Bulang Cahaya, Kisah Cinta Para Raja

Budaya Sabtu, 24 Oktober 2009
Bulang Cahaya, Kisah Cinta Para Raja

Oleh Joni Ariadinata

Novel Sejarah, Sebuah Kilas Balik

Ketika seorang kawan dari Riau mengatakan kepada saya, bahwa sejarah raja-raja Riau memiliki keagungan yang serupa dengan raja-raja di Jawa, saya hanya mengangguk-angguk. Tentu bukan berarti saya setuju sepenuhnya dengan pendapat itu, dan juga bukan berarti saya berniat menolak. Saya hanya merasa bahwa pengetahuan saya tentang Riau amatlah terbatas, dan tentu tidak dalam posisi yang layak untuk berdebat karena memang saya tidak memiliki hujjah yang cukup, baik untuk menyetujui maupun untuk menolak.

Saya menyukai sejarah, tapi tidak sebagai kajian mendalam. Akibatnya adalah pengetahuan sejarah saya terpotong-potong, tidak tuntas. Bagi seorang penulis sastra, sejarah memang penting untuk menambah wawasan. Dari pengetahuan sejarah yang terpotong-potong itulah saya tahu, Riau memang pernah memiliki kejayaan kerajaan pesisir yang berbasiskan Islam. Tapi sekali lagi, saya tidak memiliki alasan yang cukup untuk berdebat pada waktu itu.

Sampai suatu ketika, pada tahun 2000 saya bertemu dia di Pulau Penyengat. Kawan Riau itu kemudian mengajak berkeliling, dan menunjukkan peninggalan bangunan-bangunan penting seperti masjid, sisa-sisa bangunan tembok sederhana yang ia sebut “ bekas istana”, serta makam para bangsawan dan intelektual penting (di antaranya yang saya ingat adalah makam Raja Ali Haji) yang disemayamkan di pulau itu. Ia sekali lagi mengatakan, bahwa inilah yang ia maksud keagungan raja-raja Riau. “Dari pulau kecil inilah, dari istana yang sederhana, sebuah wilayah besar dan luas pernah dikendalikan, melingkupi Kepulauan Riau, Singapura, hingga semenanjung Malaysia!” Tentu saya cukup terkejut. Terkejut karena menurut logika Jawa saya (saya lahir dan besar di Jawa), sebuah pusat pemerintahan besar biasanya meninggalkan sisa-sisa kemegahan yang bisa diukur secara fisik.

Tahukah Anda, bahwa raja-raja Jawa semuanya rakus akan kemegahan? Rakus pada istana yang megah, pada kamar tidur yang luas, pada ketinggian tembok pembatas istana yang luasnya bisa puluhan ribu meter, pada ruang tamu tempat kemegahan dia duduk di hadapan para pembesar sambil membayangkan dirinya adalah titisan para dewa, rakus pada kamar mandi tempat sang dewa membersihkan diri (bahkan raja di Jogjakarta memiliki tempat khusus untuk mengintip tubuh-tubuh perempuan yang tengah mandi di sebuah kolam luas yang dikelilingi taman indah, serta peraduan khusus tempat bercinta), serta rakus pada puluhan gapura, pintu-pintu gerbang yang besar, serta alun-alun lapang tempat ia bersabda di depan khalayak. Tentu saya terkejut dengan kesederhanaan yang ditunjukkan oleh kawan Riau yang semula saya kira sombong. Wilayah kekuasaan yang mencakup Kepulauan Riau, Singapura, dan Semenanjung Malaysia, tentulah sebuah wilayah yang tidak main-main. Jika dibandingkan wilayah kekuasaan Kesultanan Jogjakarta, Surakarta, bahkan Pajang dan Demak, maka wilayah raja-raja Jawa yang saya sebutkan itu hanyalah daerah-daerah kecil semata. Secara terus terang saya katakan pada kawan Riau itu, saya kagum.

