Rida Award 2009

"Laskar Pelangi" Ala Pulau Galang

Jurnalistik Kamis, 03 Desember 2009

* Perjuangan Anak-anak Pulau Mengikuti Ujian Nasional SMP
 
Sepuluh siswa dan empat belas siswi SMPN 22 Tanjung Kertam, Kecamatan Galang, bersama 23 temannya lulus Ujian Nasional (UN), yang diumumkan, Senin (22/6) kemarin. Kelulusan anak pulau itu punya arti khusus, sebab mereka harus ”berjuang” untuk itu. Bagaimana kisahnya?

Oleh Wahyu Hidayat

Di ruang 7 x 5,5 meter itu,  sepuluh siswa kelas III SMPN 22 Tanjung Kertam, Galang, menginap empat malam pada April 2009. Anak-anak ini berasal dari pulau-pulau kecil di Batam. Mereka tak perduli lagi dengan  nyamuk dan agas yang mengerumuni tubuh mereka di perpustakaan itu. Hanya ada satu tekad, harus lulus Ujian Nasional (UN).

Jarum jam malam itu menunjukkan pukul 20.00 WIB. Dari jauh samar-samar tampak bangunan membentuk L membelakangi jalan utama yang membelah Galang, Batam. Lampu neon yang menyala di dalam dan sudut kanan bangunan hanya mampu menerangi dalam radius tiga meter. Cahaya pun terbentur tembok bangunan.

Itulah SMPN 22 Tanjung Kertam, Galang, Batam. Jarak tempuh dari pusat kota sekitar satu jam. Untuk sampai kesana ada  jalan paving blok tiga meter. Sekitar 20 meter dari  sekolah itu, ada sebuah warung di pingggir jalan utama. Di warung ini, malam itu masih terlihat ramai. Sesekali, kendaraan roda dua dan empat yang lalu lalang dari Kota Batam ke Rempang Galang hingga Galang Baru, mampir ke warung ini membeli air mineral atau sekadar membeli rokok.

Beberapa pria menikmati mie rebus. Malam itu udara terasa panas.  ”Ada kok anak-anak itu di sana di ruang perpustakaanya,” ujar pemilik warung di pinggir jalan, sambil menunjuk ke bangunan sekolah yang paling pinggir.

Tak sulit untuk mencapai ruang perpustakaan itu. Dari pintu gerbang sekolah berpagar kawat berduri itu, belok kanan, tepat di sebelah kanan pintu masuk sekolah ini. Sepuluh siswa sedang belajar. Ada yang bersandar di rak buku, ada juga yang baring sambil membaca.

Satu dari tempat buku itu hampir merapat di sisi kanan pojok ruangan. Dua rak lainnya sejajar di sisi kiri. Ruang tengah dibiarkan lapang. Hanya ada dua kasur plus satu tikar terhampar di sana.Kasurnya  tanpa seprei. Tebalnya tak sampai sejengkal orang dewasa. Luasnya pun hanya muat untuk satu orang. Tikarnya bisa untuk dua orang. Badan mereka langsung bersentuhan dengan lantai semen yang hanya dialasi tikar plastik warna coklat muda.

Di situlah sepuluh siswa itu merebahkan diri. Mereka adalah, Ridwan (17), Ruslan (16), Firman (16), Jufri (17), La Abdu (15), Boy Haryanto (16), Muhammad Saleh (15), Suryadi (16), Robi (16), Hafis (16).

Tiga alas tidur dipakai ramai-ramai. Tak ada yang seluruh tubuhnya utuh di atas alas. Sebagian hanya bisa menumpangkan kepala, bahkan ada yang hanya kebagian tepi tikar.
Untuk menjinakkan dingin, mereka menggunakan sarung. Walau ada juga yang suka melepas baju. Ada yang pakai celana pendek, dan baju singlet. ”Kalau malam kami buka jendelanya supaya angin masuk. Kalau tidak, panasnya minta ampun,.” ujar Ruslan saat ditemui Batam Pos malam itu.

