Berkunjung ke Muara Takus, Makan Bajambau

Budaya Jumat, 28 Oktober 2011
Berkunjung ke Muara Takus, Makan Bajambau

BANGKINANG (RP)- Para peserta pertemuan penyair Korea-ASEAN, Korean-ASEAN Poets Literature Festival (KAPLF), Kamis (27/10) berkesempatan mengunjungi Candi Muara Takus di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar.

Dengan menggunakan tiga bus, seluruh rombongan tiba sekitar pukul 10.30 WIB. Kedatangan peserta yang didampingi Direktur KAPLF II, H Rida K Liamsi, disambut Wakil Bupati Kampar, Teguh Sahono SP bersama Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Kampar, Syamsul Bahri MSi dengan musik kompang.

Mereka langsung ke balai-balai yang sudah disiapkan persis di depan Candi Muara Takus. Sehingga selain berpuisi, para penyair juga bisa menikmati Candi Muara Takus.

Menurut Direktur KAPLF II H Rida K Liamsi, Candi Muara Takus merupakan salah satu candi tertua di Sumatera. Keberadaannya jadi pusat perkembangan agama Buddha di Tanah Melayu.

Bahkan sampai kini masih jadi perdebatan, apakah Candi Muara Takus ini jadi pusat kerajaan Sriwijaya masa lalu, ataukah yang berada di Palembang dan Thailand. Candi Muara Takus adalah satu kebudayaan tua di Negeri Melayu. 

Rida menyampaikan, peserta yang ikut ada sekitar 50. Kedatangan ke sini, karena ingin menunjukkan keberadaan Candi Muara Takus sebagai salah satu ikon kebudayaan Melayu di Riau.

Wakil Bupati Kampar, Teguh Sahono menyampaikan penghargaan terhadap penunjukan Kampar sebagai salah satu tempat kunjungan peserta. Ia berharap, itu akan jadi ajang promosi Riau dan Kabupaten Kampar khususnya tentang keberadaan Candi Muara Takus.

Mengacu pada sejarah, Kampar sudah dikenal semenjak zaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit sebagaimana yang terdapat dalam buku Kertagama.

Dalam masyarakat Melayu Kampar, sudah ada pemahaman yang sama tentang asal-usul kata Kampar, yaitu dari kata ‘’Ta-Ampau’’ atau hampar yaitu suatu wilayah yang luas membentang.

Kampar pada masa pra sejarah dan masa kuno ditemukan adanya beberapa kebudayaan batu besar berupa meja panjang dari dolmen, tugu peringatan (menhir), tangga dari batu dan prasasti-prasasti paling tua ditemukan di pinggir sungai tepatnya di Desa Batu Bersurat.

Nama ini diambil dari kata batu bertulis yang diperkirakan ditulis pada zaman Kerajaan Sriwijaya di Muara Takus yang ditulis dengan huruf-huruf Pallawa berukuran 2x3 meter. Prasasti ini merupakan salah satu gerbang masuk ke ibu kota Sriwijaya di Muara Takus.

Kawasan Candi Muara Takus yang dibatasi tanggul kuno sekeliling sepanjang 4.000 meter atau 104 hektare, memiliki empat bangunan candi yang telah direkonstruksi sejak 1970-an.

Kompleks candi terdiri dari candi mahligai yang menjulang tinggi berbentuk pagoda, candi tua yang megah dan besar, candi bungsu yang terdiri dari dua komponen bangunan batu bata dan batu pasir, serta candi palangka yang kecil mungil.

Sementara di halaman depan masih tersimpan beberapa struktur bangunan yang terpendam di dalam tanah dalam bentuk gundukan tanah. Menurut para ahli purbakala, stupa ini dibangun sekitar abad 4-9 Masehi.

Fungsi stupa sebagai bangunan (suer) dasar kanci bagi penganut Buddha. Interpretasi itu dari pendapat It-Sing, pengembara Cina yang singgah di San Fot Si atau Sriwijaya untuk belajar bahasa Sansekerta sebelum ke India menemui 1.000 bhiksu dan bhiksuni di Muara Takus.

Muara Takus merupakan asal tempat penyebaran Buddha ke seluruh dunia setelah tempat asal ajaran tersebut (India), mengalami perpecahan dan kemunduran. Muara Takus dipimpin seorang guru besar bernama Salempa Svama Dvipa dianggap sebagai pemersatu Buddha di seluruh dunia.

