Nominator Rida Award 2010

Menggali Kubur untuk Anak Cucu (2)

Jurnalistik Kamis, 09 September 2010
Menggali Kubur untuk Anak Cucu (2)
Penambangan Pasir Ilegal (Sumber : http://ghazyan.wordpress.com)

*Negara Rugi Puluhan Miliar
Sejak 23 tahun lalu pemerintah bertekad menutup tambang pasir di Batam, tapi tak pernah terlaksana.

ABDUL HAMID, Batam a.hamid@batampos.co.id

Rapat musyawarah pimpinan daerah (Muspida) itu digelar jauh dari pusat kota, di Nongsa Point Marina and Resort, resort yang berbatasan langsung dengan Singapura, akhir April lalu. Dipimpin Wali Kota Batam Ahmad Dahlan, rapat dihadiri Ketua DPRD Batam Surya Sardi, Kajari Batam Tatang Sutarna, Kapoltabes Barelang Kombes Leonidas Braksan dan para pimpinan instansi lainnya. Keputusannya bulat, menutup penambangan pasir di Batam.

Rapat itu perlu digelar, karena konon, penambangan pasir itu dibengkengi banyak aparat. Dengan meminta persetujuan para pemimpin daerah itu. Ahmad Dahlan merasa lebih mudah bergerak. “Karena semua sudah setuju, tinggal melaksanakan,” kata Kadis Perindustrian, Perdagangan dan Sumber Daya Mineral Kota batam Ahmad Hijazi, selasa (8/6) lalu.

Namun sebelum ditutup, Pemko Batam membentuk tim khusus. Namanya Tim Sosialisasi, Mediasi, Alternatif Solusi dan Penertiban. Nama yang cukup panjang itu, menurut Hijazi, disematkan karena tugas tim tersebut cukup banyak. Anggotanya juga cukup gemuk, lintas instansi.

Ada yang bertugas melakukan sosialisasi ke masyarakat, ada yang bertugas melakukan mediasi dengan para penambang pasir, ada yang bertugas mencari sumber baru pasokan pasir ke Batam, dan ada yang bertugas menertibkan. “Kita wawancara Batam secara keseluruhan,” katanya.

Hijazi dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Sumbar Daya Mineral ditugasi mencari pengusaha pasir dari luar Batam yang bisa memasok pasir untuk kebutuhan Batam. Rencana ini didahulukan karena penambangan pasir tak bisa ditutup kalau tak ada pemasok pasir untuk kebutuhan pembangunan Batam. “Daerah yang sedang  kami jajaki adalah  Bitan, Karimun, dan Lingga. Pasir dari kawasan itu yang potensial menyuplai kebutuhan Batam,” ujar Hijazi. Selain masih satu Provinsi, tiga kabupaten/kota tersebut memiliki kawasan pertambangan.

Batam, katanya, setiap bulannya membutuhkan 40 ribu ton pasir. Jika jadi mendatangkan pasir dari tiga kabupaten tersebut, maka pasir itu harus diantar dengan kapal tongkang. Dengan kapasitas tongkang rata-rata 3.000 ton per kapal, maka Batam perlu mendatangkan 14 kapal per bulan.

Namun mendatangkan pasir dari luar tak mudah. Pasalnya, para pengusaha pasir itu baru bisa memasok pasir ke Batam kalau penambangan pasir di Batam benar-benar distop. “Kalau masih ada penambangan di Batam, pasir dari luar tak mungin bisa bersaing,” paparnya.

Penutupan penambangan pasir di Batam, kata Hijazi, bukan hanya soal bagaimana menyelamatkan lingkungan. Tapi juga bagaimana memastikan pasokan pasir tetap aman. “Akan lebih baik kalau sadar, menghentikan penambangan, jadi kami tak perlu melakukan penertiban,” katanya.

Jika Batam jadi mendatangkan pasir dari luar, kata Hijazi, harga pasir pasti akan lebih mahal. “Itu konsekuensi. Namun saya yakin kenaikan harga akan terkoreksi jika sistem logistik dan distribusi lancar,” katanya.