Ruang baca itu punya banyak jendela yang dibiarkan terbuka. Di dinding banyak poster bergambar pahlawan. Di salah satu dinding menggantung papan tulis tripleks putih. Di atasnya gambar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Sebagian ruang perpustakaan juga dipakai untuk laboratorium. Letaknya di sebelah kanan dari pintu masuk. Ada dinding tembok yang membagi dua ruangan ini. Di laboratorium itu ada replika tengkorak manusia yang bagian-bagiannya tulang jemarinya sudah lepas. Juga ada beberapa cawan petri dan gelas ukur di dua lemari yang sudah reot di makan rayap itu.

Ruang laboratorium itu gelap gulita. Lampu neon 10 watt sudah tak bisa menyala lagi. Di sebelah laboratorium, juga ada ruangan sempit yang difungsikan sebagai ruang Unit Kesehatan Siswa (UKS). Luasnya hanya sekitar 2 x 2 meter. Lebih mirip bilik dengan sekat dinding tripleks.

Di ruang UKS itu ada ranjang besi tanpa kasur. Hanya ada alas papan, itupun tersusun jarang-jarang.  Di atas tempat tidur itulah para siswa menumpuk tasnya yang berisi pakaian. Ada lampu, tapi tak menyala. Perpustakaan, laboratorium, UKS, menyatu dalam satu ruangan.
***

Tiba-tiba salah seorang dari mereka iseng buang angin. Teman-temannya yang lainnya ada yang menyumpahi, ada juga yang berlari ke jendela sambil menutup hidung. ”Iseng banget sih,” kata Ridwan, sambil tertawa.

”Beginilah, jelang tidur kami sering becanda. Tapi kalau lagi belajar, harus serius,” ujar Ruslan, menimpali. Teman-temannya membenarkan dengan anggukan.

Selama menginap di perpustakaan, mereka hanya membawa bekal seadanya. Mereka membawa makanan ringan, bebeberapa bungkus mi instan, sedikit uang, dan tentunya beberapa potong pakaian, terutama seragam sekolah.

Hari-hari tak ubahnya seperti berkemah. Tapi, mereka sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini.  Para siswa ini kerap masak sendiri. Mereka memanfaatkan dapur sekolah yang letaknya hanya beberapa meter dari perpustakaan. Di sana tersedia kompor serta peralatan masak memasak lainnya. Ada piring dan sendok.

Pagi hari, para siswa ini menyantap menu nasi goreng campur ikan asin buatan sendiri. Tapi, lebih sering sarapannya dibawakan para guru. Siangnya, beli nasi bungkus di warung yang berjarak sekitar 20 meter di depan sekolah. Malam, mereka membagi tugas memasak, jadilah makanan ala anak-anak pulau.

Beras dibeli  patungan di warung depan sekolah. ”Anak-anak itu biasa beli beras dua kilo. Itu bisa sampai dua hari,” kata Sudirman, pemilik warung, saat ditemui Rabu (29/4) malam.

Urusan lauk tak ada masalah. Teman-teman sekolah mereka sering membawakan ikan segar. Ada juga yang membawa ikan asin hasil tangkapan orangtuanya. Sebelum tidur, para siswa ini kadang mengisi perut lagi dengan  mie. Tiga sampai empat bungkus mie dinikmati bersama. ”Makan sama-sama lebih nikmat,” kata Ridwan.

Mereka datang dari pulau yang berbeda. Ada dari Air Lingka, Rempang Cate, Belongkeng, Pantai Seranggon, Pulau Setokok, Pulau Ngoan, hingga Pulau Pengapit yang paling jauh dari SMP Negeri 22. Namun, semuanya berada di Kecamatan Galang.

Ruslan tinggal di Air Lingka. Dari sana butuh waktu paling tidak satu jam untuk bisa sampai ke sekolah. ”Dari rumah jalan satu kilo dulu untuk sampai ke jalan besar,” katanya.

Jalan besar yang ia maksud adalah jalan poros. Di sanalah, setiap hari, Bus Sekolah Kota Batam menunggu para siswa.

Lain Ruslan lain pula Boy Haryanto, warga Belongkeng. ”Dari rumah saya harus berangkat paling lambat jam lima subuh. Ke jalan besar jalan kaki delapan kilo,” katanya.

Ini sama jauhnya dengan Rempang Cate. Para siswa yang tinggal di sana harus rela menempuh jalan kaki hampir delapan kilo jauhnya untuk sampai ke tempat bus menunggu.

