Rida Award 2009

Disuruh Jadi Nelayan, Satu Pompong Dipakai Bergantian Tiga Keluarga (2)

Jurnalistik Senin, 16 November 2009
Disuruh Jadi Nelayan, Satu Pompong Dipakai  Bergantian  Tiga Keluarga (2)

Oleh : MUHAMMAD NUR

Kegagalan  pertama cocok tanam rumput laut itu membuat warga transmigran kapok.  Tapi, Brory masih mencoba. Ia pindah ke  lokasi lain yang tak jauh dari rumahnya, di bagian barat pulau itu. Tak jauh dari Pulau Menjaras.

“Ada  teluk yang ombaknya kecil,” kata Brory. Usahanya itu berhasil. Bahkan sempat panen tiga kali. Panen perdana menghasilkan uang Rp21 ribu, panen kedua Rp40 ribu dan panen ketiga Rp35 ribu.

“Saat itu saya difoto-foto seperti selebritis bersama hasil rumput laut saya oleh petugas transmigrasi. Mereka memuji saya. Katanya saya memang pekerja keras,” kenang Brory.

“Saya minta fotonya saat itu, tapi tak boleh. Katanya untuk dilaporkan ke pusat. Bahkan, beberapa karung rumput laut dibawa ke Jakarta untuk laporan. Barangkali dilaporkan sukses,” kata Brory lagi.

Namun, keberhasilan itu hanya sampai tiga kali panen, setelah itu tak ada lagi. Bahkan, Brory memilih berhenti, karena di lokasi yang baru itu, ia harus bersitegang dengan warga tempatan yang memiliki kelong, perangkap ikan yang didesain khusus. Bahkan, kadang-kandang nyaris bentrok fisik.

“Kadang-kadang rakit rumput laut dihanyutkan, karena katanya mengganggu kelong mereka, jadi sedikit dapat ikan,” kenang Brory. “Saya bisa panen tiga kali karena saya keras kepala, meski dilarang saya tetap tanam di situ. Ditantang saya lawan,” katanya lagi.

Usman, salah satu warga tempatan yang ditemui membenarkan hal itu. “Iya, saya sering ribut. Rumput laut mengganggu kelong. Ikan tak mau masuk kelong karena nelayan rumput laut tiap hari ada di situ. Ya, buang sampah yang nyangkut di rumput laut mereka, jadi ikan tak mau mendekat,” tuturnya yang dibenarkan Baco, putranya.

“Kami juga dikasi rakit dan bibit. Tapi tak cocok rumput laut di sini. Ombaknya besar. Apalagi kalau angin utara datang. Mana bisa berhasil,” ujar Usman lagi.
Ia
juga mengaku heran, Air Raja dijadikan sebagai wilayah transmigran rumput laut. Padahal, di sekeliling Pulau Air Raja terdapat banyak kelong milik warga tempatan dan warga dari pulau lain sekitar Air Raja. Keberadaan nelayan rumput laut itu, dianggap mengganggu dan mengurangi penghasilan pemilik kelong.

“Saya dianggap petugas transmigrasi keras kepala. Saya sering dipanggil rapat. Tapi bagaimana lagi, kami hidup dari kelong. Rumput laut tak bisa menghasilkan di sini. Tempatnya tak cocok,” kata Usman lagi.

Pasca panen tiga kali, tak ada kegiatan penanaman rumput laut. Petugas transmigrasi yang mendampingi mereka, akhirnya menawarkan pompong  - sejenis perahu kecil yang diberi mesin Robin atau sejenis mesin parut kelapa yang diberi baling-baling -  yang akan dipergunakan untuk mencari ikan.

Sambil menunggu pompong yang dijanjikan datang, warga transmigran asal Jawa ini memilih untuk bertani, namun ada juga yang enggan karena tak memiliki keahlian selain nelayan. Bagi yang mau, bisa memanfaatkan lahan  di sekitar rumahnya.
Hasilnya

pun lumayan menggembirakan. Namun, hanya sekitar empat tahun. Kesuburan tanah makin menurun. Setelah empat tahun, sudah sulit menanam sayuran, karena lapisan topsoil yang subur sudah habis terserap tanaman sebelumnya. Juga habis terbawa oleh aliran air  hujan. Dan satu lagi yang sulit dilawan adalah babi.