Sudah lama saya memang tidak menyukai raja-raja Jawa. Dari sekian bacaan yang saya dapat, sejarah Jawa selalu dipenuhi intrik politik yang menindas. Sumber-sumber terpercaya tentang sejarah Jawa, tentu tidak saya dapat dari sumber resmi tertulis yang diterbitkan oleh sebuah rezim pada zamannya. Sudah lama saya menaruh kecurigaan terhadap sejarah yang ditulis dengan campur tangan politik. Barangkali saya terpengaruh oleh sebuah pendapat yang mengatakan bahwa tak ada sejarah yang steril dari sebuah kepentingan, lebih-lebih ketika sejarah ditulis berkaitan dengan kelanggengan kekuasaan sebuah rezim. Maka saya lebih percaya pada bocoran sejarah yang ditulis oleh para penulis di luar garis, yakni sejarah yang ditulis dalam bentuk karya sastra oleh para sastrawan, serta serta bocoran sejarah yang ditulis dalam biografi tokoh-tokoh yang dianggap oposisi. Sejarah resmi sebagai pelengkap wawasan, tentu tetap saya baca, tapi kedudukannya semata-mata hanyalah sebagai pembanding.

Sejarah tentang sisi gelap PKI misalnya, saya lebih meyakini bocoran sejarah yang dilakukan Ahmad Tohari dalam novelnya Ronggeng Dukuh Paruk ketimbang buku putih yang diterbitkan secara resmi oleh rezim Orde Baru yang seluruh isinya melulu berisi pujian tentang heroisme dan kepahlawanan tentara. Ahmad Tohari pastilah tidak sedang main-main dengan fakta, meskipun antara fakta dan fiksi memiliki perbedaan visi yang cukup tajam. Penulis sekaliber Ahmad Tohari, pastilah tidak akan rela jika kelak dikatakan sebagai pembohong dan pendusta. Dan Ahmad Tohari memang bukan sastrawan penipu. Dalam hal ini saya percaya pendapat Budi Darma yang mengatakan bahwa setiap pengarang yang baik pastilah selalu bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya, apalagi ketika ia menyebutkan sebuah fakta. Apapun aliran yang dihasilkan oleh para sastrawan, baik realisme maupun kontemporer, tak pernah ditulis dari kekosongan. Semua penulis pada dasarnya menulis berdasarkan fakta yang dipijak, dipelajari, dan ditafsirkan berdasarkan pengetahuan lengkap yang ia miliki.

Ada banyak penulis fiksi yang menafsir ulang sejarah dengan kejujuran yang diyakini, yang kemudian menghasilkan bocoran-bocoran sejarah yang tak bisa ditolak. Di samping Ronggeng Dukuh Paruk yang menampilkan sisi gelap penindasan sebuah rezim, Ahmad Tohari juga melakukan bocoran sejarah pada novelnya yang lain, Lingkar Tanah Lingkar Air. Bocoran sejarah itu antara lain tentang kekejaman TNI pada masa pembentukan awal, yang dengan tega menghabisi nyawa ratusan pasukan Hisbullah yang hendak menggugat haknya.

Bocoran sejarah yang memuat kekejaman para bangsawan/raja-raja Jawa ditafsir ulang oleh YB Mangunwijaya dengan sangat bagus dalam novelnya Roro Mendut. Lewat Roro Mendut yang merupakan simbol dari perlawanan rakyat jelata, pembaca diajak untuk merasakan (ingat, “merasakan”, bukan mengetahui sebatas informasi seperti yang didapat pada bacaan sejarah resmi) tentang bagaimana kejinya para penguasa menindas rakyat jelata, dari mulai perampasan harta benda, kewajiban upeti, hingga kewajiban menyerahkan perempuan-perempuan yang akan dijadikan budak nafsu seksualitas oleh kaum bangsawan. Perlawanan Roro Mendut yang lebih memilih mencintai rakyat jelata, adalah penggambaran perspektif pengarang yang menulis sejarah berdasarkan kacamata yang berbeda, yakni kacamata rakyat jelata, bukan sejarah versi penguasa yang kebanyakan ditulis untuk melindungi kepentingan golongan mereka.

Untuk alasan itulah, maka saya sangat menyukai sejarah yang ditulis dalam bentuk novel. Ada kejujuran, ada petualangan intelektual yang tidak sebatas menggali informasi akan tetapi sekaligus juga penghayatan terhadap sisi-sisi kemanusiaan, ada proses pengayaan batin sekaligus perbenturan dialog yang keras dari beragam perbedaan informasi, dan yang lebih penting dari itu adalah petualangan imajinasi yang mengajak pembacanya untuk berfikir kreatif yang menyenangkan. Lewat bahasa pembaca diajak untuk menikmati berbagai keindahan kata, lewat struktur pembangun cerita (plot, latar, dst) pembaca diajak untuk menikmati tahap demi tahap ketegangan demi ketegangan yang membangun kenikmatan bertualang, lewat karakter tokoh pembaca diajak untuk melakukan identifikasi, serta lewat tema pokok yang diusung pembaca diajak untuk berkontemplasi. Cobalah sekali lagi kita tengok karya-karya berkualitas yang di dalamnya mengandung bocoran-bocoran sejarah yang penting semisal Burung-Burung Manyar karya YB Mangunwijaya, Sukreni Gadis Bali dan I Swasta di Bedahulu karya AA Panji Tisna, Bumi Manusia dan Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer, Tarian Bumi karya Oka Rusmini, bahkan juga Para Priyayi karya Umar Kayam.