Nasib Ridwan tidak jauh berbeda. Ia juga harus keluar dari rumah pukul lima subuh. Sampai ke jalan poros butuh waktu setengah jam.

Tak jarang para siswa ini harus terlambat masuk sekolah. ”Biasa ditinggal bus sekolah kalau terlambat. Karena dari rumah kami tak ada transpor, seperti ojek,” komentar M Saleh, siswa yang tinggal di Pantai Seranggon.

Jika tertinggal bus sekolah, siswa ini tidak lenyap akal. ”Kami pernah tunggu lori yang lewat di jalan. Kami numpang sampai sekolah,” kata Ruslan.

Mereka tidak peduli apa muatan lori yang membawanya sampai ke sekolah. ”Kadang lori bawa ayam, ada lori pasir, lori es. Yang penting bisa sampai sekolah,” tutur Ruslan, lagi.

Jarum jam pun beranjak pukul 22.00 WIB. Mata anak-anak pulau ini mulai layu. Rasa kantuk merasuk ke tubuh. Satu per satu merebahkan tubuhnya ke kasur tipis. Hanya dalam hitungan menit, beberapa di antara mereka sudah larut dalam tidur. Namun masih ada beberapa siswa yang membuka buku sambil bersandar di rak buku di ruang perpustakaan itu, hingga rasa kantuknya tak tertahankan lagi. Tepat pukul 22.20 WIB, mereka sudah terlelap semua.

Subuh, anak-anak itu sudah berangkat menuju sumur sekitar 300 meter dari sekolah. Untuk sampai ke sana, mereka  melalui semak. Mereka mandi bersama. Pukul enam mereka sudah harus berkemas-kemas. Sebab, pukul delapan mereka sudah harus duduk di kursi ujian.
***

Tak hanya  sepuluh siswa itu yang rela meninggalkan rumah semasa ujian. Ada empat belas siswi lainnya yang sama berjuang. Mereka ini lebih beruntung karena tidak tinggal di perpustakaan.Siswi itu menyewa rumah penduduk sekitar. Jaraknya sekitar 50 meter dari sekolah. Rumah itu berada di tepi laut dan berdiri di atas pelantar.  Ada dua rumah yang disewa. Satu untuk enam orang, satu lagi untuk delapan orang.  Rumah yang disewa itu ukurannya cukup sempit. Sekitar 4 x 5 meter persegi. Hanya ada satu kamar tidur yang ukurannya sekitar 2 x 2,5 meter.

”Kami jarang tidur di kamar karena panas, di luar sinilah, mirip susun dencis (ikan kaleng),” ujar Mulyana, salah satu siswi yang ditemui Batam Pos malam terakhir ujian, sebelum menemui sepuluh rekan mereka yang tidur di perpustakaan.

Dinding rumah itu terbuat dari papan yang permukaanya kasar. Celah-celah papan terlihat jelas, sehingga angin laut dengan leluasa masuk ke dalam rumah. Dari situ juga nyamuk dan agas.

“Terpaksa kami pakai obat nyamuk cair. Habis nyamuk dan agasnya ganas,” ujar  Desi, rekan Mulyana.

Malam itu, mereka juga memanfaatkan waktunya untuk belajar kelompok. Alunan organ tunggal yang sedikit lebih jelas tak mereka hiraukan. ”Kami tak mau gagal, kami harus lulus UN,” ujar mereka kompak.

Para pelajar ini tinggal jauh dari lokasi sekolah. Itulah alasan mengapa mereka memilih tinggal di sekolah selama UN berlangsung.  Biar tidak terlambat ujian.

Empat malam mereka berjuang melawan  keterbatasan. Tapi tak pernah mengeluh. “Mereka mirip dengan kisah Laskar Pelangi,” ujar Anwar, pegawai Tata Usaha SMPN 22. Dia merujuk ke novel laris karya Andrea Hirata yang berkisah tentang semangat sekolah anak-anak Pulau Belitung.
***

Kamis (30/4) pukul 10.00 WIB ujian berakhir. Para siswa berkemas-kemas. Mereka mengumpulkan barang bawaan. Tas di punggung, lalu berjalan kaki ke warung depan sekolah.
Bus Sekolah bantuan Pemerintah Kota Batam dengan nomor polisi BP 7141 C sudah menanti di tepi jalan dekat warung.  Bus warna kuning tua inilah yang saban hari mengantar siswa itu ke tempat tinggal masing-masing. Sudah hampir setahun berlangsung.