“Atasnya berpasir, setelah itu bauksit. Cocoknya tanah di sini untuk buat batu bata saja,” kata Brory, setengah bercanda.

Lama menunggu, janji pompong akhirnya dipenuhi juga. Tepatnya sekitar tahun  1995. Satu kendaraan kayu  itu dijatah untuk tiga KK. Satu perahu dipakai bergantian. Ini sempat merebakkan protes. Warga transmigran ingin satu KK dapat satu pompong.

“Katanya tak ada anggarannya,” ujar Brory, menirukan pernyataan petugas transmigrasi, kala itu.

 Bantuan tahap satu hanya ada tiga pompong kecil ditambah satu pompong ukuran sedang yang berfungsi menampung hasil tangkapan nelayan transmigran ini. Tahap kedua ada enam, ditambah satu pompong ukuran lumayan besar dengan fungsi yang sama dengan pompong ukuran sedang tahap pertama. Namun, pompong pun akhirnya gagal total. Warga transmigran enggan melaut. Selain harus bergantian, hasil tangkapan juga menurun. Mereka kalah bersaing dengan nelayan dari daerah lain yang memiliki peralatan tangkap ikan yang lebih baik dan lebih berpengalaman di laut.

Satu per satu transmigran asal Jawa akhirnya meninggalkan pulau itu. Ada yang kembali ke kampung halaman, lalu ikut transmigrasi lagi ke daerah lain. Ada juga yang ke Batam dan Tanjungpinang, mencari nafkah dengan mengojek atau jadi buruh bangunan.

Hanya masyarakat yang bedol desa dari Lobam Laut yang banyak bertahan. Itupun sudah meninggalkan areal transmigran. Rumah dan lahan  itu tinggal puing dan sudah tertutupi semak . Mereka memilih pindah ke pinggir laut atau pantai. Bahkan, tak sedikit juga yang kembali ke Lobam Laut, Tanjunguban, Bintan, kembali menjadi sebagai nelayan tradisional.

“Kalau 80 KK dari Jawa, saat ini tersisa 26 KK, lainnya sudah pada keluar dari pulau ini.Tanahnya ada yang dijual murah, ada juga yang dibeli orang Singapura,” tutur Brory.

“Dari 26 KK itu, kebanyakan jadi buruh nelayan. Mereka ikut nelayan yang punya kelong di beberapa pulau. Mereka tak sanggup beli pompong dan alat tangkap ikan sendiri. Ya, jadi buruh nelayan lagi. Sama ketika masih di Jawa,” ungkap Brory.

Setelah rumput laut gagal, bertani gagal, pompong gagal, sempat ada beberapa kali bantuan untuk ternak kambing dan ayam kampung. Namun, lagi-lagi gagal. “Kalau ayam, saya sempat punya 80-an ekor, tapi sejak ada berita flu burung, saya jual semua, takut tak laku nantinya,” kata Brory.

Sering juga ada bantuan dana, tapi banyak warga transmigran asal Jawa yang memanfaatkannya untuk pulang kampung atau modal untuk mencari kerja ke daerah lain. Bantuan tunai tidak banyak membantu mengangkat perekonomian masyarakat transmigran di Air Raja. “Saya jarang ngambil bantuan. Malah kadang-kadang saya tolak. Saya malu. Itukan uang negara hasil ngutang dari Bank Dunia. Begitu beritanya yang saya dengar,” kata Brory.

“Yang kami butuhkan bukan bantuan langsung. Tapi bagaimana lahan kami ini bisa diolah lagi, bisa nanam sayur lagi, atau usaha lain yang bisa membantu ekonomi kami lebih baik,” katanya lagi.

