Rabu, 19 Februari 2025
Pertama-tama saya ingin mengucapkan selamat kepada saudari Andi Noviriyanti, yang telah berhasil menulis sebuah buku jurnalistik yang menarik dan patut dibaca oleh kalangan jurnalis, bahkan para penerbit media. Di samping saya juga menaruh hormat atas sikapnya, yang dengan sadar telah memilih wartawan sebagai profesinya, meskipun latar belakang disiplin ilmunya, baik strata-1 maupun magisternya, bukan jurnalistik. Saya percaya, dengan basis pengetahuan yang kuat dan luas itu dan semangat gigih seperti tercermin dalam buku ini, suatu hari kelak dia akan menjadi seorang wartawan yang handal, yang mumpuni.
Buku ini menurut saya memang menarik. Antara lain karena ditulis oleh seorang wartawan yang sangat mencintai lingkungan dan memilih secara sadar untuk menjadi wartawan spesialis liputan lingkungan. Ada semangat untuk secara sadar mengajak para wartawan dan media pers untuk menjadikan liputan masalah lingkungan hidup sebagai suatu kerja yang serius dan ikut menjadi kekuatan dunia jurnalistik, sama seperti meliput masalah perang, politik, ekonomi, budaya dan aspek kehidupan lain. Ini menjadi satu kontribusi yang sangat penting, karena isu lingkungan hidup itu sendiri merupakan isu yang relatif baru. Bukan hanya dalam konteks kebijakan pemerintah, pembangunan atau kecenderungan baru dunia, tetapi juga baru dalam wawasan dan pemahaman media. Prinsip pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia misalnya, baru belakangan ini menjadi lebih gencar diperbincangkan dan dicoba untuk dilaksanakan. Padahal dulu, di awal orde baru, kebijakan pembangunan Indonesia lebih bersifat ?memadam kebakaran?. Artinya, demi menggerakkan jentera pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, di semua sektor, aspek lingkungan hidup dan dampaknya, menjadi nomor dua. ?Bangun dulu, nanti baru dikendalikan dampaknya, baru direhabilitasi,? begitu selalu argumentasi yang muncul. Atau yang paling ekstrim, ?Untuk apa punya hutan luas, harimau yang gemuk, gajah yang galak, kalau rakyat miskin dan sulit memperoleh beras?. Jadi, tebang saja, gusur saja, nanti baru dipikir bagaimana mengatasi dampaknya.
Sisi lain kehadiran buku ini, juga adalah semacam upaya untuk kembali mengingatkan dunia media atau persisnya binis media, agar aspek spesialisasi dalam peliputan, editorial dan lainnya, adalah keniscayaan. Sekarang ini, apalagi di era reformasi, di mana orang boleh menerbitkan media, kapan saja, di mana saja dan oleh siapa saja, maka ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang memadai untuk usaha media menjadi persoalan pelik. Meskipun SDM dengan latar belajar strata-1 (sarjana) akan mudah diperoleh dengan penghasilan yang tidak terlalu diperdebatkan, namun untuk menjadi seseorang yang layak dan patut menulis suatu isu, suatu bidang liputan yang penting, memerlukan waktu yang lama. Perlu kerja keras dan kemauan belajar yang tinggi. Jika tidak, maka jadilah wartawan ?setengah kaleng air?. Mau dikatakan tak layak menjadi wartawan, tapi ternyata bisa menulis. Mau dikatakan mampu menulis secara baik, hasilnya masih belepotan. Bukan hanya kerangka pikir persoalan yang ditulis, tetapi aspek-aspek dasar dari sebuah tulisan dan sebuah berita kadang-kadang tak terpenuhi. Bukan tak mau memenuhi, tapi memang tak memahami dan kurang kesungguhan untuk memahami.
Masalah peliputan yang sering bias, sering salah kutip, sering menyesatkan dan sikap intelektual seperti kata penulisnya kemudian menghasilkan sikap advokasi buta itu, itulah tantangan dunia media sekarang ini, khususnya di Indonesia, terlebih di daerah-daerah. Tantangan dunia jurnalistik Indonesia sekarang. Memang, satu hari kelak pastilah akan diperoleh kualitas wartawan yang patut dan layak, yang mumpuni, karena secara perlahan
industri media menganut kualitas itu dipenuhi. Di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, tak ada penerbit yang mau menerima calon wartawan yang melamar hanya karena tak ada kerja lain, yang hanya coba-coba setahun dua tahun dan bila sudah ada relasi di luar nanti melompat jadi calon pegawai negeri dan lainnya. Nanti, setelah era euforia reformasi selesai, setelah era orang dengan gampang membuat media sudah berakhir dan era masyakat pembaca atau pemirsa yang menjadi penentu hidup mati sebuah media dan hanya media yang berkualitas dan layak dipercaya saja yang akan hidup dan bertahan, maka wartawan spesialis, wartawan yang tahu di mana dia bekerja, apa yang dia tulis dan untuk siapa tulisan itu dibuat, akan menjadi keharusan. Menjadi keniscayaan. Yang tak mampu dan tidak berkualitas, akan tersingkir.
Saya memuji, apapun niat tulus, dari pihak manapun yang mau mendorong dunia jurnalistik dan dunia media untuk segera bergerak ke arah yang seharusnya dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab mereka. Apalagi kalau itu dilakukan oleh kalangan media sendiri, oleh kalangan wartawan, karena ini adalah sebuah gerakan ?self correction? yang baik dan diperlukan. ****
Kata Sambutan Rida K Liamsi pada Objektivitas Berita Lingkungan : Buku Jurnalistik Berkelanjutan, 2006