OPINI RIAU POS 25 Februari 2015

Gurindam XII Karya yang Melintasi Zaman

Budaya Kamis, 25 Februari 2016
Gurindam XII Karya yang Melintasi Zaman

Pada 22 Februari lalu digelar Festival Pulau Penyengat (FPP). Salah perhelatannya adalah Seminar Gurindam XII yang dilaksanakan di Balai Adat Pulau Penyengat. Rida K Liamsi adalah satu dari sekian pembicara yang dihadirkan. Dalam kesempatan itu, disampaikan pokok-pokok pemikirannya tentang Gurindam XII. Berikut pokok-pokok pikiran dalam beberapa poin penting.

Pertama, kesusastraan (literasi) adalah produk kebudayaan suatu rumpun bangsa yang paling penting, karena mampu bertahan dan melintasi zaman. Kesusasteraan yang berbasis teks itu, lebih unggul dibanding warisan budaya lainnya, seperti artifak-artifak sejarah, yang bisa saja lenyap ditelan waktu dan bencana lain. Sementara teks akan tetap melekat dalam ingatan dan menjadi bahagian dari perilaku dan sikap hidup rumpun bangsanya, karena keabadian nilai hidup yang dikandungnya. Alquran misalnya (tanpa maksud, menyamakannya dengan karya teks lainnya), sudah beratus-ratus tahun tetap hidup dan melekat dalam ingatan dan hidup umat Islam. Ini memang mukjizat dari Allah SWT, tetapi kalau umat Islam tidak menyimpannya dalam hati, dalam ingatan, dalam tradisi dan sikap hidup, maka badai zaman akan menggerusnya. Demikian dengan karya-karya teks lain, seperti karya klasik Mahabrata, Homerus, dan lainnya.

Kedua, Gurindan XII , karya almarhum Raja Ali Haji, adalah salah satu karya sastra warisan rumpun Melayu yang akan tetap abadi dan melintasi zaman, karena menjadi warisan budaya yang penuh filosofi dan nilai hidup, dan akan terus melekat dalam ingatan. Sudah lebih 150 tahun, dan tetap diingat, tetap melekat dalam ingatan sebahagian besar masyarakat rumpun Melayu. Gurindan XII dianggap sebagai salah karya sastra terbaik di nusantara ini. Salah satu mahakarya.

Keberadaan Gurindam XII ini sama fenomenalnya dengan karya-karya sastra besar lain di Asia Timur ini, seperti Rubaiyat-nya Umar Khayyam, seperti Gitanyali Rabindranath Tagore, seperti Sulalatus Salatin-nya Tun Sri Lanang, seperti karya-karya literasi lainnya. Saat ini, di abad XXI, salah satu karya sastra rumpun Melayu yang kelak akan tetap abadi dan menembus batas zaman adalah Tunjuk Ajar Melayu, karya almarhum Tenas Effendy, yang meninggaal  tahun  lalu. Sulalatus Salatin, Gurindam XII, Tuhfat an Nafis, Tunjuk Ajar Melayu, dan lainnya,  adalah warisan budaya yang akan terus menjadi sumber rujukan dan inspirasi bagi rumpun Melayu. Karya-karya ini, sama fenomenalnya dengan I La Galigo, sastra klasik di negeri Bugis abad XIX yang dikatakan begitu hebat dan dijadikan sumber karya teater dan sandratari, dan dipentaskan di berbagai negerti Eropa di depan masyarakat elite di sana, yang pengarangnya Collipujie Arung Panca Toa, yang nama sebenarnya adalah Ratna Kencana, puteri dari Siti Jauhar binti Ali Abdullah Datu Pabean, ternyata adalah seorang Melayu asal Johor, keturunan Melayu Bugis.

Ketiga, warisan teks akan sempurna menuju ke keabadiannya, jika nilai hidup yang dikandungnya, selalu relevan dengan zaman di mana karya-karya itu dan kehidupan bertembung dan saling mempengaruhi, termasuk teknolgi informasi yang datang bagai badai itu.

Gurindam XII telah menunjukkan, betapa ke dua belas fasal yang ada, selalu relevan dan sesuai dengan zaman di mana generasi pendukungnya hidup. Baik dalam kehidupan sosial, politik, maupun ekonomi, karena berakar pada ajaran hidup yang besar dan sudah teruji, yaitu Islam. Selagi Islam tegak dan cemerlang, maka karya-karya literasi seperti Gurindam XII itu, akan tetap hidup dan diperlukan. Lihat bahagian dari Gurindam XII ini, yang selalu dikutip: Jika hendak melihat orang berbangsa, lihatlah pada budi dan bahasa. Atau hati itu kerajaan di dalam tubuh. Jika zalim, segala anggota pun rubuh. Apabila dengki sudah bertanah, datanglah dari padanya beberapa anak panah“ dan seterusnya.

Keempat, untuk menjaga agar warisan karya literasi itu, tetap abadi dan dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, yang diperlukan adalah upaya untuk melakukan penafsiran dan pemaknaan yang kreatif untuk menemukan relevansi karya-karya ini dengan zamannya. Dengan keperluannya. Di Malaysia misalnya Tuhfat an Nafis karya almarhum Raja Ali Haji (RAH), dijadikan mata pelajaran di sekolah-sekolah menengah mereka. Para pakar sastra dan budaya mereka menulis buku-buku kajian praktis untuk semua tingkatan pendidikan. Urgensinya adalah untuk memberi pemahaman kepada generasi mudanya tentang pentingnya informasi sejarah dan akar budaya bangsa Melayu yang ada dalam Tuhfat An Nafis bagi masa depan rumpun Melayu di Malaysia itu.

