Menggulang Kejayaan Melayu di Candi Muara Takus

Budaya Selasa, 27 September 2011
Menggulang Kejayaan Melayu di Candi Muara Takus
Candi Muara Takus

PEKANBARU (RP) - Candi Muara Takus yang berada di Kabupaten Kampar, salah satu ikon kebudayaan Melayu Riau dijadikan tempat temu penyair Asean-Korea Selatan Poets Literature Festival (KAPLF) 2011. Para penyair menuangkan luapan hati dalam membacakan puisi serta essai-nya di salah satu candi tertua di Indonesia tersebut.

Acara di sini dijadwalkan panitia berlangsung, Kamis (27/9) sejak pagi sampai petang. Peserta diberangkatkan menggunakan bus menuju ke sana dari Pekanbaru. Pemilihan tempat ini, menurut penaggung jawabnya Husnu Abadi SH M Hum, merupakan salah satu titik kejayaan Melayu masa lalu di Riau. Candi Muara Takus merupakan pusat peradaban di Sumatera dan Maritim di Riau. Dari sini tersirat makna yang terkandung di dalamnya. Sumatera dan kebudayaan Melayu tak bisa dilepaskan dari masa lalunya.

‘’Melayu dan Islam itu bergandengan dengan kebudayaan lainnya sehingga jadi suatu peradaban,’’ kata Husnu Senin (26/9) di Pekanbaru.

Di sini, sebut budayawan Riau ini, akan memberikan kesan pengetahuan dan mengingatkan pada peserta pada kebudayaan pedalaman. Di mana waktu itu Riau jaya akan Maritimnya yang dikenal sampai sejagat raya menjadi sinar penerang. Sekilas performance candi ini berada di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto. Jaraknya kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru. Jarak antara kompleks candi ini dengan pusat desa Muara Takus sekitar 2,5 kilometer dan tak jauh dari pinggir Sungai Kampar Kanan.

Di kompleks candi ini dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 meter di luar arealnya. Terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer yang mengelilingi kompleks ini sampai ke pinggir sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat pula bangunan Candi Tua, Candi Bungsu dan Mahligai Stupa serta Palangka. Bahan bangunan candi terdiri dari batu pasir, batu sungai dan batu bata. Menurut sumber tempatan, batu bata untuk bangunan ini dibuat di desa Pongkai, sebuah desa yang terletak di sebelah hilir kompleks candi.

Bekas galian tanah untuk batu bata itu sampai saat ini dianggap sebagai tempat yang sangat dihormati penduduk. Untuk membawa batu bata ke tempat candi, dilakukan secara beranting dari tangan ke tangan. Cerita ini walaupun belum pasti kebenarannya memberikan gambaran bahwa pembangunan candi secara bergotong royong dan dilakukan oleh orang ramai.

Selain dari Candi Tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka, di dalam kompleks candi ini ditemukan pula gundukan yang diperkirakan sebagai tempat pembakaran tulang manusia. Di luar kompleks ini terdapat pula bangunan-bangunan (bekas) yang terbuat dari batu bata, yang belum dapat dipastikan jenis bangunannya.

Kompleks Candi Muara Takus, satu-satunya peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau. Candi yang bersifat Buddhistis ini merupakan bukti pernahnya agama Buddha berkembang pesat di kawasan ini. Kendatipun demikian, para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan candi ini didirikan. Ada yang mengatakan abad kesebelas, ada pula abad keempat, abad ketujuh, abad kesembilan dan sebagainya. Yang jelas kompleks candi ini merupakan peninggalan sejarah masa silam. Untuk itulah Candi Muara Takus dicalonkan untuk menjadi Situs Warisan dunia Unesco pada 2009.

Selain pembacaan puisi dan essai pendek, peserta juga diajak untuk melihat adat istiadat dan tradisi. Bahkan jamuan makan siang bersama mengikuti adat dengan istilah makan Bajambau. Di samping itu, peserta diajak untuk Karyawisata disekitar danau Kota Panjang. Di sini suguhan panorama alam perbukitan jadi daya tarik tersendiri, di tambah lagi budidaya ikan patin dapat di lihat langsung oleh peserta.

‘’Namun sebelum ke candi, panitia mengajak peserta singgah di pasar tradisional di Danau Bingkuang. Pasar rakyat ini merupakan model pasar Melayu yang ada di Kampar. Aktivitas pasar di sini tidak tiap hari melainkan pada hari Kamis saja,’’ ujarnya.

Di Candi Muara Takus, direncanakan dilaksanakan kegiatan pembacaan puisi, sajak dan esai oleh 12 penyair, dan akan disaksikan lebih kurang 70 peserta festival. Di samping memperkenalkan Candi Muara Takus, para peserta juga akan diperkenalkan dengan makanan khas Kabupaten Kampar seperti ikan salai patin. Setelah mengikuti seluruh rangkaian kegiatan tersebut, para penyair bertugas untuk menulis esai tentang perjalanan mereka selama di Kampar, Siak dan Pekanbaru.

Untuk persiapan acara tersebut, kata mantan Pembantu Rektor III UIR ini, panitia menata dengan baik dan sempurna agar peserta dapat enjoy dan menikmati. Selain itu koordinasi dengan Pemkab Kampar terus dilakukan, karena Pemkab mendukung sepenuhnya acara itu, dan tentu selaku tuan rumah serangkaian persiapan juga telah disiapkan.(aal)