Bulang Cahaya, Sejarah dari Perspektif Bangsawan
Sudah saya katakan di awal, bahwa saya menyukai fakta sejarah yang ditulis dalam bentuk novel. Di samping alasan ideologis bahwa saya lebih percaya pada sejarah yang ditulis di luar sistem, juga alasan teknis bahwa masih banyak buku-buku sejarah yang masih tersimpan dalam manuskrip yang belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (masih tersimpan dalam bahasa aslinya, terutama untuk manuskrip sejarah kuno), dan manuskrip tersebut tersebar di berbagai negara, terutama Belanda. Untuk yang memilih prioritas utama bukan pada sejarah, tentu pencarian naskah-naskah kuno sangatlah merepotkan. Saya kira, hanya untuk kalangan tetentu yang memiliki kepentingan yang sangat besar terhadap sejarahlah yang akan mau bersusah-payah mencari berbagai sumber dari berbagai negara, misalnya untuk kepentingan penyusunan tesis atau disertasi.

Seperti halnya juga sejarah Riau, nasib manuskrip berharga yang menuliskan sejarah kejayaan Riau Lingga telah banyak hilang tak tentu rimbanya. Sebagian kecil tersimpan di Riau, sebagian lainnya tersebar di berbagai negara, dan lebih banyak yang tidak jelas nasibnya. Ketika saya tiba di Pulau Penyengat pada tahun 2000 itulah kemudian saya tahu, bahwa banyak perburuan naskah kuno yang dilakukan oleh para peneliti negeri tetangga (terutama Malaysia) yang memberi harga mahal bagi warga yang masih menyimpan naskah-naskah Melayu kuno. Adapun naskah-naskah yang sudah diterjemahkan, juga sangat sulit diakses oleh khalayak umum, karena memang tidak diterbitkan secara massal. Tidak banyak sejarah Riau yang terbit kemudian bisa didapat di toko-toko buku.

Maka ketika novel Bulang Cahaya karya Rida K Liamsi tiba di tangan saya setahun yang lalu, lewat seorang kawan Marhalim Zaini di Pekanbaru yang menyebutkan bahwa, “Kalau ingin mengetahui kejayaan Riau pada masa lalu, bacalah buku ini.” Saat itulah saya merasa memiliki kesempatan untuk membaca bocoran sejarah Riau tanpa harus mengalami kerumitan. Tentu saya senang membacanya.

Rida K Liamsi menulis Riau dengan perpektif yang bagi saya aneh. Ia menulis bukan dari perspektif rakyat jelata seperti kebanyakan novelis modern yang mencoba menafsir ulang sejarah dengan kritis. Rida K Liamsi menulis dari kacamata para penguasa. Sejak awal penelusuran novel itu hingga seperempat bagian, saya masih curiga terhadap kejujuran pengarang. Bahwa ada kepentingan tersembunyi untuk mencoba mengaburkan sejarah Riau dengan menyanjung-nyanjung kebaikan, keluhuran, kepahlawanan, serta kebijaksanaan para raja yang telah menyatukan Singapura, Semenanjung Malaysia, dan Kepulauan Riau. Meskipun pada awal tulisan saya telah memaparkan bahwa saya dibuat terkejut dan kagum dengan kesederhanaan sisa-sisa peneninggalan salah satu pusat pemerintahan Ria Lingga di Pulau Penyengat, akan tetapi sebuah sistem politik dari sebuah kekuasaan tidak mungkin 100 prosen sempurna. Pastilah ada sisi-sisi kemanusiaan yang dikorbankan. Terus terang, sebetulnya saya mengharapkan bacaan tentang Riau dari perspektif yang lain. Kisah-kisah Hang Tuah, Hang Jebat, dan kepahlawanan Melayu yang pernah saya baca, semuanya bermain dari perspektif bangsawan. Begitupun naskah-naskah kuno yang ditulis para pujangga keraton pada naskah-naskah Jawa, hampir semuanya bercerita tentang keluhuran para penguasa. Maka kalau boleh saya katakan, bahwa menghadapi naskah dengan perpektif bangsawan, bagi saya sudah dalam taraf membosankan.

