Kamis, 12 September 2024
Oleh Rida K Liamsi
Persaingan antar media saat ini semakin menyudutkan posisi media cetak, khususnya surat kabar. Hampir tak ada lagi keunggulan media cetak yang dapat diandalkan. Untuk kecepatan misalnya, sudah jauh ditinggalkan oleh media televisi dan internet. Kelengkapan informasi pun sudah sering ketinggalan. Satu-satunya yang masih sangat mungkin dipertahankan, dan akan tetap menjadi keunggulan, adalah kualitas peliputan dan kedalaman tulisan yang disajikan. Ada hal-hal yang memang sulit diakalahkan oleh media lain. Dalam membangun kedekatan emosi dan kelengkapan informasi, surat kabar tetap masih mampu bertahan. Karena itulah, Raja Koran Dunia, Ruppert Murdoc, mengingatkan, bahwa jika surat kabar atau media cetak ingin tetap eksis, maka harus tetap menjaga kedekatan dan membangun kebersamaan dengan pembacanya. Itu hanya dapat dilakukan dengan menyajikan liputan dan tulisan yang benar-benar baik, dan diperlukan oleh pembacanya. Dan pembaca media cetak itu, bergerak bagaikan air bah. Baik dalam tuntutan, maupun dalam kecendrungan ide dan seleranya.
Dalam konteks dan semangat untuk tetap menjaga peluang agar media cetak, khususnya surat kabar tetap dapat eksis itulah, maka penghargaan jurnalistik Rida Award itu, diperkenalkan. Esensinya adalah bagaimana dengan penghargaan yang sederhana ini, segera kembali tumbuh dan berkembangnya semangat untuk menjadi wartawan yang andal, berkualitas, dan mampu bersaing dalam menyongsong masa depan yang lebih baik bagi kehidupan media cetak itu. Wartawan yang demikian itu, akan menghasilkan karya yang mampu memberi kepuasan kepada para pembacanya. “Seakarang ini, tidak lagi ada pelanggan yang setia pada satu media. Tapi, mereka hanya mau membaca suatu media, sepanjang ada kepentingan mereka yang terakomodasi di sana“ begitu pesan para pakar marketing media.
Artinya, hanya media yang mampu menyajikan liputan dan tulisan yang baik, lengkap, aktual, dan akomodatif sajalah yang akan bertahan, yang akan tetap dicari oleh para pembaca. Jika tidak, maka cepat atau lambat, media itu akan tersisih dan disingkirkan. Liputan yang instans, yang tidak akurat, yang mengabaikan kepentingan pembacanya, apalagi yang menjemukan, saat ini menjadi jalan pintas media cetak menuju lubang kuburnya.
Menyikapi itulah, Riau Pos Group (RPG), sebagai salah satu grup media yang tumbuh dan berkembangan di Sumatera bagian Utara ini, yang merupakan bahagian dari grup bisnis media Jawa Pos Group, mencoba mendorong terus semangat jurnalisme yang pantang menyerah, profesional, dan cerdas, agar setiap waktu senantiasa tersedia liputan dan tulisan yang dapat memenuhi hajat dan kebutuhan para pembaca.
Liputan yang berkwalitas, yang mendalam dan lengkap. Liputan yang senantiasa mematuhi kaidah-kaidah jurnalistik, dan mencerdaskan para pembacanya. Dan karya-karya yang baik itu, perlulah diberi apresiasi dan dukungan, antara lain melalui pemberian penghargaan, atau award. Pada tahun 2007 lalu hingga 2009 ini, RPG memulainya dengan memperkenalkan Rida Award, yaitu penghargaan untuk karya tulis dan foto njurnalistik terbaik di lingkungan RPG. Ini sejalan dengan upaya Jawa Pos Group yang memperkenalkan Dahlan Iskan Award, untuk lingkungan Jawa Pos Group, yang sudah mulai memberi penghargaan tahun 2008. Ini akan menambah jenis penghargaan jurbnalistik yang ada secara nasional, seperti Anugerah Adinegoro yang diselenggarakan Pengurus Persatuan Wartawan Indonesia ( PWI ) Pusat, di Jakarta, atau anugerah Raja Ali Kelana, yang ditaja PWI Cabang Riau, di Pekanbaru.