Sebelum ada bus tersebut, anak sekolah harus menggunakan jasa angkutan umum. Sekali angkut, bayarnya Rp6.000. Itupun tidak tiap hari ada. Jadinya, para siswa harus menumpang satu dua lori yang kebetulan melintas di jalan. Resikonya, terlambat masuk sekolah.

Bus sekolah ini dikelola Perum Damri. Untuk Kecamatan Galang, pemerintah menyediakan dua unit. Supirnya dua orang, bergantian sebulan sekali.

Siang itu, kebetulan Davrizal yang kebagian tugas. Warga Nongsa ini punya pengalaman sendiri selama mengantar jemput anak-anak sekolah. Jam empat subuh dia sudah harus meninggalkan rumahnya di Nongsa. Ia menjemput bus yang tiap hari diparkir di Batuaji. Selanjutnya, Davrizal menempuh rute melewati Tembesi, menyusur ke Jembatan Barelang hingga akhirnya sampai ke Kecamatan Galang.

Ia singgah beberapa kali untuk mengambil penumpang, siswa dan guru. ”Biasa nunggu juga. Tak datang-datang di atas lima menit, ya ditinggal. Daripada banyak yang terlambat,” kata Davrizal, saat ditemui di sebuah warung depan SMPN 22 Tanjung Kertam, Kamis (30/4) siang.

Davrizal lebih sering nangkring di depan SMPN 22 Tanjung Kertam. Di sana ia banyak mengambil siswa yang akan pulang sekolah. Tak hanya siswa SMP, tapi juga murid SDN 22 Tanjung Kertam, yang berjarak sekitar 20 meter di depan SMPN 22. Selain pelajar, ada juga guru yang menumpangi bus. Bahkan tak jarang ada satu dua orang penumpang umum. “Tak enak kalau mereka dilarang naik,” katanya soal penumpang umum itu.

Ia harus menunggu setelah semua anak-anak sekolah pulang. Kadang ia harus menghabiskan waktu satu jam lamanya. “Rata-rata pukul satu sudah kumpul semua, baru berangkat,” katanya.
Siang itu, sambil menunggu siswa pulang, Batam Pos terlibat perbincangan ringan dengan Davrizal. Satu dua orang warga sekitar ikut nimbrung.

Sementara di atas bus sudah menunggu sebagian siswa. Di sana ada Ruslan dan kawan-kawan. Sambil menunggu penumpang lainnya, mereka punya kesibukan masing-masing. Ada siswa yang bergantungan di pintu mobil sambil berteriak-teriak berlagak seperti kenek.

Sebagian siswi memilih duduk sambil ngobrol di kursi bus. Ada juga dua tiga siswi yang turun dari mobil lalu menendang-nendang bola kecil yang ia temukan di jalan. Terlihat seorang siswi santai di ayunan yang menggantung di sebuah pohon di dekat bus.

Ada juga siswa yang iseng memencet-mencet klakson bus. Tak sabar lagi menunggu bus berangkat. Ini kerap membuat sang supir jengkel. “Woi, siapa itu?” tegur Davrizal setengah berteriak. Tapi, si tukang tekan klakson tak menggubris. Sembunyi-sembunyi, siswa itu kembali membunyikan klakson.  Davrizal  hanya geleng-geleng kepala.

Di atas bus, ada dua siswi SMPN 22 duduk berdekatan. Wajahnya sumringah seakan tak sabar ingin sampai di rumah. Betapa tidak, sudah empat malam ini mereka meninggalkan rumah. Keduanya adalah peserta UN, yang menginap di rumah warga selama ujian berlangsung.

Desi Ratnasari (14) dan Datin Marina (15) nama kedua siswi itu. Di antara peserta UN lainnya, hanya Desi dan Datin, yang ke sekolah harus menggunakan pompong. Mereka tinggal di Tanjung Pengapit, sebuah pulau kecil di Kecamatan Galang. Dari rumahnya, butuh waktu sekitar 2,5 jam perjalanan untuk sampai ke sekolah.