Di samping seperempat novel saya baca dengan penuh kecurigaan, saya juga mengalami kejenuhan dengan ruwetnya nama-nama yang muncul. Begitu banyak nama, beserta gelar-gelar, serta pertautan keluarga yang silang-menyilang. Terasa upaya pengarang untuk menjelaskan kait-mengait hubungan keluarga ini, beserta peristiwa-peristiwa yang disodorkan dengan narasi yang bersifat informasi (tanpa keterlibatan langsung aksi para tokoh), sungguh membuat pembaca lelah. Lebih-lebih untuk saya, pembaca yang berasal dari luar lingkungan Melayu, di mana penyebutan gelar-gelar itu belum terlampau akrab. Padahal sebagai pembaca saya dituntut untuk mencermati dan mengingat nama-nama tokoh yang muncul. Saya membayangkan andai pembaca luar seperti saya tidak memiliki kesabaran serta keingintahuan yang cukup, barangkali ia akan segera meninggalkan pembacaan novel ini dan mengatakan bahwa, “Novel ini membuat jenuh.” Padahal seperempat langkah berikutnya novel ini mulai menunjukkan arusnya, mulai menunjukkan ruhnya. Bahkan setengah hingga akhir, novel ini cukup menggetarkan.

Sedikitnya peristiwa yang menyangkut nama-nama yang muncul pada awal-awal bagian novel ini (yang mengakibatkan nama-nama itu susah diingat), saya kira menjadi kelemahan yang bisa berakibat serius. Karena sangat disayangkan jika pembaca kemudian menghentikan bacaannya pada awal-awal bagian, padahal justru ia baru saja memasuki pintu sebuah lautan yang yang amat luas dan kaya.

Bulang Cahaya memang bermain hanya melulu pada tataran bangsawan. Peran rakyat, sama sekali tidak dilibatkan. Bangsawanlah yang memutuskan garis hitam putih nasib rakyat, yang memutuskan mana kebaikan dan keburukan, bahkan yang memutuskan segala peristiwa yang akan dan sedang berlaku.

Hanya saja, berbeda dengan kecurigaan saya sejak awal, ternyata perspektif bangsawan yang saya duga akan memainkan peran sebagai “buku putih” seperti halnya kebanyakan naskah-naskah kuno tentang sejarah para raja Jawa, pada novel Rida K Liamsi ini tidak terbukti. Ia bisa memainkan peran bangsawan secara adil, bahkan secara umum tampak terasa Rida K Liamsi begitu berani menelanjangi perangai-perangai buruk para penguasa yang menjadi tokoh sentral dari para tokohnya. Tragedi terbelahnya wilayah Riau Lingga ini menjadi tiga bagian (Singapura, Malaysia, dan Riau), juga tak lepas dari tanggungjawab para tokoh sentral yang membuat kekacauan politik akibat ambisi dan kerakusan. Ada tokoh penghianat tapi juga ada tokoh yang jujur, tokoh pembenci dan tokoh pemaaf, tokoh yang arif dan tokoh yang culas, tokoh rakus dan tokoh dermawan, tokoh cerdik dan tokoh yang bodoh, tokoh yang adil dan tokoh yang kejam. Semuanya berperan dalam porsinya masing-masing. Intrik-intrik politik yang terjadi di seputar istana, kekejian yang telanjang (termasuk penggunaan racun dan sihir), yang berpadu dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan serta keluhuran budi, heroisme serta peperangan yang sengit, menjadi bagian yang cukup menggetarkan.