Artinya, hanya produk media yang berkualitaslah yang akan memberi tempat dan peluang, bagi media cetak untuk tetap hidup dan berkembang. Produk media cetak itu, selain dari liputan dan tulisan yang disajikan, juga foto-foto yang ditampilkan, serta perwajahan yang menarik. Karena itulah, Rida Award ini, untuk yang ketiga ini, memberi penghargaan pada katagori karya tulis jurnalistik dan foto jurnalistik. Tahun-tahun berikutnya, akan ditambah dengan katagori perwajahan koran, karikatur, karya grafis, kualitas cetak, dan lainnya. Semua asfek tersebut, bagaimanapun harus diakui, itulah yang menjadi ruh dan kekuatan sebuah media cetak.
Dasar Penilaian, Jurnalisme ‘Berpeluh’?
Ketika pertama kali diperkenalkan, karya jurnalistik yang dinilai memang tidak dibatasi waktu penerbitannya. Untuk tahun-tahun berikutnya dan tahun ini yang akan dinilai adalah karya jurbnalistik yang dimuat atau dipublikasikan pada tahun berjalan. Karena Rida Award 2007, penilaiannya ditutup pada 30 Juni 2007, maka Rida Award 2008 akan menilai karya yang dipublikasilkan mulai 1 Juli 2007 sampai 30 Juni 2008 dan 2009 ini, begitu seterusnya.
Tahun ini, seperti juga tahun 2008 lalu, karya yang diikutsertakan untuk Rida Award 2009 cukup banyak dari 13 media cetak di lingkungan RPG, yaitu Riau Pos, Pekanbaru Pos, Dumai Pos, Pekanbaru MX, Batam Pos, Batam News, Posmetro Batam, Padang Ekspres, Posmetro Padang, Sumut Pos, Posmetro Medan, Metro Siantar, dan Rakyat Aceh. Setelah melalui seleksi di masing-masing media, ada sekitar 45 karya tulis dan 35 karya foto jurnalistik yang diterima panitia pelaksana. Dari jumlah itu, setelah melalui seleksi yang cukup ketat, maka ada 20 karya tulis jurnalistik dan 12 karya foto jurnalistik yang terpilih untuk dinominasikan. Dari jumlah itu, dewan juri kemudian memilih 12 karya tulis dan lima karya foto menjadi nominator. Dari nominator-nomitor tersebut, dipilih masing-masing satu dari tiap kategori untuk menjadi penerima Rida Award.
Panitia telah menetapkan sejumlah aspek yang menjadi dasar penilaian. Untuk kategori karya tulis jurnalitik, aspek yang dinilai adalah: Kualitas peliputan, aktualitas materi liputan, kedalaman liputan, kelengkapan informasi yang disajikan, dan tehnik penyajian. Sedangkan untulk kategori foto jurnalistik, aspek yang dinilai adalah: Tehnik fotografi, aktulitas materi, eksperessi, estetika, dan kreativitas. Penilaian diberikan dengan menggunakan bobot skor 50 sampai dengan 100 di masing-masaing aspek. Total nilai tertinggi yang diperoleh ditetapkan sebagai penerima Rida Award.
Penetapan aspek-aspek yang dinilai, dimaksudkan, agar semua karya yang ditampilkan menunjukkan suatu proses kerja jurnalistik yang sungguh-sungguh, dan bukan kerja sambil lalu. Untuk asfek kwalitas liputan, misalnya yang dicermati antara lain, bagaimana materi liputan itu diperoleh. Apakah wartawannya melakukan perjalanan jurnalistik yang memadai. Ke luar masuk hutan, menumpang perahu dari satu kampung ke kampung lain, dan menguber berbagai sumber ke tempat-tempat yang sulit, tanpa kenal lelah. Saya selalu menyebutnya sebagai “ liputan yang berpeluh “ . Dan bukan hanya kerja dari belakang meja, dan hanya mengandalkan liputan telepon genggam. Dalam sistim penilaian, Anugerah Jurnalistik Adinegoro yang dilakukan PWI, maka aspek kualitas liputan ini sangat diutamakan. Beberapa pemenangnya, seperti seorang wartawati majalah wanita Kartini yang bernama Wirdaningsih (kalau tak salah), menceritakan bagaimana perjalanannya di laut Cina Selatan dalam memburu sumber beritanya. Dalam liputannya serasa terasa asin laut, dan gemuruh gelombang. Dari ke-20 karya yang dinilai dalam Rida Award 2009 ini, kelihatan bagaimana kualitas liputan itu belum maksimal dilakukan. Hanya ada satu liputan yang wartawannya masuk jauh ke berbagai pelosok kawasan yang sulit, untuk mendapatkan informasi, fakta, dan diskripsi laporannya.