Ditemui di atas bus saat tengah menunggu penumpang lengkap, keduanya mau berbagi cerita.  Mereka mengaku tak pernah terbebani, meski rumah jauh dari sekolah. Yang ada dalam benak hanya satu, yakni bagaimana bisa menggapai cita-cita. Jarak bukanlah halangan. “Saya mau lanjut terus sekolah,” kata Desi, yang bercita-cita jadi dokter ini.

Orangtuanya nelayan. Ia sulung dari tiga saudara. Ke sekolah ia selalu diberi uang saku Rp5.000. Rp2.000 ia sisihkan untuk ongkos pompong pulang pergi. Selebihnya buat jajan di sekolah. Kalau pun ada sisa, ya buat ditabung.

Desi bukannya tak pernah terlambat ke sekolah. Gara-garanya, pompong yang ia tumpangi mogok mesinnya di tengah laut. “Terpaksa menunggu sampai pompongnya bagus lagi,” katanya.
Pengalaman serupa diceritakan Datin. “Kalau tak ada pompong biasa bapak yang antar. Sekalian bapak pergi melaut,” katanya. Rambut Datin keriting. Senyumnya jarang. Ia agak pemalu.

Pengalaman telat ke sekolah juga pernah ia alami. Akibatnya, guru memberikan hukuman. “Terlambat satu jam disuruh cuci WC sekolah,” kata Datin.

Cita-cita Datin menjadi guru. Ini yang terus membakar semangatnya setiap kali berangkat sekolah. Pukul lima subuh, dia sudah harus meninggalkan rumah.
Sudirman, salah seorang warga Tanjung Kertam salut atas semangat para siswa dan siswi hinterland ini. “Walau rumah jauh, mereka tetap mau sekolah,” pujinya.

Para siswa itu adalah anak-anak nelayan yang sama-sama berjuang mengejar mimpi. Ada cita-cita mulia terpatri di benaknya. Ada yang ingin menjadi guru, sebagian bercita-cita jadi tentara, bahkan ada yang bercita-cita menjadi dokter. “Biar kerjanya tidak seperti Bapak,” kata anak-anak nelayan itu.
***

Tak terasa jarum jam sudah menunjuk pukul 13.00 WIB. Yang ditunggu sudah kumpul semua. Bus pun berangkat. Batam Pos mengikuti perjalanan angkutan pelajar itu.

Bus itu bergerak lambat menyusuri siang di Galang. Sepanjang jalan sepi lalu lalang kendaraan. Barisan pepohonan, yang sebagian kering tumbuh di sisi kiri dan kanan jalan. Letaknya di ketinggian. Ada satu dua rumah berdiri di sana.

Dari Tanjung Kertam, bus melewati Tanjung Kelingking, lalu Pantai Melayu Kelurahan Sembulang, selanjutnya bekas pemukiman imigran Vietnam atau lebih dikenal Camp Vietnam Kelurahan Sijantung, Pantai Melur Pulau Galang Baru, hingga sampai ke Kampung Baru.

Satu per satu penumpang turun. Ada murid SD, siswa SMP, dan juga guru sekolah. Bus sempat singgah di SMA 10 Galang mengambil siswa dan murid.

Batam Pos mengikuti perjalanan bus sampai ke Kampung Baru. Di sana bus menurunkan Desi dan Datin. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.45 WIB.

Sampai di Kampung Baru, pandangan mata langsung tertuju ke hamparan laut, tapi sepi aktivitas nelayan. Mungkin mereka sedang istirahat.

Di sebuah beranda, Desi dan Datin menunggu datangnya pompong yang akan menyeberangkan mereka ke Tanjung Pengapit, tempat tinggalnya. Butuh waktu 15 menit ke sana. Bayarnya Rp1.000 sekali menyeberang.

Tak hanya Desi dan Datin, ada lima orang guru juga nongkrong di sana. Sambil menunggu datangnya pompong, mereka mengobrol.

Di sana juga terlihat Ketua RW Tanjung Pengapit, Hamid. Ia tidak lain kakek Desy. Kata dia, di Tanjung Pengapit ada 40 kepala keluarga. Terhitung 10 anak yang sekolah di SMPN 22 Tanjung Kertam. Hanya Desi dan Datin yang sudah duduk di bangku kelas III.

