Selasa, 29 April 2025
40 tahun penambangan pasir ilegal dibiarkan pemerintah. Lingkungan rusak, banyak nyawa melayang.
ABDUL HAMID, Batam a.hamid@batampos.co.id
M Soleh, 30-an, menggerak-gerakkan “stik” di tangannya ke kanan ke kiri. Dia berdiri di atas rakit, mengendalikan mesin penyedot pasir yang bunyinya meraung-raung. Senin (7/6) itu, ia mencari endapan pasir, di kedalaman 4 meter, yang masih bisa disedot.
Stik yang ia pegang berupa tongkat kayu yang dikaitkan pada pipa. Seperti belalai gajah, pipa itu menyedot tanpa ampun apapun yang ada di depannya. Butuh keahlian khusus untuk mengendalikan stik tersebut. Mulut pipa harus benar-benar mengarah ke endapan pasir. Jika tidak, bisa-bisa cuma dapat lumpur dan air.
“Kalau sedang tak bagus, yang kami dapat hanya air,” katanya.
Soleh hanyalah buruh di penambangan pasir itu. Ia bertugas sebagai penjaga mesin. Tugasnya bukan hanya menghidupkan atau mematikan mesin, tapi harus pandai-pandai mencari pasir di kedalaman dua hingga lima meter dari permukaan air. Pekerjaan itu sudah dilakoninya sepanjang empat tahun.
Bersama Soleh ada dua orang lainnya. Tugasnya menjaga bak. Pasir yang disedot dialirkan melalui pipa sepanjang kira-kira 100 meter ke bak penampungan. Dua orang itulah yang bertugas menjaga bak agar pasir yang tersedot tak mengalir lagi ke kubangan. Selain mereka ada juga tukang sekop. Tugasnya mengangkut pasir ke dalam truk.
Mereka bekerja di lahan milik H Anas Jarek, 50, warga Kampung Panglong, Batubesar, Nongsa. Lahan itu awalnya dikeruk dengan alat berat. Namun lama-lama kerukan makin dalam. Air tanah muncrat, menggenangi kawasan pertambangan. Kini bentuknya menyerupai danau, seluas kira-kira 4 hektare.
Di Kampung Panglong itu H Anas tak sendiri. Ada 73 titik penambangan pasir di kawasan itu. Tim Badan Penanggulangan Dampak Lingkungan Daerah Kota Batam, yang melakukan survei bulan lalu, menemukan ada 64 pelaku usaha penambangan pasir di 73 titik tersebut. Luas penambangan 83 hektare. Semuanya tak berizin.
Penambangan tak lagi menggunakan sekop atau alat berat. Namun menggunakan mesin penyedot pasir. Dengan pipa berbelalai, mesin itu menyedot hingga ke kedalaman 5 meter. Setiap hari para penambang pasir mengeruk 800 meterkubik pasir. Jika dihitung, setiap bulan Kota Batam kehilangan lahan seluas lapangan sepak bola.
Kampung Panglong termasuk yang paling parah kondisinya. Lahan yang dulunya berupa kebun yang ditumbuhi kelapa dan karet berubah jadi danau. Pertambangan tak hanya dilakukan di pinggir kampung, tapi juga di tengah-tengah perkampungan.
Kampung Panglong dikeruk mulai tahun 1970-an. Mulanya lahan yang dikeruk hanya di dua titik. Namun lama-lama makin luas, merembet ke kampung sekitarnya. Kawasan Kampung Jabi ataupun di Teluk Mata Ikan, juga menjadi tempat penambangan pasir. Semuanya di kawasan Nongsa.
Hampir semua kebutuhan pasir di Batam dipasok dari tempat ini. Pembangunan perumahan maupun jalan raya dan jembatan di Batam pasirnya berasal dari Nongsa. Padahal semua penambangan itu tak memiliki izin. Pemko Batam maupun Otorita Batam tak melegalkan penambangan karena dalam Rancangan Tata Ruang dan Wilayah Batam tak ada kawasan penambangan.
Pasir Nongsa sangat cocok untuk pengecoran dan memasang bata merah. Sejumlah perusahaan galangan kapal juga menggunakan pasir di kawasan itu untuk keperluan sand blasting. Namun banyak penambang lebih suka menjual langsung pasir yang dikeruk tanpa proses pengayakan dan pengeringan seperti jika pasir itu digunakan untuk keperluan galangan kapal.
Pelaku usaha penambangan pasir sebagian besar bukan pemilik lahan. Mereka hanya menyewa lahan dengan memberi kompensasi pada pemiliknya. Sebagian lainnya pemilik sekaligus pelaku usaha.
Penambangan makin menjadi-jadi seiring dengan cepatnya pembangunan di Batam. Survei tim Badan Penanggulangan Dampak Lingkungan Daerah Kota Batam menemukan, penambangan tak hanya dilakukan di lahan-lahan milik penduduk. Namun sudah merambah ke pinggir pantai. Beberapa di antaranya merusak kawasan bakau.
Rawa-rawa di kawasan Nongsa juga tak luput dari pengerukan. Habitat buaya yang dulunya biasa terlihat di Nongsa, kini sudah tak ada lagi. Pencari kepiting juga makin kesulitan karena bakau banyak yang ditebang.
Setelah hampir 40 tahun dikeruk, luas daratan Kampung Panglong makin mengecil. “Lahan yang dikeruk pasirnya saya perkirakan lebih luas dibandingkan Kampung Panglong itu sendiri,” kata Lurah Batubesar, Harsyim.
