Rida K Liamsi, Dari Seorang ABK Hingga Menjadi Jurnalis

Jurnalistik Selasa, 13 Desember 2011
Rida K Liamsi, Dari Seorang ABK Hingga Menjadi Jurnalis
Rida K Liamsi

Chaidir Anwar Tanjung - detikNews

Pekanbaru - Hidup ini adalah skenario besar Sang Pencipta. Untuk sampai pada suatu titik yang diinginkan, tak jarang seseorang harus berjuang mati-matian. Seperti yang dilakukan Rida K Liamsi. Sebelum menjadi seorang tokoh jurnalis, dia pernah menjajal sejumlah pekerjaan.

Rida merupakan putra daerah Kabupaten Dabok Singkep Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Sebagai pemuda yang tinggal di pesisir, Rida menjajal pekerjaan sebagai anak buah kapal (ABK). ABK bukanlah pekerjaan asing di kampung halamannya. Sebagaimana pemuda seusianya, Rida menjajal pekerjaan yang demikian populer di sana.

Dengan embel-embel seorang ABK, Rida melanglang buana dari satu provinsi ke provinsi lain di Sumatera. Walau hanya seorang ABK, namun di darahnya mengalir jiwa seni yang kental. Rida suka sekali menulis puisi dan cerpen. Karyanya itu lantas dikirimkannya ke surat kabar terbitan lokal, tepatnya koran di Tanjungpinang yang kini menjadi Ibukota Provinsi Kepri setelah pisah dengan Riau masa reformasi.

Beberapa kali karya yang melukiskan cintanya pada kebudayaan dirilis media lokal. Rida pun ingin lebih punya waktu untuk menyalurkan bakatnya. Untuk itu dia melamar menjadi guru. Profesi ini dirasanya sejalan dengan jiwanya.

Menjadi guru di era 1968 lalu, sebagaimana guru-guru pada zaman itu, Rida harus terima dengan penghasilan pas-pasan. Dengan hanya gaji guru ala kadarnya, Rida pun angkat tangan. Dia lalu meninggalkan pekerjaan guru dan kembali ke laut sebagai ABK. Rupanya gaji ABK sedikit lebih banyak dari seorang guru.

"Letih menjadi guru karena gaji yang pas-pasan, saya kembali menjadi ABK. Ada tiga kali saya keluar masuk dari guru menjadi ABK dan menjadi guru lagi," kata Rida dalam perbincangan dengan detikcom.

Selama itu, Rida tetap aktif menulis puisi. Di beberapa media lokal tulisannya soal puisi sering terbit. Karena karyanya sering muncul di surat kabar, Rida ingin beralih profesi menjadi jurnalis. Ada kesenangan tersendiri saat tulisannya dibaca banyak orang.

Awalnya, wartawan adalah pekerjaan sambilan. Baginya saat itu, menekuni dua pekerjaan sekaligus sangat dibutuhkan demi menjaga dapur tetap mengepul. Hingga pada 1978, Rida dipercaya sebagai koresponden majalah Tempo di Tanjungpinang.

Rida diperlukan karena posisi Kepri yang saat itu menjadi salah satu gudang berita soal penyelundupan serta pengerukan harta karun di laut Kepri. Lalu dia diberi kesempatan ke Jakarta untuk menekuni dunia jurnalistik yang digembleng Tempo. Usai itu, Rida dihadapkan sebuah pilihan yang sangat berat. Dia ditawari menjadi koresponden berstatus tetap dengan konsekuensi harus meninggalkan profesi gurunya.

"Waktu itu Tempo melarang kita untuk menyambi. Sebuah pilihan pelik. Dan saya akhirnya harus memilih untuk masuk jurnalis penuh. Profesi guru sejak itu saya tinggalkan," kata Rida.

Meninggalkan profesi guru bukan hal yang gampang. Saat itu Rida berusia 35 tahun dan sudah dikaruniai satu orang anak. Orang tua dan keluarga besarnya sempat memprotes pilihan Rida yang harus meninggalkan pekerjaannya sebagai guru.

"Orang tua saya waktu itu sempat tidak setuju. Alasannya kehidupan guru mulai membaik. Dan wartawan juga dianggap bukan hal yang menjanjikan buat kehidupan. Namun saya tetap memilih sebagai jurnalis, karena memang gaji yang diberikan Tempo saat itu, masih lebih baik ketimbang guru," kenang Rida.

Dari jurnalis setara Tempo, lagi-lagi Rida sekitar tahun 1987-an, kembali harus dihadapkan dengan pilihan. Berpindah dari Tanjungpinang ke Pekanbaru, Riau, Rida mendapat tawaran untuk menjadi wartawan media lokal yang dikelola Jawa Pos.

"Lagi-lagi saya harus memilih karena saya ditawari untuk mengelola media lokal. Sungguh hal sangat sulit, karena waktu itu saya bekerja di media yang juga bergengsi," tutur Rida.

Dengat niat yang baik, akhirnya pria ini memilih tawaran untuk mengelola media lokal. Lagi-lagi Dewi Fortuna berpihak kepadanya. Media lokal yang dia kelola tumbuh dan berkembang. Hingga akhirnya Rida mendapat kedudukan sebagai Pemimpin Redaksi Riau Pos. Waktu terus bergulir, Rida menjadi top pimpinan di JPNN Group yang memiliki belasan media lokal yang terbit di Riau, Kepri dan Sumatera Utara.

Kini jabatannya adalah CEO di JPNN Group. Rida juga sempat menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Riau. Beberapa tahun kemudian Rida menjabat sebagai Dewan Kehormatan di PWI.

Karirnya di dunia jurnalistik terus berkembang, hingga tanpa disadari Rida menjadi ikon jurnalis di Riau. Meski demikian, dunia seni tetap tidak bisa dia tinggalkan. Tak heran Rida juga dikenal sebagai penyair di Riau, apalagi dia juga memiliki sebuah yayasan Sagang yang khusus menangani dunia seni dan jurnalis.

Yayasan Sagang yang Rida kelola, saban tahun memberikan penghargaan karya seni serta karya jurnalistik di bidang kebudayaan dan seni. Sudah banyak jurnalis lokal atau nasional yang menulis bidang kebudayaan dan seni mendapatkan anugerah Sagang tersebut.

Belakangan ini, Rida juga memprakarsai pertemuan seniman tingkat Asia yang dilaksanakan di Pekanbaru. Tak hanya itu, Rida juga tercatat sebagai Dewan Penyantun di Institut Seni Indonesia (ISI) di Padang Panjang, Sumatera Barat. Salah satu karya novelnya yang cukup terkenal berjudul 'Bulang Cahaya'.

Hidup memang sulit, tapi sekuat tenaga Rida berusaha untuk tidak menyulitkan hidupnya. Dia hanya melangkah ke mana hati membawanya. Bukankah pekerjaan yang dilakukan dengan sepenuh hati akan terasa menyenangkan ?