Kamis, 12 September 2024
PEKANBARU (RP)- Hari kelima kegiatan para peserta Korea-ASEAN Poets Literature Festival (KAPLF) II tahun 2011 di Bumi Melayu, Riau, Jumat (28/10), seluruh kegiatan dipusatkan di Kota Bertuah Pekanbaru.
Di sini, kalangan penyair mengikuti semua kegiatan yang sudah dijadwalkan panitia. Mulai di Perpustakaan Daerah Riau Soeman Hs, Pasar Bawah hingga Museum Sang Nila Utama (SNU) dan beberapa peninggalan sejarah lainnya.
Di Perpustakaan Soeman Hs, peserta membacakan esainya secara bergiliran dan saling berdiskusi. Tampil membawakan esai di sesi pertama, masing-masing Aan Mansyur (Indonesia), Lim Yun (Korea), Khan Puong (Vietnam), Hasyuda Abadi (Malaysia), Marne Kilates (Filipina) dan Ficar W Eda (Indonesia).
Di sesi kedua, tampil Park Hyung Jun (Korea), Afrion (Indonesia), Kim Tae Yung (Korea), Marhalim Zaini (Indonesia), Maung Day (Burma) dan Michael Coroza (Filipina).
Sesi ketiga menampilkan Dimas Arika Miharja (Indonesia), Kim Young Chan (Korea), Muhammad Badri (Indonesia), Zaim Rifqi (Indonesia), An Heon Mi (Korea), dan Nguyen Huang Doc (Vietnam). Beberapa pertanyaan pun muncul. Misalnya soal defenisi puisi hingga ideologi puisi yang ditanggapi antusias oleh para peserta.
Bagi Hasyuda Abadi dari Malaysia, definisi puisi merupakan sebuah proses penciptaan yang menjadikan puisi-puisi yang dilahirkannya terus hidup.
Pandangan-pandangan tentang penulisan esai, puisi dan ideologi dikemukakan masing-masing peserta.
Aan Mansyur menilai, sesuatu yang disebut ideologi adalah sesuatu yang menggerakkan seorang dan selalu akan muncul ketika penyair itu membacakan puisinya.
Ficar W Eda berpendapat, pandangan seorang penyair tetap akan beda antara satu dengan yang lain. Ideologi seorang penyair akan lebih banyak dipengaruhi lingkungan sekitarnya.
Menurut Marhalim Zaini, puisi dan esainya banyak mengangkat tentang kondisi kampung halamannya, kampung Melayu. Puisi memang tak selalu bisa dipahami pendengarnya.
‘’Misalnya, penyair Korea yang menyampaikan puisi dan esai dengan bahasa negara asalnya. Saya tak mengerti apa yang dikatakan kawan-kawan Korea dengan bahasanya. Tapi saya bisa menikmati lewat penyampaiannya,’’ sebut Marhalim.
Kalangan penyair Korea, dinilai Machael Coroza (Filipina) lebih lembut dibanding para penyair Indonesia yang dalam penyampaiannya lebih tegas dan penuh ekspresi.
Sementara bagi Dimas Arika Miharja, puisi adalah sebuah kesaksian personal bagi seorang penyair. Perpustakaan Soeman Hs, menurut Direktur KAPLF II Rida K Liamsi, dinilai lebih tepat untuk pembacaan esai para peserta.
‘’Peserta saling berdiskusi di sini, sehingga memunculkan kekayaan akan seni sastra,’’ ujarnya. Dari Soeman Hs, para peserta dijamu makan siang di gedung 9 lantai Pemprov Riau.
Panitia juga membawa peserta mengunjungi Pasar Bawah, salah satu pasar tradisional yang juga ikon Pekanbaru.
Sejumlah barang kerajinan khas Riau mulai dari gantungan kunci, CD lagu Melayu, songket dan batik Riau paling banyak diminati peserta sebagai cenderamata.
Setelah itu, panitia membawa para peserta mengunjungi Museum Sang Nila Utama Pekanbaru.(dac)