Kelemahan yang paling terasa pada Rida adalah pada sentuhan bahasa yang terasa kering saat menggambarkan sebuah peristiwa langsung yang mengharuskan pengarang lebih banyak menggunakan narasi. Kepekaan yang kurang pada emosi bahasa, menjadi pangkal kekurangberhasilan pengarang ketika menggambarkan keharuan. Pada tragiknya cinta misalnya, ketika dua tokoh hendak berpisah, nyaris tak terasa sentuhan kesedihan yang bisa ditularkan kepada pembaca. Meskipun Rida menulis berkali-kali bahwa tokohnya menangis, tapi tangisan itu tidak sampai menyentuh getaran hati. Sehingga “tangisan tokoh” hanya diterima sebatas informasi bahwa tokohnya tengah menangis. Ini bagi saya sangat mengherankan, sebab pada bagian ketika penulis menuliskan latar (pada latar Pulau Penyengat misalnya), latar yang digambarkan Rida sungguh memukau. Bagaimana dengan emosi bahasa yang meruah, pembaca diajak untuk masuk dan merasakan sentuhan cahaya keemasan yang berpendar-pendar, lambaian ombak, perahu-perahu, bahkan tanah dan langit, semuanya terasa indah dan membahagiakan. Metafor yang yang digunakan Rida dalam menggambarkan beberapa latar sungguh terasa kaya. Barangkali Rida terlalu fokus pada tema politik yang menjadi obsesinya, dan memperlakukan latar juga sebagai bagian dari politik untuk menggambarkan keindahan Riau Lingga sebagai kejayaan besar sebuah negara, sehingga ketika menggarap sentuhan percintaan yang ia anggap sebagai bumbu tidak disertai limpahan emosi yang optimal.

Pada bagian lain yang menurut saya teramat brilian, adalah cara Rida memainkan tokoh-tokohnya pada perdebatan politik negara antar tokoh. Telah saya katakan, saat Rida merasakan obsesinya begitu penuh, ia bisa memainkan seluruh emosi dan kecerdasannya secara optimal. Pada bagian perdebatan politik inilah, saya anggap yang paling unggul dari segala kelebihan novel ini. Saya berani mengatakan, ketajaman Rida dalam berargumentasi yang menyangkut strategi sebuah negara, belum tertandingi oleh penulis-penulis lain yang pernah saya baca. Kecerdasannya, kemampuannya mengolah emosi, bahkan pada pemanfaatan metafor yang menunjang terjadinya suasana dialog yang menegangkan, sungguh membuat emosi dan pikiran pembaca ikut larut dalam ketegangan yang dialami tokoh.

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Bulang Cahaya adalah novel penting yang membicarakan Melayu dengan cukup lengkap. Lewat novel inilah pembaca di luar Riau diajak untuk masuk dan merasakan bagaimana struktur masyarakat Melayu terbentuk, bagaimana perimbangan antara Bugis dan Melayu yang sama-sama merumuskan tatanan sebuah negara, bagaimana sebuah negara dibagi menjadi dua wilayah kekuasaan antara kekuasaan Yang Dipertuan Muda (dengan wewenang sebagai pengatur keamanan dan perhubungan dagang dengan pihak luar) dan Yang Dipertuan Besar (dengan wewenang mengurus pemerintahan dalam negeri, agama, serta adat istiadat), bagaimana pertalian perkawinan menjadi alat politik untuk menyatukan kekuasaan, kebesaran angkatan perang dan heroisme Bugis saat menghadapi ancaman Belanda, kearifan Melayu saat menghadapi persoalan-persoalan yang mengancam keutuhan negara, serta posisi perempuan yang seringkali diposisikan sebagai alat pelanggeng kekuasaan.