Begitu juga dengan Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu). Sayang di Kepulauan Riau dan juga di Riau, belum ada buku yang ditulis sebagai kajian praktis terhadap Tuhfat an Nafis, Gurindam XII, Sejarah Melayu, dan lainnya, untuk dipelajari di sekolah-sekolah. Syukurlah sekali-sekala masih ada lomba baca Gurindam XII, dan lainnya diadakan sehingga masih ada simpanan ingatan kita terhadap Gurindam XII dan karya lainnya. Di Malaysia, Tunjuk Ajar Melayu karya almarhum Tenas Effendy (TEF), seperti dikatakan budayawan Al azhar, selalu dikutip dalam pidato-pidato para pemimpin Malaysia, saat musyawarah akbar Partai Umno, dan lainnya. Demikian juga dengan pantun-pantun lama Melayu yang sampirannya selalu berisikan jejak sejarah, dan isinya penuh ajaran moral. Di Indonesia, pantun Melayu itu, telah porak-poranda menjadi pantun kilat atau dengan sampiran yang selalu tidak relevan dan semaunya.

Kelima, harus ada kemauan politik untuk tetap memelihara sumbangan kebudayaan yang besar itu, agar tetap bisa terus menerus menjadi inspirasi bangsa ini. Keputusan politik terpenting yang harus dilakukan adalah, menjadikan sekolah, di tingkat manapun, sebagai tempat semua nilai-nilai kehidupan yang mulia itu, diajarkan. Diberi waktu yang cukup, diberi tenaga pengajar yang berkualitas, dan diberikan dana yang memadai untuk semua kerja itu agar berkelanjutan. Nilai moral dan kehidupan yang baik, termasuk yang disumbangkan dari karya-karya literasi itu, harus didoktrinkan. Diajarkaan, dirawat, dan dimuliakan, sebagaimana kita memelihara doktrin dan ajaran mulia yang dikandung agama Islam, dan agama-agama yang lain. Bangsa yang tidak menghargai warisan kebudayaannya, adalah bangsa yang zalim. Bangsa yang melupakan sejarah, cepat atau lambat, akan punah.

Keenam, pariwisata adalah salah sektor ekonomi  terbaik untuk menyelamatkan karya-karya budaya yang besar, seperti Gurindam XII, dan lainnya, dan bahkan warisan kesusasteraan itu dapat menjadi sumber inspirasi untuk membangun dunia wisata budaya yang multi guna.

Paling tidak ada tiga aspek strategis yang dapat diharapkan: Pertama, berguna untuk mendorong perkembangan ekonomi  kreatif berbasis sisiopreneur. Kedua, melestarikan warisan budaya, dan ketiga menjadi sumber pendidikan dan pewarisan nilai-nilai kemuliaan hidup rumpun Melayu.
 
Bayangkan, kalau di Pulau Penyengat ini ada Taman Gurindam XII. Sebuah taman yang di situ dipahatkan dan diabadikan teks Gurindan XII. Di situ ada museum yang menyimpan jejak dan ihwal hidup pengarangnya, dan simpan-simpanan ingatan lainnya. Sehingga hanya ke Pulau Penyengat inilah orang yang ingin tahu dan belajar tentang Gurindam XII dan Raja Ali Haji, serta jejak kepahlawanannya, dan sejarah keliterasiannya, dan lainnya.  

Dan para pelancong yang datang ke pulau ini, akan membawa pulang ingatan dan pelajaran tentang nilai hidup orang Melayu yang Islami itu. Bukan hanya berbagai cenderahati lainnya. Taman ini akan sangat fenomenal dan menjadi tumpuan kunjungan, jika nilai-nilai keislaman menjadi basis dan kekuatan penggeraknya, karena umat Islam dunia saat ini adalah kelas menengah dunia yang paling hebat dan berkemampuan secara ekonomi, dan ikut mengatur arah pergerakan dan perkembangan dunia. Lihatlah Iran dengan segala kemajuannya. Mesir, Arab Saudi, Pakistan, Turki, dan tentu saja Indonesia.

Ketujuh, kebudayaan yang cemerlang hanya lahir dari rumpun bangsa yang cemerlang juga. Dan bayangkan, betapa cemerlangnya Kerajaan Melayu Riau-Lingga dahulunya yang berpusat di pulau kecil, bernama Penyengat ini, yang bisa melahirkan seorang Raja Ali Haji, budayawan yang kemudian menyumbang Gurindam XII, Tuhfat an Nafis, Bustan al Katibin, dan lainnya. Dan dari pulau inilah sumbangan terbesar untuk menyatukan Republik Indonesia ini, yaitu Bahasa Melayu, yang kemudian menjadi bahasa persatuan. Memangnya ada hal lain yang dapat menyatukan Indonesia dahulunya yang terdiri dari berbagai suku bangsa, adat istiadat, agama, dan tradisi dan kepentingan hidup lainnya? Bhineka tunggal ika itu disatukan oleh bahasa, yaitu Bahasa Melayu.***