kapan siaran dangdut dan acara lainnya di RRI Tanjungpinang.
Ia pun bercerita, tentang rumah kayu yang ia dapat sebagai transmigran. Rumah beratap seng berkarat yang ia tempati bersama istri dan satu orang anaknya saat ini. “Tapi sudah saya ubah pintunya. Aslinya di samping, saya pindahkan ke depan. Di belakang juga saya tambah,” katanya. Ada dua pasang jendela di bagian depan dan satu jendela di kiri kanan rumah.
Kayu-kayu yang ia kenakan pada bagian dinding, pintu dan jendela adalah kayu bekas. Beberapa bagian sudah rapuh. Bahkan, antara papan satu dengan lainnya tidak bisa rapat sepenuhnya.
“Eh, jangan kena dinding, nanti bajumu kotor. Itu bukan cat, tapi oli bekas,” teriak pria yang akrab dipanggil Brory ini tiba-tiba. Dinding rumah itu sekitar 1,5 meter dari bawah diberi oli, selebihnya tetap warna asli kayu yang permukaanya agak kasar.
“Tak mampu beli cat, jadi saya kasi oli bekas. Sekalian untuk cegah rayap,” katanya sambil tertawa kecil.
Di rumahnya, selain radio kecil tadi, juga ada televisi hitam putih 14 inci merek S.H.E, sebuah merek yang tak lazim. Tiga kamar rumah pasangan transmigran ini juga hanya terbuat dari triplek polos tanpa cat. “Aslinya satu kamar tidur dan lantainya tanah, tapi saya guyur-guyur kasi semen,” kata Brory.
Ada empat repro kaligrafi menghiasi dinding ruang tamu di rumah tak berplafon itu. Jika melihat ke atas, atap seng tidak hanya berkarat, tapi sudah bertabur lubang.
“Kalau malam banyak bintangnya. Siap-siap basah-basah kalau hujan nanti malam,” kata Brory sambil menengadah ke atap rumahnya yang bolong-bolong.
Ia pun menceritakan riwayat 80 KK dari Jawa yang ikut program transmigrasi rumput laut ke Air Raja. Sebenarnya, kata Brory, ada 500 kepala keluarga yang akan mengikuti program transmigrasi itu. Umumnya berasal dari Jawa Barat dan Jawa Timur. Namun, pada saat akan berangkat, tepatnya Maret 1992, hanya 80 KK yang memastikan ikut.
Mereka yang tak jadi ikut punya alasan beragam. Ada yang tak mau pisah dengan keluarga besar, ada juga ingin tetap berlebaran di kampung. “Biasalah, saat itu bertepatan bulan puasa,” ujar Brory dengan dialek Jawa-nya yang kental.
Mereka yang ikut program transmigrasi ke Air Raja ini umumnya bekerja sebagai buruh nelayan di daerah asal. Sebelum berangkat, petugas dari Departemen Transmigrasi sudah memberitahukan kalau mereka ditempatkan di Batam. “Bilangnya begitu, Batam, bukan Air Raja,” kata Brory. Untuk mereka sudah disiapkan rumah dan lahan seluas 50 x 100 meter. Sebagai petani yang dipersiapkan bertanam rumput laut mereka juga sudah dibekali keterampilan membudidayakan komoditas tersebut. “Katanya 40 hari panen, hasilnya biasa dapat jutaan. Jadi kami tertarik sekali,” kenang Brory.
Mereka berangkat dengan kapal laut Era II. Sebanyak 80 KK transmigran itu berangkat bersama ratusan transmigran lainnya yang akan ditempatkan di Dumai, Riau. Kapal pun berlabuh di Dumai sebelum menuju Tanjungpinang. “Kapalnya guede,” kenang Brory.
Dalam perjalanan, sudah terbayang akan menghasilkan jutaan rupiah dari rumput laut. “Apalagi saya suka kerja keras, saya yakin bisa dapat lebih banyak lagi,” ungkapnya. “Pokoknya di kepala ini isinya hanya kata berhasil dan bisa kaya,” katanya lagi.
Melihat rumah yang akan ditempati, 80 KK transmigran itu pun bersuka ria. Maklumlah, di kampung halamannya mereka tak memiliki rumah sendiri dan tak memiliki tanah sendiri. Sementara di Pulau Air Raja, tempat mereka yang baru, sudah tersedia 500 rumah dengan lahan masing-masing seluas 50 x 100 meter. “Wah, senang kita dapat rumah dan lahan gratis,’’ tuturnya.
Karena yang ikut transmigrasi hanya 80 KK asal Jawa, maka sisa rumah yang tersedia ditempati oleh masyarakat dari Lobam Laut, Bintan, yang mengikuti program bedol desa. Sehingga totalnya 280 KK, belum termasuk 5 KKwarga tempatan, warga Melayu asli Air Raja.
Untuk kebutuhan air, pemerintah membuatkan sumur sedalam 6-7 meter. Setiap tiga rumah ada satu sumur yang airnya cukup jernih. Air itulah yang dipergunakan untuk minum, mandi, cuci dan kakus . Sampai saat ini, sumur-sumur itu masih ada, meski sebagian besar sudah tertutupi semak belukar.
Masing-masing rumah juga diberikan bak penampungan air. Jika kemarau tiba, warga di pulau ini bisa mendapatkan air bersih dari Perigi Air Raja, tak jauh dari dermaga pulau ini. Semua kebutuhan masyarakat transmigran, termasuk yang bedol desa dilengkapi. Untuk menggarap lahan diberikan peralatan cangkul, parang, dan alat-alat pertanian lainnya.
Begitupun untuk kebutuhan budidaya rumput laut, semua transmigran diberi bekal rakit, tali dan bibit untuk tempat budidaya. Areal budidaya itu sekeliling Pulau Air Raja, khususnya di bagian timur hingga barat, tepatnya di kiri kanan pelantar Air Raja saat ini, sampai di depan pulau Menjaras.
Satu bulan pertama, budidaya rumput laut gagal. Lokasi budidaya yang berombak ternyata menghambat pertumbuhan rumput laut. “Kalau surut karang muncul, begitu hujan, rumput laut di atas kena hujan langsung membusuk. Apalagi saat itu angin utara datang, gagal total jadinya. Sama sekali tidak pernah panen,” ungkap Brory.(bersambung)