Ajarannya ini diteruskan Divamkara Shrijnana yang belajar Buddha di Muara Takus selama 12 tahun yang kemudian menyebarkan Buddha ke Tibet, Cina dan Birma. It-Sing mengatakan, lanjut Teguh Sahono, untuk belajar bahasa Sansekerta dimulai dulu di Sriwijaya yang berpusat di Muara Takus.

Wilayah-wilayah kebudayaan lebih mudah memperkuat persatuan dan kesatuan dibanding wilayah politik. Karena itu, dia menyampaikan apresiasi pada H Rida K Liamsi yang sudah membawa para peserta ke Candi Muara Takus.

Seniman biasanya tak masuk dalam aliran, tapi seni untuk seni. Ini akan jadi wadah penghubung persatuan antara negara-negara ASEAN dan Korea.

Para tamu pun dijamu dengan suguhan makan siang di tengah suasana yang alami di kawasan Candi Muara Takus dengan cara bajambau, suguhan makan khas Kampar. Tampak semua peserta menikmati dengan penuh keakraban.

Di halaman Candi Muara Takus, beberapa penyair dari negara peserta seperti Jefry Al Malay (Riau) membacakan puisinya dengan judul ‘’Kayuh Sampan’’.

Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri membacakan puisi karya Chairil Anwar. Juga Maung Day (Burma), Lim Yun (Kore)a, Isbedi Siawan Zs (Indonesia), Khan Phuong (Vietnam), An Heon Mi (Korea), Raudal Tanjung Banua (Indonesia), Joo Sue Jaa (Korea), Kim Young Chan (Korea) dan Machzumi Dawood (Indonesia).

Di dalam perjalanan menuju Pekanbaru, para peserta sempat berhenti di waduk Koto Panjang. Selain jadi sumber pembangkit PLTA, juga dimanfaatkan masyarakat setempat sebagai tempat budidaya ikan patin dan jenis ikan sungai lainnya.

Aan Mansyur peserta dari Makassar mengaku kalau dia beruntung sampai ke Riau. ‘’Memang sudah lama saya mau ke Pekanbaru. Dan sekarang akhirnya kesampaian juga,’’ ujarnya.

Dia juga baru pertama kali ke Candi Muara Takus. Menurut Aan, dia ingin berjalan-jalan di Riau. Termasuk ke Pulau Penyengat, negeri kelahiran Raja Ali Haji, pengarang besar Riau yang ternama. ‘’Tapi Candi Muara Takus tak kalah menariknya. Dan apa yang saya alami hari ini sangat berkesan,’’ ujarnya.

Fikar W Eda, asal Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pun merasa takjub dengan keberadaan Candi Muara Takus. ‘’Umurnya sudah berabad-abad, karena dibangun pada abad 4 Masehi,’’ sebutnya.

Candi Muara Takus adalah bagian dari kebudayaan Melayu dan sebuah mahakarya tinggi yang sampai sekarang bisa dinikmati masyarakat Riau dan wisatawan.

Mengapa tidak, kata Fikar, untuk membangun candi sebesar itu, tentu perlu teknologi yang tinggi di masanya. Karena bisa bertahan hingga ratusan tahun. ‘’Dan bagi saya yang baru pertama kali ke Riau, ini adalah hal yang luar biasa,’’ tuturnya.

Ajang Promosi Kebudayaan
Wakil Bupati Kampar, H Teguh Sahono pada kesempatan yang sama menyampaikan, Pemkab Kampar sangat menyambut baik dan memberi apresiasi pada Yayasan Sagang yang turut mempromosikan Candi Muara Takus sebagai salah satu tujuan wisata di Riau dengan menghelat Festival Penyair Korea-ASEAN di sana.                 

Teguh berharap, pelaksanaan acara dapat saling memberi berbagai informasi tentang budaya khususnya Melayu bagi sesama penyair. Juga dapat mempererat tali persahabatan baik sesama penyair juga antar negara-negara ASEAN.

‘’Acara ini tentu sekaligus ajang promosi kebudayaan khususnya budaya Melayu kepada negara-negara ASEAN dan Korea,’’ ujarnya. 

Wabup mengimbau para budayawan dan para penyair di Tanah Air khususnya Riau dapat terus meningkatkan produktivitasnya, berkarya, dan menciptakan serta memasarkan produk unggulnya ke berbagai belahan negara ASEAN.

Dia memandang acara ini sangat positif dalam membentuk karakter dan budaya bangsa yang lebih baik dalam artian kebersamaan. Khususnya dalam mewujudkan visi Riau 2020, yakni sebagai pusat kebudayaan Melayu.