***

Setelah empat tahun, sayuran sudah sulit tumbuh. Kalaupun bisa, butuh banyak pupuk. Sementara, pasokan pupuk ke warga di pulau itu sulit. Pupuk  kandang, maupun pupuk anorganik sama saja mahalnya. Tidak sebanding dengan hasil panen.. “Urea saja bisa sampai Rp7.000 per kilo. Pupuk kandang satu karung ukuran sedang Rp20 ribu. Tambah ongkos angkut Rp10 ribu. Ya mampus lah. Tak bisa balik modal,” kata Brory.

Yang bisa tumbuh hanyalah tanaman keras seperti jambu mete, nangka, rambutan, mangga dan tanaman tahunan lainnya. Akibatnya, setelah empat tahun menempati pulau itu, praktis transmigran tidak bisa menanam sayuran atau palawija lainnya. Untuk kebutuhan mereka sendiri pun sayuran didatangkan dari daerah Bintan melalui Tanjunguban. “Warga di sini belanja ke Tanjunguban, ada juga ke Batam,’’ kata Siti Atmiah, menimpali.

“Tanaman apapun susah selamat. Siang kita tanam, malam dirusak babi. Bahkan, kelapapun susah nanamnya, habis dimakan babi hutan,” katanya. Selain menjadi buruh nelayan, warga transmigran asal Jawa di Pulau ini hanya mengandalkan hasil tanaman keras yang mereka tanam sejak pertama tinggal di pulau ini. Itupun hanya beberapa pokok kelapa dan nangka.  

Lide, 50, salah satu warga yang ikut bedol desa  membenarkan, bahwa lahan di areal itu tak subur lagi. Tidak bisa lagi menamam palawija seperti kacang, jagung dan umbi-umbian. “Mau tanam kelapa tak bisa tumbuh lagi karena dimakan babi. Yang 20-an batang ini bisa selamat karena ditanam sebelum hama babi hutan banyak,” katanya.

Ia juga mengaku sudah bosan tinggal di rumah transmigrasi yang sudah reyot itu. “Saya bertahan karena ada kebun ini sedikit. Tapi tak lama lagi saya mau pindah ke laut (pinggir pantai),” katanya.

Bekas telapak kaki babi hutan tak terhitung di sekeliling rumah Lide. Terutama di bawah pohon kelapa. Begitu buahnya jatuh, langsung habis dimakan babi. “Kadang-kadang harus adu cepat dengan babi. Berebut buah kepala yang jatuh. Kalau babi duluan, habislah dimakan, gigit jarilah kami,” ujar pria berdarah Sulawesi Selatan ini.

***

Suasana malam di Pulau Air Raja tak ubahnya berada di hutan belantara yang gelap. Yang terdegar hanya suara babi hutan mencari makan di tepi jalan dan di sekitar rumah warga. Juga suara hewan malam lainnya. Jika keluar rumah, nyamuk dan Agas langsung menyerang.  

Di pulau ini memang ada genset. Namun, hanya menyala dari pukul 08.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB. Itupun kalau bahan bakarnya ada. Warga di pulau ini iuran swadaya untuk membeli bahan bakar solar. Masing-masing Rp3.500 per hari. Jika tak ada bahan bakar, warga menggunakan lampu teplok minyak tanah.

“Gensetnya boros. Dari jam 6 malam sampai jam 10 malam,  habis 40 liter solar. Harga satu liternya mahal, sampai Rp6.500. Makanya jam nyalanya dibatasi,” kata Talib Jafar.  

Tidak semua rumah yang terjangkau oleh genset di pulau ini. Ada beberapa rumah trasmigran yang tak diterangi cahaya lampu pijar. Antara lain, rumah Lide dan Brory. Lide menggunakan lampu teplok atau lampu minyak tanah yang ia buat dari kaleng bekas minuman ringan.

Begitupun dengan rumah Brory. Malam hari hanya diterangi lampu minyak tanah yang terbuat dari kaleng minuman ringan. Satu dipasang di teras rumah, satu di masing-masing kamar dan satu lagi di dapur.