Selain merusak lingkungan, kata Harsyim, penambangan pasir juga membahayakan penduduk. Danau-danau bekas galian yang bertebaran di seantero kampung bak kuburan bagi warga sekitar. ”Banyak anak-anak yang tewas tenggelam,” ungkap Harsyim. “Juga tak pernah ada kontribusi apapun dari pengusaha pasir itu kepada penduduk sekitar,” ia menambahkan.
Namun Harsyim mengaku tak bisa berbuat apa-apa. Selain karena penambangan pasir lebih banyak dilakukan di lahan milik warga, Pemko Batam juga tak pernah tegas menindak penambangan liar tersebut. “Kalau tak ada perintah dari atas, saya tak enak ikut campur,” ujarnya.
Menurut Ketua RW XI Batubesar, Ligiono, para pekerja di penambangan pasir tersebut rata-rata bukan warga Kampung Panglong. Sebagian besar didatangkan dari luar Batam. Kampung Panglong sendiri ditempati 350 kepala keluarga. “Selain pemilik lahan, warga kami di sini tak kerja pasir. Mereka kerja lain,” tuturnya.
Kalau memang Pemko Batam berencana menutup penambangan pasir di Kampung Panglong dan kawasan Nongsa lainnya, kata Ligiono, warga pasti menyambut baik. “Kalau benar mau tutup, kami senang,” katanya.
***
H Anas Jarek, 50, tak pernah berpikir bakal jadi pengusaha pasir. Semasa mudanya ia pelaut. Ia biasa berlayar berbulan-bulan di tengah lautan. Hampir semua kawasan di Asia pernah disinggahinya. Vietnam, Singapura, Thailand, Jepang, dan Filipina hanyalah beberapa negara di Asia yang pernah ia datangi.
Setiap kali singgah di sebuah negara ia punya hobi jalan-jalan. Dengan taksi ia meluncur keliling kota. “Saya tak suka main wanita. Hobi saya jalan-jalan saja,” tuturnya.
Anas berhenti berlayar sejak ayahnya sakit-sakitan dan meninggal. Ia memilih mengelola lahan ayahnya bersama saudara-saudaranya. Saat itu lahan tersebut disewakan kepada pengusaha pasir. Dari penyewaan lahan itulah mereka menyandarkan hidup.
“Karena saya sudah tua, tak bisa berlayar lagi maka lahan tersebut kami kelola sendiri,” katanya.
Anas memang tak lagi gesit. Badannya tambun. Berkaca mata minus, Senin itu ia mengenakan topi bertuliskan Nasional Demokrat. Tak seperti pemilik lahan lain yang irit bicara, Anas orangnya terbuka. “Terserah pemerintah mau diapakan penambangan pasir di sini,” katanya.
Lahan keluarga Anas sudah dikeruk sejak tahun 1973 atau bersamaan dengan pembangunan Batam. Ada pengusaha di kawasan Nagoya, pusat bisnis Batam, yang menawari untuk mengeruk pasir di lahan ayahnya. Dengan iming-iming mendapatkan kompensasi dari setiap pasir yang dikeruk, keluarganya mengizinkannya.
Namun sejak tahun 2005, Anas menambang sendiri lahan milik keluarganya. Ia pernah menggunakan alat berat, kemudian beralih menggunakan mesin penyedot. Modalnya kira-kira Rp20 juta. Modal tersebut untuk membeli dua mesin penyedot dan pipa.
Ia mempekerjakan seorang penjaga mesin dan dua penjaga bak. Selain itu, ia juga mempekerjakan para penyekop. Para penyekop ini jumlahnya tak pasti, tergantung hasil penyedotan pasir di hari itu.
Anas menyedot pasir di lahan empat hektare. Ia mengaku membatasi lahan penambangan pasir itu agar tak merambat ke rumah-rumah di sekitarnya. Dulu, ia pernah mengorbankan satu rumahnya, yang digunakan sebagai tempat tinggal pekerja, untuk dijadikan penambangan pasir.
Dalam sehari, ia bisa menjual lima atau enam truk pasir. Tapi pernah juga tak mendapatkan pasir sama sekali. “Tergantung nasib. Cari pasir sudah susah, mesin kadang cuma nyedot air sama lumpur,” katanya.
Satu truk pasir biasanya dihargai Rp200 ribu hingga Rp250 ribu. Setelah dikurangi ongkos penjaga mesin, penjaga bak dan tukang sekop, Anas biasanya mendapatkan uang Rp30 ribu per lori. “Nambang pasir sekarang tak akan bisa kaya,” katanya.
Anas mengaku sudah lama mendengar rencana Pemko Batam hendak menutup penambangan pasir di Batam. Namun rencana itu tak pernah terealisasi. Tahun ini rencana itu kini digembor-gemborkan lagi. “Mau ditutup atau tidak, terserah. Kan mereka yang punya kuasa. Kalau mau ditutup, harus ditutup semua. Jangan pilih kasih,” katanya.
Namun sebelum ditutup, kata Anas, Pemko Batam harus memikirkan nasib ribuan orang yang hidupnya bergantung pada penambangan pasir di Batam. “Tukang sekop saja jumlahnya ribuan,” tuturnya.
Tanpa ada solusi, kata Anas, penambangan pasir di Nongsa tak akan pernah berhenti. Pasalnya, hampir semua kebutuhan pasir dipasok dari tempat itu. “Dulu pernah berhenti selama dua bulan, tapi malah para kontraktor dan developer yang pusing tak dapat pasir,” ujarnya.
Jika Pemko Batam mendatangkan pasir dari luar Batam, kata Anas, juga harus dipikirkan pelaku usaha seperti dirinya. “Saya pengusaha kecil, jual pasir karena punya lahan. Kalau mendatangkan pasir dari luar, mana punya modal,” ujarnya. *** (bersambung)