Liputan itu dilakukan melalaui inisiatif wartawan atau penugasan dari suratkabarnya. Meskipun di dalam tulisannya, kurang tergambar kualitas kesulitannya, namun tampak jelas peliputan itu sudah dilakukan secara sungguh-sungguh. Ini tampak pada tulisan yang berjudul, “Pabrik Lesbi Bernama Dormitori”. Sedangkan tulisan-tulisan lain, meskipun wartawannya sudah bekerja, tapi belumlah begitu keras. Jika mereka pergi ke lapangan atau ke lokasi peristiwa, tapi kebanyakan, ikut rombongan bersama wartawan-wartawan lainnya. Semacam tour of the press. Aspek Kualitas peliputan juga mencermati seberapa banyak sumber yang diuber, seberapa relevan sumber tadi, dan lain-lainnya. Peliputan yang dilakukan melalui perjalalan pers itu tidak juga jelek, hanya saja wartawannya harus mau mencari sudut dan wilayah jelajah liputan sendiri, agar tidak terkesan liputan yang streotipe dan kodian. Mosthamir Thalib, wartawan Riau Pos yang pernah memenangi anugerah Adinegoro, menunjukkan bagaimana kualitas peliputan itu menjadi keunggulan tulisannya, ketika dia menjelajah kawasan hutan lindung Bukit Tigapuluh (kini menjadi Taman Nasional Bukit Tigapuluh – TNBT). Setelah Mosthamir, Muhammad Nur wartawan Batam Pos juga memperoleh anugerah yang sama pada tahun 2008. Tulisan Muhammad Nur juga disertakan dalam penerbitan buku anugerah Rida Award 2009 ini.
Untuk asfek aktualitas, yang dicermati, adalah tren dan kecendrungan peristiwa yang diliput. Apakah peristiwa yang diliput, baru terjadi, atau isu yang hangat, dan menarik perhatian umum. Dan apakah isu itu, atau bahan yang disajikan itu masih aktual. Ini sangat penting dalam konteks liputan media cetak yang sangat mengandalkan aktualitas peristiwa dan eksklusivisme. Dari karya-karya yang dinilai, ada yang asfek lainnya sangat baik, tetapi dari segi aktualitas sudah sulit dipertahankan. Ada naskah yang ketika disertakan sudah diterbitkan lebih dari lima tahun, sehingga tingkat kebaruan peristiwanya dan keutuhan informasinya sudah sangat sulit dipertahankan keakuratannya. Kebanyakan isu aktual yang disajikan menyangkut lingkungan hidup. Tentang nasib gajah, harimau, dan lainnya. Tapi tidak ada yang menyajikan tentang limbah dan ancaman kerusakan lapisan ozon dan perubahan cuaca. Lalu soal kriminalitas, dan hukum. Sangat sedikit yang memilih isu sosial, seperti kemiskinan dan penindasan atau perlakuan yang melanggar azaz kemanusiaan.
Untuk asfek kedalaman liputan, yang dicermati adalah, bagaimana proses penggalian peristiwa atau isu yang diliput. Seberapa dalam, seberapa jauh sisi-sisi kemanusian yang diungkap. Dari karya-karya yang dinilai, asfek ini yang tampaknya masih sangat lemah. Banyak peliput yang kurang sabar dan mau cepat selesai. Kurang menggali sisi-sisi dalam dari sebuah peristiwa. Akibatnya jumlah sumber terbatas, liputan hanya menyentuh permukaan peristiwa, dan sulit membangkitkan emosi dan empati para pembaca. Dari sisi kaidah jurnalistik, banyak liputan yang baru sampai pada Apa, Siapa, Dimana, Bila, dan Mengapa. Tapi bagaimana semua peristiwa itu terjadi, sangat sedikit yang digali. Bahkan terkesan hanya sekilas melalui wawancara dengan beberapa sumber resmi. Dalam catatan Anugerah Adinegoro, tercatat nama Latifah, nama samaran dari Fauzi Amarullah, wartawan majalah Detektif Romantika (DR) yang berkali-kali menjadi penerima Anugerah Adinegoro. Keunggulannya adalah pada kedalaman liputannya terhadap semua objek penulisannya.
Untuk aspek kelengkapan informasi, yang dicermati adalah, seberapa banyak informasi pendukung yang ditampilkan untuk memperkaya liputan. Apakah ada penggalian dari kepustakaan, apakah ada data-data empiris yang dimasukkan, sehingga liputan menjadi sangat kaya, dan informatif. Dari aspek ini, banyak karya yang dinilai masih kurang memperhatikannya. Kering, tanpa data, dan tidak banyak menggunakan kepustakaan atau kliping-kliping tulisan sebelumnya untuk mendukung liputan. Banyak wartawan yang langsung menulis laporan, begitu tiba di kantor dari lapangan. Dan hanya menggunakan data dari notesnya. Sedikit sekali yang mau bersusah payah mencari referensi dari bahan-bahan yang sudah ada sebelumnya.