Untuk memetakan struktur kebudayaan yang lengkap, dengan pemetaan yang jelas yang melingkupi segala macam informasi yang penting yang berkenaan dengan identitas kedaerahan yang khas, memang membutuhkan kerja keras serta pemahaman pengetahuan yang luas. Dalam novel ini Rida telah membuktikan kekuatannya. Novel Bulang Cahaya ini telah menjadi bukti yang kokoh sebagai saksi bahwa pernah berdiri sebuah kerajaan besar di Tanah Melayu, yakni kerajaan Riau Lingga yang kekuasaannya melingkupi Singapura (Temasek), Semenanjung Malaysia (Melaka), serta Kepulauan Riau.
Tentang racikan bumbu percintaan yang kandas antara dua tokoh (Raja Jaafar yang memiliki garis keturunan Bugis-Melayu, dan Tengku Buntat yang memiliki garis murni Melayu), memang merupakan benang merah cukup penting dalam merakit novel ini menjadi sebuah novel yang indah. Meskipun pada beberapa bagian saya anggap kurang optimal, tapi penggarapan kisah cinta yang mewarnai sebuah pergolakan besar, adalah sebuah mata air bagi daya tarik pembaca untuk melayarkan imajinasinya menuju pada muara besar persoalan sesungguhnya. Dari dua tokoh sentral inilah, Rida memulai penjabaran pancakaki (jalinan sejarah kekerabatan) yang melatarbelakangi terbentuknya sebuah imperium kekuasaan Bugis-Melayu di tanah Riau. Dijabarkan lewat pancakaki yang menghubungkan Raja Jaafar dan Tengku Buntal, bahwa Raja Jaafar adalah cucu dari Daeng Celak (putra dari bangsawan Kerajaan Luwu, Bugis, yang kemudian menikah dengan Tengku Mandak yang berdarah Melayu, dan menjadi Yang Dipertuan Muda II), yakni anak dari Raja Haji (yang kemudian menjabat sebagai Yang Dipertuan Muda IV). Siapakah Daeng Celak? Daeng Celak adalah salah satu dari lima bersaudara (yakni Daeng Marewa, Daeng Celak, Daeng Perani, Daeng Manambun dan Daeng Kumasi, yang kesemuanya adalah bangsawan Bugis) yang berjasa membantu Tengku Sulaiman saat berperang untuk menyingkirkan Raja Kecik dari tahta Kerajaan Johor. Atas balas jasa Tengku Sulaiman, yang kemudian naik tahta menjadi Sultan, dibuatlah sebuah perjanjian antara Bugis-Melayu yakni Ikrar Sumpah Setia Melayu Bugis yang berisi kesepakatan untuk membangun negara secara bersama-sama, dengan pembagian wewenang dari pihak Bugis untuk secara mutlak mengepalai keamanan dan ekonomi (dengan gelar Yang Dipertuan Muda), sedangkan dari pihak Melayu memiliki wewenang sebagai kepela pemerintahan (yang mengurusi urusan dalam negeri, agama, dan adat istiadat). Dari garis keturunan tersebut, maka Raja Jaafar kelak adalah pewaris tahta yang sah untuk jabatan Yang Dipertuan Muda. Sedangkan Tengku Buntal adalah putri berdarah Melayu anak dari Tengku Muda Muhammad (yang kelak dinobatkan secara tidak fair menjadi Yang Dipertuan Muda V, sebuah keputusan yang dianggap menciderai Ikrar Ikrar Sumpah Setia Melayu Bugis).

Ikatan darah dari hasil perkawinan Melayu-Bugis, yang berkembang kemudian menjadi strategi politik untuk saling menguasai inilah yang pada akhirnya menjadi cikal bakal kerumitan yang berujung pada ketegangan hingga pertumpahan darah. Nafsu saling menguasai, saling mempengaruhi, fitnah dan ancaman, ditambah keruwetan campur tangan luar (yakni pihak Inggris dan Belanda), menjadikan Riau selalu terancam perpecahan.

Dari latar semacam inilah bumbu percintaan antara Raja Jaafar dan Tengku Buntat itu berkembang. Dari benih-benih cinta yang tumbuh, kegagalan yang melahirkan penderitaan, kerinduan yang indah, serta keputusasaan yang pahit, sama-sama dialami oleh dua tokoh yang mabuk kepayang ini. Rida memaparkan cinta kedua sejoli ini dengan gaya percintaan melayu yang khas, yakni melalui perlambang (lewat simbol layang-layang yang bertuliskan bulang cahaya misalnya), dengan cara saling menjaga jarak untuk tidak melakukan kontak fisik, dan sindiran-sindiran. Sayangnya, keindahan cinta khas Melayu ini diciderai sendiri oleh penulisnya yang secara sengaja memaparkan adegan kontak fisik menjelang akhir cerita (saya menganggap ini adalah kecerobohan yang patut disayangkan).

Sisi lain yang menurut saya mengganjal adalah pada prolog dan epilog. Meskipun saya menangkap spirit yang melandasi prolog dan epilog ini, yang menginginkan novel ini menjadi semacam cerita berbingkai, akan tetapi ketidakterkaitan tokoh Raja Ikhsan pada prolog dan epilog secara langsung membuat novel ini seperti lepas. Tapi bukankah memang sulit memuaskan semua pembaca? Tahniah untuk Pak Rida.

Yogyakarta, 2008 Joni Ariadinata, Ketua Lembaga Kajian Kebudayaan Akar Indonesia (LK2AI) Yogyakarta, dan Redaktur Majalah Sastra Horison.