Tak terasa, setelah lebih dari setengah jam menunggu, pompong pun datang. Pompong sewaan itu merapat ke dekat tiang pelantar rumah warga. Penumpang menyambut. Hamid, Desy, Datin, dan para guru naik ke atas.

Pompong pun berangkat. Sambil tersenyum, penumpangnya melambaikan tangan kepada Batam Pos yang menyaksikan pompong menjauh. Perahu kecil itu menyusuri laut menuju Tanjung Pengapit. Desi dan Datin duduk tenang. Ada setitik asa yang mereka bawa, mempersembahkan yang terbaik bagi sekolahnya, SMPN 22 Tanjung Kertam.
***

SMPN 22 Tanjung Kertam dibangun April 2003.  Sekolah ini punya enam ruang kelas. Inilah SMP pertama di Pulau Galang. Sekolah ini sudah empat kali menamatkan siswanya. SMPN ini mencetak prestasi yang membanggakan. Dari lulusan pertama hingga 2008 lalu, siswanya selalu lulus 100 persen. Tahun ini dari 50 siswa, hanya tiga yang tak lulus.  “Angkatan kedua, ada satu siswa yang tak lulus,” kata Kepala Sekolah SMPN 22 Trisilo.

Ada 14 tenaga pendidik di SMPN ini. Delapan guru negeri, empat honor, dan dua pegawai tata usaha. Total siswa 202 orang. Fasilitas sekolah terbilang kurang. Ada laboratorium, tapi dengan perlengkapan seadanya, menyatu dengan perpustakaan. Buku-buku koleksi juga sedikit. Dari tiga rak yang tersedia, banyak tempat yang kosong.

Sekolah tidak menyediakan asrama bagi guru dan siswa. “Guru-guru semua tinggal di Batam,” kata Trisilo. Tahun ini, ada 40 peserta UN. Tradisi menginap di perpustakaan ternyata sudah berlangsung sejak angkatan pertama.

Hari ketiga pelaksanaan UN, Wali Kota Batam Ahmad Dahlan, Kepala Dinas Pendidikan Muslim Bidin dan rombongan lainnya memantau pelaksanaan ujian di sekolah hinterland itu. Ahmad Dahlan mengapresiasi keberhasilan sekolah hinterland ini. “Ini relatif bagus,” katanya.

Dahlan berencana akan membangun asrama bagi para guru tersebut. Khusus SMP, pemerintah berancang-ancang mendirikan asrama guru di Tanjung Kertam dan Pulau Kasu.

Pemerintah selalu memberi perhatian bagi sekolah di wilayah pulau. Salah satu yang sudah dilakukan pemerintah yakni memberikan beasiswa kepada 15 anak-anak hinterland untuk melanjutkan ke perguruan tinggi di Jakarta. “Dibiayai Pemko. Ada pendidikan kelautan dan perikananan. Tak boleh tradisional terus harus diberikan teknologi,” ujarnya.

Inspektorat Jenderal Depdiknas juga sempat meninjau pelaksanaan UN di SMPN 22 Tanjung Kertam. Tim dari Jakarta itu tak menemukan kerawanan terkait penyelenggaraan ujian akhir di sekolah hinterland itu. Ada beberapa butir yang menjadi perhatian utusan Depdiknas ini.

”Misalnya masalah soal, itu aman. Jarak duduk antara siswa juga jauh,” komentar Fajar Nurjaya, salah satu anggota tim.

Fajar tak sendiri. Ia ditemani Bambang Suryanto, anggota Inspektorat Jenderal Depdiknas lainnya. Sejumlah sekolah yang didatangi, kata Fajar, dipilih secara acak. Ia memuji sistem pelaksanaan ujian di beberapa sekolah di Batam, seperti di SMPN 22 Tanjung Kertam. Kurang lebih sama dengan tahun lalu. ’’Berjalan tertib, sudah sesuai posnya,” pujinya. ***

Wahyu Hidayat adalah wartawan Batam Pos. Tulisan ini masuk nominator Rida Award III 2009 yang dimuat di Batam Pos pada  3 Juni 2009.