Bagaimana nasib para pengusaha pasir yang hanya mengandalkan lahan seperti H Anas dan kawan-kawannya di Kampung Panglong?  “Nanti itu dibicarakan lagi. Itulah perlunya ada mediasi dalam tim ini,” tuturnya.
***

Upaya penertiban penambangan pasir di Batam sudah dimulai sejak 23 tahun yang lalu saat itu, tahun 1987, Kepala Badan Pelaksana Otorita Batam Seodarsono Darmosuwito, mengeluarkan edaran yang melarang pengalian pasir. Namun edaran tersebut hanya bergaung sementara waktu, karena penggalian pasir kemuadian malah merambah banyak titik.

Tahun 1994, Otorita Batam membetuk tim Pengelola Lingkungan Hidup. Disusul kemudian di tahun 1999, tim yang sama pernah menutup penambangan di kawasan  Kampung Panglong, Batubesar, Nongsa.

Seiring dengan hadirnya Undang-Undang Otonomi Daerah tahun 1999 yang disusul dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2003, yang antara lain menyerahkan kewenangan pengelolaan lingkungan ke daerah, Otorita Batam menghentikan penertiban. Bola penertiban ada di tangan Pemko Batam.

Namun perlu waktu bertahun-tahun bagi Pemko Batam menertibkan penambangan pasir itu. Tahun 2008, Badan Penanggulangan Dampak Lingkungan Kota Batam mengeluarkan surat teguran kepada pelaku penambangan disusul kemudian dengan Surat Edaran Wali Kota Batam tahun 2009 yang melarang penambangan. Tapi lagi-lagi segala surat edaran itu layu di tangan penambang pasir.

“Tapi saya yakin kali ini karena sudah disepakati Muspida, penambangan pasir di Batam bisa dihentikan,” kata Kepala Badan Penanggulangan Dampak lingkungan Kota Batam, Dendi N Purnomo, Rabu (9/6).

Dendi punya pengalaman panjang dalam menertibkan penambangan pasir di Batam. Dialah ketua Tim Pengolaan Lingkungan Hidup Otorita Batam tahun 1994 dan 1999. Saat  itu pembangunan sempat terhenti. “Ada beberapa pelaku usaha penambangan yang disidang di pengadilan,” kata Dendi.

Sesuai Rancangan Tata Ruang dan Wilayah Batam tahun 2008-2028, tak ada kawasan penambangan di Batam. Pemko Batam juga tak pernah mengeluarkan satupun izin yang mempebolehkan warga mengeruk pasir di Nongsa. Lahan di sana, kata Dendi, diperuntukkan bagi pemukiman, jalur hijau, dan tempat wisata. “Tak boleh ada penambangan pasir,” katanya.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengancam pelaku usaha tanpa izin itu dengan pidana penjara minimal satu tahun dan maksimal tiga tahun serta denda minimal Rp1 miliar dan maksimal Rp3 miliar. Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, ancaman penjaranya sepuluh tahun dan denda Rp10 miliar.

Namun sebelum operasi penertiban dilakukan, kata Dendi, tim akan bekerja bertahap. Mulai dari mencari sumber pasir baru, sosialisasi ke masyarakat, baru penertiban. “Penertiban nanti setelah ada alternative pasokan dan sosialisasi,” ujarnya.

Tim Badan Penanggulangan Dampak Lingkungan Kota Batam yang turun ke Nongsa, kata Dendi, menemukan banyak kerusakkan. Ekosistem pantai rusak, mengganggu keberadaan atol, memicu abrasi dan menurunkan kualitas pesisir. “Bekas galian yang dibiarkan terbuka tanpa reklamasi menjadi sumber penyakit malaria dan membahayakan nyawa manusia,” katanya.

Dari sisi ekonomi, penambangan pasir tanpa izin itu juga merugikan Negara. Jika dihitung retribusi dari bahan galian C maupun kesempatan mendapatkan Uang Wajib Tahunan Otarita (UWTO)  selama berpuluh-puluh tahun pengerukan, Negara rugi hingga Rp990 juta dari retribusi galian C dan Rp34,86 miliar dari UWTO.

Biaya pemulihannya juga sangat mahal. Dengan kerusakan lingkungan yang mencapai 83 hektare itu, kata Dendi, setidaknya membutuhkan tanah 3.320.000 meterkubik sebagai penutup. Dengan asumsi material Rp6 ribu per meterkubik, maka mmbutuhkan dana Rp19,92 miliar. “Itu diluar elemen lingkungan lainnya,” ujarnya.
*** (bersambung)