Idrus Tintin Jadi Tempat Spesial
Gedung Anjung Seni Idrus Tintin di area Purna MTQ Pekanbaru, Kamis (27/10), jadi tempat yang spesial bagi seluruh penyair peserta KAPLF II 2011. Tidak saja kalangan penyair yang berpuisi, para steering committee (SC) dan organizing committee (OC) pun ikut ambil bagian.

Menurut Direktur KAPLF II, H Rida K Liamsi, malam itu adalah malam yang spesial. Pasalnya, seluruh penyair tampil menunjukkan kreasinya. Selain itu juga ditampilkan ‘’Opera Bulang Cahaya.’’

Kendati ada pertunjukan opera, apresiasi perpuisian tetap jadi tujuan kegiatan di Anjung Seni Idrus Tintin. Rida menyampaikan apreasiasinya atas antusiasme masyarakat Pekanbaru yang berkunjung ke area Purna MTQ serta langsung ikut menyaksikan jalannya pembacaan puisi serta kesenian Melayu.

Pemilihan Anjung Seni Idrus Tintin juga dimaksudkan agar masyarakat bisa menyaksikannya langsung. Menurutnya, seni yang baik adalah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.

Rida juga tampil membacakan puisinya yang sudah ditulis dalam buku Becoming After Seoul. Sebuah puisi yang berisikan kisah dari Korea yang ditulisnya ketika sepulang dari Seoul tahun 2010.

 ‘’Ini adalah sebuah catatan story sebuah perjalanan. Cerita-cerita dari Korea,’’ ungkapnya. Diiringi gesekan biola dari Bandar Serai Orkestra, Rida sesekali duduk.

Selanjutnya, pembacaan puisi dari Marsli No asal Malaysia yang mengangkat tema dunia hiburan dan periklanan. Puisi yang dibacakannya sebagai bentuk kritikan dari seorang penyair terhadap apa yang ditampilkan di media massa saat ini yang telah jadi sebuah fantasi.

Kemudian berlanjut tampil Fakhrunnas MA Jabbar dari Riau dengan judul ‘’Negeri Abu-abu’’. Puisinya ini diinspirasi dari letusan Gunung Merapi di Jogja yang membuat semuanya jadi abu-abu.

Lama tak hadir di belantara kepenyairan Riau dan Indonesia, kali ini Taufik Ikram Jamil ikut tampil. Di hadapan para rekan seprofesinya dari negara Korea-ASEAN, dia membacakan sebuah puisi berjudul ‘’Menyesallah Aku’’.

 Taufik banyak menyebut nama-nama para penyair senior di Riau dan Indonesia seperti Sutardji, Ali, Hamzah. Tapi dia bukan apa-apa.

Selanjutnya, Husnu Abadi dari Indonesia yang mengangkat judul puisi ‘’Tadjmahal’’. Jawawi Bin Haji Ahmad dari Brunei Darussalam, Murparsaulian dari Riau dengan judul ‘’Risaumu Diigauku’’.

Saukani Al Karim dari Riau dengan judul ‘’Hanya Padamu Aku Berkitab.’’ Kazzaini Ks dari Riau dengan puisi ‘’Harap’’ dan ‘’Aku Pun’’.

Yoserizal Zen dari Riau dengan judul ‘’Menziarahi Kuburnya Sendiri’’. Hang Kafrawi dari Riau dengan judul ‘’Menolong Hangtuah’’. Rusli Marzukisariah dari Sumatera Barat serta Sutardji Calzoum Bachri, Presiden Penyair Indonesia yang terus mengundang decak kagum peserta dan masyarakat hadir, yang tampil dengan penuh semangat.

Penampilan para penyair peserta KAPLF serta panitia festival diselingi penampilan ‘’Opera Bulang Cahaya: Aria-aria’’, sebuah karya novel Rida K Liamsi yang dibawakan Bandar Serai Orkestra. Sebagai libretto adalah seniman peraih Anugerah Sagang 2011 Marhalim Zaini dengan komposer Zuarman Ahmad.

Penampilan pertama mengangkat judul ‘’Salam pada Kisah’’ babak XIII adegan I dari Bulang Cahaya dengan penyanyi Risky Al Farisi dan Rica Olivia serta ‘’Negeri Cinta’’ babak II adegan I didukung Juspebgo, Nadya dan Rica Olivia, dengan penyanyi Risky Al Farisi.(dac/why)