Untuk aspek tehnik penyajian, yang dicermati, antara lain bagaimana tulisan itu disajikan? Apakah semua kaidah wajib liputan jurnalistik itu dipenuhi? Apakah sumbernya berimbang? Apakah sudah menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar? Apakah mampu menceritakan semua peristiwa secara berurut dan berkaitan? Apakah disajikan dengan gaya penulisan yang menarik dan membangkit minat untuk membacanya? Apakah juga menyajikan solusi, dan bukan hanya kecaman yang memenuhi seluruh tubuh tulisan?
Dari karya-karya yang dinilai, banyak sekali tulisan yang sebenarnya materi yang disajikan cukup baik, kaya dengan berbagai informasi, namun disajikan dengan cara yang kurang kuat, sehingga tidak sampai kepada pembaca secara utuh, memikat, dan kurang memberi pengaruh dan belum membangun opini yang kuat. Dari arena Anugerah Adinegoro, ada dua wartawan Harian Suara Karya, yaitu Lerman Sipayung dan Bambang Wijanarko, yang unggul melalui tehnik penyajian, penggunaan Bahasa Indonesia yang baik, dan solusi yang memikat.
Dari berbagai aspek yang dinilai dan dicermati, maka untuk Rida Award hingga tiga tahun ini, belum ada karya tulis yang benar-benar kuat dari semua aspek. Karena itu rata-rata nilai yang diperoleh, semuanya masih di bawah 80. Ada yang bagus di kualitas liputan, tapi lemah di aspek lain. Ada yang kuat dalam penyajian, tapi lemah pada kualitas peliputan, kedalaman liputan dan berbagai variasi lain. Tulisan yang memenangi Anugerah Rida Award 2009 yang berjudul, “ Teluk Meranti Tertatih Meniti Jalan Tua: Fenomena Semenanjung Kampar di Kabupaten Pelalawan”, kuat hampir disemua aspek, terutama tehnik penyajian, aktualitas, dan kelengkapan informasi. Namun, kurang maksimal pada kualitas dan kedalaman liputan.
Meskipun demikian, dengan nilai rata-rata di atas 70 itu, sudah ada upaya yang kuat dari para wartawan ini untuk menunjukkan kesungguhannya bekerja sebagai wartawan, dan menyajikan liputan yang baik bagi pembacanya.
Bagaimana Karya Foto Jurnalistik?
Hampir sama dengan karya tulis, asfek yang dinilai, menyangkut dasar-dasar jurnalistik. Keharusan yang dituntut dari sebuah foto untuk sebuah media cetak. Baik itu foto pendukung liputan, maupun foto lepas (stopper). Dari asfek tehnik fotografi misalnya, yang dicermati adalah tehnik pemotretan. Apakah cukup tajam dan fokus? Bagaimana pencahayaannya, bagaimana cropping-nya, dan lain-lain. Dari 5 karya para nominator, tampaknya aspek tehnik ini banyak yang masih lemah. Mungkin kualitas kamera yang dipakai, atau kelemahan lainnya. Sehingga momen yang bagus, tapi karena tehnik fotografinya lemah, maka hasilnya kurang menggigit. Contohnya, foto berjudul “Evakuasi”. Sangat bagus momennya, sangat aktual, dramatis, tapi karena kelemahan tehnis fotografinya, maka foto itu menjadi kurang kuat, kurang greget. Tapi, banyak juga foto yang secara tehnik sangat baik, namun lemah pada aspek aktualitas dan ekspresi, estetika dan kreativitas, sehingga kurang memberi greget pada penampilannya.
Untuk aspek aktualitas, karena ini adalah foto jurnalistik, maka aspek ini sangat penting. Apakah momen yang dipilih cukup aktual? Apakah peristiwa yang terjadi cukup baru? Apakah isu yang dipilih masih relevan? dan lainnya. Meskipun foto itu adalah foto stopper. Harus selalau dapat dilihat “news peg “ nya. Dari semua Foto-foto yang dinilai, kebanyakan menunjukan kekurangsabaran wartawan fotonya untuk menunggu peristiwa terjadi pada titik puncak peristiwa. Banyak yang sudah kehilangan momen, atau hanya memotret sisa-sisa dari sebuah peristiwa.