Brory punya mesin genset kecil berbahan bakar bensin. Genset kecil itu mesinnya sama dengan mesin parut kelapa yang digunakan pedangan di sejumlah pasar tradisioal di Batam. Genset kecil ini hanya mampu memutar dinamo yang menghasilkan daya listrik kecil. Hanya bisa menghidupkan lima bola lampu ukuran 5 watt dan satu televisi hitam putih.

Namun, genset kecil ini jarang dinyalakan. Hanya waktu tertentu saja. “Kalau ada siaran bola, baru dinyalakan. Boros bensin. Tiga jam bisa menghabiskan empat liter bensin. Satu liter di sini Rp7.000,” kata Istri Brory.

Malam itu ketika wartawan koran ini numpang menginap, Brory berbaik hati menghidupkan genset kecilnya itu. Bunyi mesinnya turun naik, tak stabil. Hasilnya, bola lampu 5 watt di ruang tamunya kadang terang, kadang redup.

“Seperti putri malam (kunang-kunang,  red), matanya kedap kedip,” ujar Brory sambil mengedip-ngedipkan matanya lalu menunjuk bola lampu lima watt yang nyalanya kemerah-merahan.

Ia mencoba menyalakan televisi. “Wah, centil kan suaranya?” tanyanya. “He he, banyak semutnya,” ujarnya lagi.  Siaran yang tertangkap oleh TV lawas ini buram. Maklumlah,  antenanya setinggi dua meter yang tiangnya terbuat dari ranting kayu yang ditegakkan dalam rumah. “Saya beli Rp40 ribu,” sebutnya sambil memutar antenanya supaya menghasilkan gambar yang jernih.  

***

Brory  sudah sepuluh tahun tak bekerja. Hanya istrinya yang jual sayuran orang lain. Hasilnya jauh dari cukup. “Sudah 16 tahun kami tak pernah beli baju. Uang upah dagang sayur habis untuk kebutuhan sehari-hari. Baju yang kami pakai ini hasil pemberian orang. Untunglah banyak yang berbaik hati pada kami,” kata Brory dan istrinya.

Bahkan, anak laki-lakinya, Bambang Joko (16) yang saat ini baru duduk di kelas 1 SMAN 6 Air Raja, bisa sekolah karena bantuan anak pertamanya yang kini bekerja sebagai pelayan toko di Batam. “Gajinya tidak sampai Rp700 ribu, karena baru tiga bulan kerja, katanya mau naik Rp900 ribu,” sebut Brory.

“Selain itu. Saya juga kadang-kadang dikirimi uang dari anak saya yang dari istri sebelumnya (sudah cerai). Dia kerja sebagai pembantu rumah tangga di Batam, gajinya Rp300 ribu,” ujarnya lagi.

Sebenarnya, pria asli Demak ini mengaku masih memiliki semangat untuk menggarap lahannya. Namun, kesuburan tanah yang makin menurun ditambah hama babi hutan yang terus mengganas, membuat ia dan transmigran lainnya tak berdaya.

“Saya hanya nunggu anak saya yang SMA ini tamat. Setelah itu, kami pindah ke Kota Batam. Anak saya di sana mau sewa rumah. Mungkin di Batam saya dan istri bisa dagang kecil-kecilan. Daripada bertahan di sini, tak ada kerjaan dan tak ada perubahan. Hanya makan tidur. Hasil dagang sayur istri hanya cukup untuk sehari-hari.  Malah kadang-kadang kurang. Capek juga karena memang dari awal tak sesuai yang dijanjikan,” katanya.

***

Tanah di Pulau Air Raja sebenarnya tak jauh beda dengan yang ada di Tembesi Sayur, Batam. Lalu kenapa petani di Tembesi Sayur  berhasil?  “Ini karena telek (pupuk kandang dari kotoran ayam). Kalau tak ada telek mana bisa subur, meski ada pupuk anorganik,” ujar Sukijan, salah satu petani di Tembesi Sayur.

