Kamis, 19 September 2024
Dua puluh tahun lalu, ketika Yayasan Puisi Nusantara yang dipimpin penyair Ibrahim Satta (alm) mengundang saya untuk melakukan pembacaan puisi tunggal di Pekanbaru, saya coba menghimpun sejumlah puisi karya saya yang akan saya bacakan kedalam sebuah buku kecil yang saya beri judul Ode X (yang saya ambil dari salah satu judul puisi dan pernah dimuat majalah sastra Horison) dan sejak itulah ada dorongan kuat untuk menerbitkan sebuah kumpulan puisi. Tapi sampai bertahun-tahun kemudian obsesi tak pernah terwujud. Ternyata kerja sebagai wartawan tidak memberi cukup waktu kepada saya untuk melakukan kontemplasi dan menulis sajak-sajak baru yang lebih baik. Ada beberapa sajak baru yang sempat ditulis di tengah rasa sepi, rasa jenuh terhadap kerja dan berbagai masalah hidup, tetapi kebanyakan masih dalam bentuk konsep, masih dalam coretan dan sketsa-sketsa.
Dorongan untuk menerbitkan sebuah kumpulan puisi, memang terus muncul dalam berbagai kesempatan, terlebih kalau saya kebetulan dapat menghadiri acara-acara pertemuan sastra, baik di Malaysia dan Singapura misalnya. Atau ada kumpulan puisi baru yang terbit yang sempat diperoleh di toko-toko buku (kebanyakan di Bandara), tetapi rutinitas kerja kembali membunuh intuisi kepenyairan saya.
Tapi kumpulan puisi Mas Goen (begitu saya selalu memanggil Goenawan Muhammad) yang dihimpun Ayu Utami dan Sitok Sringenge dalam Goenawan Muhammad, Sajak-sajak Lengkap 1961-2001 (Metafor Publishing,2001), membangkitkan kembali obsesi yang nyaris terkubur itu. ‘Wi, aku mau menerbitkan kumpulan puisiku, dan kaulah yang bantu merancang wajah dan artistiknya’, kata saya kepada Armawi KH, ketika kami makan siang di kantin Mak Nyak (sebuah kantin di belakang kompleks perkantoran Riau Pos Grup). Armawi KH salah seorang teman baik saya yang juga seorang seniman (penyair dan perupa) dan menjabat Manajer Percetakan. ‘Wah, kejutan itu. Apa serius’, Armawi KH menggugat, karena tahu mimpi saya punya kumpulan puisi itu sudah terlontar, tapi selalu hanyut lagi. “Sekali ini serius. Sejumlah sajak sudah saya siapkan sejak tiga bulan lalu dan aku kepingin punya kado khusus pada usia 59”, saya meyakinkan.
Kumpulan sajak Mas Goen memang telah membangkitkan kembali inspirasi saya. Saya telah kembali menyeleksi sajak-sajak yang tersimpang, menghubungi beberapa teman yang menyimpang arsip sajak-sajak lama saya dan saya menyelesaikan beberapa sajak yang terbengkalai. Mas Goen memang selalu menjadi sumber inspirasi saya.
Saya menyenangi sajak-sajaknya sejak awal. Kwatrin-kwatrinnya sangat mempengaruhi saya. Juga sajak-sajak sublimnya. Karena itu, selalu sehabis membaca sajak-sajaknya saya mendapat roh baru untuk menulis puisi atau menyelesaikan sajak-sajak yang terbengkalai.
Ternyata tak mudah saya menghimpun kembali sajak-sajak yang pernah ditulis dan diterbitkan untuk sebuah kumpulan. Meskipun cukup banyak dalam rentang waktu hampir separuh usia saya, tetapi tak cukup banyak yang cukup baik untuk diterbitkan kembali. Bahkan terhadap sajak yang sudah pernah ditulis ulang, disempurnakan atau diaktualisasikan (ada sejumlah sajak yang sama, tiga kali direvisi). Sajak-sajak yang akhirnya diputuskan untuk diterbitkan pun tak terlepas dari kekurangan-kekurangan itu.
Saya menyadari rentang waktu yang terlalu lama dalam proses kreativitas yang panjang, menyebabkan munculnya inkonsistensi dalam pengucapan, dalam sikap dan pandangan yang mewarnai sajak-sajak ini. Alur waktu dan tempaan hidup ternyata menjadi urat nadi, di dalam warna darah yang mengalir tak seluruh berwarna satu. Darah kehidupan, darah masa lampau dan darah mimpi-mimpi serta rasa gelisah yang tak pernah putus.
Semula, beberapa tahun lalu, kumpulan ini akan diberi Ombak Sekanak , salah satu judul puisi dalam kumpulan ini, sebagai simbol dalam perjalanan hidup, pengembaraan dan percikan-percikan mimpi. Tetapi kemudian saya memutuskan mengambil nama itu untuk buku otobiografi saya, yang mungkin lebih pas. Pilihan selanjutnya seperti yang sudah sempat diceritakan pada teman-teman adalah Kemejan (juga dari salah satu puisi dalam kumpulan puisi ini), sebagai lambang dari perjalanan nasib dan pergulatan hidup, namun terasa sangat pasrah, dan bertentangan dengan filosofi hidup saya yang sejak lama memahami arti sikap optimisme dalam hidup. Memahami arti kerja keras dan kesungguhan dalam membangun jati diri. Membangkitkan etos untuk mengatakan,”Menjadi apa dan menjadi apa dan menjadi siapa aku ini?”
Lalu saya memilih Tempuling (juga judul salah sajak dalam kumpulan ini), karena pada nama itu, pada kilatan dan tajamnya mata tempuling itu, tersimpan kekuatan makna kehidupan. Ada semacam energi dari dalam diri yang bangkit dan memancang visinya. Di tangan hati yang arif, di lengan pikiran yang jernih dan di sukma yang tawadduk, sebatang tempuling adalah semangat, adalah tekad, adalah roh akan menentukan ke mana hidup ini akan pergi, memberi makna, dan meninggalkan jejak. Tempuling adalah sebuah pilihan sikap.
Akhirnya, jika kumpulan ini terwujud, tentu saja ini bukan hasil kerja saya sendiri. Karena ini saya dengan tulus ingin berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terwujudnya kumpulan ini, seperti saudara Husnu Abadi yang telah berkenan meminjamkan kumpulan puisi saya Ode X yang tersimpan dengan baik dalam dokumentasinya. Kepada Hasan Junus yang membuat catatan pengantar kumpulan ini, seorang teman yang sangat banyak memberi wawasan kebudayaan kepada saya dan membantu saya menjelajahi dunia sastra melalui keluasan pengetahuan dan kemampuannya.
Dan secara khusus tentu saja kepada saudara Armawi KH yang telah membuat kumpulan ini begitu indah, melalui sentuhan artistiknya, sehingga sentuhan yang ujud dalam berbagai ilustrasi itu telah menjadi puisi-puisi lain, yang mengisi kumpulan ini.
Saya merasakan sangat dan sungguh, semua kebersamaan itu, sebagai sebuah persahabatan yang indah dan selalu dikenang.***
Pekanbaru, 15 April 2002