Untuk aspek ekspresi, yang dicermati adalah, antara lain, bagaimana foto tersebut berbicara dan mnembangkitkan emosi pembacanya. Foto yang bicara, terkadang tidak perlu lagi diberi judul. Foto itu sudah langsung menggugah perasaan yang melihatnya. Inipun memerlukan kesabaran, ketelatenan, dan upaya keras lain dari wartawan fotonya. Kebanyakan foto yang dinilai menunjukkan latar belakang peristiwa kurang diperhatikan, sehingga fotonya tampil terapung dan tidak bicara sendiri. Sehingga harus dibantu judul atau caption untuk memberinya artinya yang jelas.
Untuk aspek estetika, yang dicermati dan dinilai adalah bagaimana foto tersebut ditampilkan dan menunjukan dan mampu bercerita tentang peristiwa yang terjadi. Bagaimana komposisinya dapat membangkitkan sisi keindahan sebuah foto. Mengemas sebuah peristiwa melalui lensa dan warna-warna, sehingga foto itu dapat menggambar sebuah kejadian secara lengkap. Foto “Terjungkal” misalnya, dari asfek aktualitas, kreativitas, ekpresi, memang agak lemah. Namun karena asfek estetikanya begitu kuat, dan tehnik fotografinya juga baik, maka foto itu menjadi bagus, dan mampu bicara bagaikan sebuah lukisan hidup.
Sedangkan untuk asfek kreativitas, yang dicermati adalah sikap kejelian dan kegigihan fotografernya dalam menangkap sebuah peristiwa. Bagaimana memilih angle atau sudut pemotretan sehingga foto yang dihasilkan sangat unik. Wartawan fotonya terasa sangat bekerja keras untuk memperoleh momen, dan mampu dengan jeli melihat sisi-sisi menarik sebuah peristiwa. Kreatifitas demikian ini misalnya tampak pada foto berjudul “Jangan dilihat saja bantu dong!”. Aktualitasnya memang rendah, tapi foto ini menunjukkan kreatifitas fotografernya dalam menangkap momen. Dengan kualitas tehnik foto yang baik dan estitika yang bagus. Foto ini menjadi sangat menarik dan bercerita melalui ekspresi objeknya.
Dari semua karya foto yang dinilai, memang tidak ada yang unggul pada semua asfek. Ada yang baik pada teknik, aktualitas, ekpresi, dan estetika, tapi lemah pada kreativitas, atau sebaliknya. Sehingga nilai rata-rata, masih dibawah 80. Foto penerima Anugerah Rida Award 2009 yang berjudul “Hayoo… Sandal siapa ni?” adalah foto yang kuat hampir di semua aspek, baik tehnik, aktualitas, ekspresi, estetika dan kreatifitas. Namun belum maksimal, dan kurang sabar. Meskipun demikian, seperti karya tulis, maka sudah kelihatan, bahwa setiap wartawan foto tersebut, makin memahami posisi dan pentingnya kedudukan mereka dalam memberi kekuatan pada sebuah penerbitan media cetak, khususnya surat kabar. Foto bukan lagi sekedar pengisi ruang kosong. Bukan pelengkap halaman. Tapi adalah juga ruh dan semangat dari keunggulan sebuah media cetak.
Menjadi Referensi, Model dan Contoh
Demikianlah, latar belakang penganugerahan Rida Award ini dan evaluasi singkat, atas karya-karya yang dinilai. Mudah-mudahan di tahun yang akan datang, akan lahir karya-karya yang lebih kuat, dari semua aspek dan dapat dijadikan contoh bagi para wartawan lainnya. Terutama yang baru memulai karirnya sebagai wartawan. Bagaimana sebuah karya tulis yang baik yang ‘berpeluh’ dihasilkan, dan bagaimana sebuah foto jurnalistik yang menghentak, dapat ditampilkan. Dua kekuatan inilah yang kini menjadi ruh dan kekuatan media cetak untuk terus bertahan dan eksis.
Sebagai referensi untuk perbandingan, di dalam buku yang berjudul, “Teluk Meranti Tertatih, Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award 2009”, ini selain dimuat 12 karya tuliasn, dan 5 karya foto nominator juga disertakan karya tulis pemenang anugerah Adinegioro 2008, Dahlah Iskan Award 2009 dan Ali Kelana 2009. Untuk dicermati, dilihat dan diperbandingkan. Agar dapat digunakan sebagai referensi, model dan contoh, bagaimana sebuah karya jurnalistik bermutu itu disajikan. Bravo!!! ***
Rida K Liamsi adalah CEO Riau Pos Group, dan Ketua Dewan Juri Anugerah Jurnalistik Rida Award.