 Staf Ahli Bupati Lingga Deddy Zulfriady Noor, yang juga mantan Kepala Balai Agrobisnis Otorita Batam mengaku terkejut ketika mengetahui ada transmigran di pulau tersebut. Pasalnya, tidak pernah terpublikasi ke publik. Ia tambah terkejut ketika dikatakan transmigran di sana adalah transmigran rumput laut.

“Saya pernah riset sama teman-teman tahun 1987 di pulau itu dan sekitarnya. Saat itu saya masih di BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi). Memang tidak cocok untuk rumput laut. Makanya saya terkejut kalau ada transmigran rumput laut di pulau itu. Apalagi luput dari perhatian pemeritah,” unjarnya.

“Wah, itu sama saja penjajahan. Mengirim warga ke tempat yang tak cocok,” katanya lagi.

Namun nasi sudah menjadi bubur, semua instansi terkait di Batam, kata Dedy, mesti memberikan perhatian pada nasib masyarakat taransmigran di sana.  Jika transmigran masih semangat mengolah lahan setelah gagal di laut, harus ada upaya mengendalikan hama babi hutan. Namuan ia menilai, salah satu solusi tepat, memberikan keterampilan budidaya ayam petelur atau ayam potong pada masyarakat di sana.

“Tapi harus ada bapak angkat yang memodali dan memberikan pembinaan,” kata Deddy. Jika ini bisa dilakukan, maka perlahan tapi pasti, masyarakat juga bisa mengolah lahan mereka. Karena, sudah ada akses pupuk kandang yang murah. “Kotoran ayam itu bisa digunakan untuk menyuburkan tanah, sehingga petani juga bisa memanfaatkan lahan kosong untuk bertani,” kata Deddy.

Doktor dari Institut Pertanian Bogor (IPB) ini yakin, jika hal ini diterapkan, bisa membantu ekonomi masyarakat transmigran di pulau itu.  Apalagi pasar untuk telur ayam dan ayam potong serta sayuran, sangat dekat, yakni Kota Batam.

 Batam, kata Deddy, masih mendatangkan telur dari Malaysia. Sayuran pun disuplai dari Sumatera Barat dan Sumatera Utara. “Air Raja ke Batam kan cuma 30 menit,” katanya. Solusi lain, lahan  di pulau itu  ditanami tanaman keras  seperti karet.  Namun, lagi-lagi harus ada bapak angkat yang memodali dan membinanya. “Tapi kalau karet butuh waktu, menurut saya yang tepat jadi kawasan peternakan ayam petelur atau ayam potong,” sarannya. ***

BIODATA MUHAMMAD NUR
Muhammad Nur, kelahiran Nipah Panjang, Jambi  (12 Mei 1977). Muhammad Nur adalah wartawan kedua di Grup Riau Pos setelah Mosthamir Thalib yang memperoleh penghargaan jurnalistik Adinegoro. Ia  meraih anugerah Adinegoro 2008 untuk kategori Pembangunan Kemanusiaan atas karyanya yang berjudul, "Kegagalan Proyek Transmigran Pulau Air Raja Batam: 16 Tahun Menyerah, Dikalahkan Ombak dan Hama Babi ”, yang dipublikasikan Batam Pos, 27 Desember 2008. Karya tulis Muhammad Nur ini, menyisihkan 36 karya tulis lainnya. Sebelumnya, alumni Universitas IBA Palembang Jurusan Agronomi ini juga adalah juara II Lomba Penulisan tentang Telkomsel Se-Sumbagtel Tahun 2007. Saat ini, pria seorang putri, Nasya Thalita Salsabila ini adalah Koordinator Liputan Batam Pos. Menurut Nur, panggilan akrabnya, ilmu (keterampilan menulis) yang diperoleh sebagai jurnalis, akan didikasikan pada dunia pendidikan. Maksudnya, dunia pekerjaannya yang sedang dilakoninya sebagai Korlip tersebut. Di antaranya tugas Korlip, kata Nur adalah merencanakan liputan, mengkoordinir liputan, mengecek berita reporter, dan tentunya  mendidik (pendidikan) wartawan baru.