Bulang Cahaya: Sejarah, Perempuan dan Intrik Politik Kekuasaan (Bagian 3)

Budaya Kamis, 18 Maret 2010
Bulang Cahaya: Sejarah, Perempuan dan Intrik Politik Kekuasaan  (Bagian 3)

Semenjak Helen diperkosa Zeus di pinggir sungai dan sejak Rahwana menculik Sinta, tema-tema hidup manusia selalu berkutat seputar tragedi cinta, kekuasaan, kematian, penderitaan, beserta segala atributnya. Pada saat itulah tiang-tiang kehidupan manusia menyimpan potensi untuk dijadikan tontonan dan cerminan. Dalam tontonan dan cermin kisah manusia, tragik dan ironis muncul dengan daya magnetnya yang luas biasa. Tragedi dan ironisme hadir sebagai kisah yang menrenyuhkan namun sekaligus pula mengasyikan untuk dilihat, didengar dan dibaca.

Tersebutlah pula dalam peristiwa-peristiwa besar, di balik tokoh-tokoh besar penentu sejarah, di belakangnya baik secara terang-terangan atau tersembunyi hadir  sosok wanita yang turut menjadi penentu dari sejarah, tokoh dan peristiwa itu. Di balik nama mahsyur Napoleon Bonaparte, ada bayang-bayang perempuan bernama Maria Josephine yang “menertawakan” , memperalat dan mempermainkan cinta sang Kaisar. Di belakang keperkasaan Antomius mucul lirikan tajam Cleopatra. Dalam dunia fiksi dan mitologi di balik sosok tokoh Yudistira yang jujur namun peragu muncul perempuan tabah bernama Drupadi dan sebaliknya  di belakang tokoh Destarata yang lemah hati ada sosok Gendari perumpuan penuh ambisi yang culas. Pendek kata wanita selalu hadir mengiringi dan mewarnai peristiwa-peritiwa besar dalam sejarah peradaban manusia.

Dalam novel Bulang Cahaya dapat ditemukan dua citra wanita yang berbeda bahkan bertolak belakang. Yang pertama adalah citra wanita perkasa yang tabah, kuat, pantang menyerah dan penuh vitalitas hidup. Sedangkan citra yang kedua adalah sosok perempuan lemah, pasrah dan tidak berdaya melawan nasib. Citra yang pertama diwakili oleh tokoh Engku Puteri sedangkan citra wanita kedua diwakili oleh Tengku Buntat kekasih Raja Djaafar.

Tokoh Engku Puteri adalah sosok yang gigih, tak kenal komromi dan penuh dinamika perjuangan. Tokoh ini merupakan wanita paling disegani dan sangat dihormati pada masa akhir kerajaan Riau-Lingga. Engku Puteri merupakan isteri keempat Raja Mahmud Marhum Besar, sekaligus pula salah satu puteri Raja Ali Haji dari isterinya yang bernama Raja Perak binti Yang Dipertuan Muda Riau III Daeng Kamboja. Karena kekerasan dan keteguhan hatinya Engku Puteri dipercaya sebagai pemegang regelia kerajaan. Karena keteguhan hatinya Engku Puteri tidak pernah menyerah terhadap Belanda dan meletakkan kepentingan adat dan tradisi negara di atas segala-galanya. Sedangkan tokoh Tengku Buntat adalah citra seorang wanita yang tak berdaya dan tak mau melawan, dikalahkan oleh cinta dan tak punya kuasa terhadap diri sendiri dan akhirnya tergerus oleh putaran kekuasaan.

Nasib malang Tengku Buntat sekaligus kisah kasihnya yang gagal dengan Raja Djaafar merupakan pengulangan cerita lama nan malang tentang nasib wanita-wanita di pergolakan kekuasaan dan intrik politik kerajaan-kerajaan nusantara. Tengku Buntat ikhlas atau tak ikhlas harus bersedia menjadi “tumbal” intrik politik dan kekuasaan, harus bersedia melakoni sebuah pernikahan politis untuk meyelesaikan sengketa dan perang saudara antara bangsawan Melayu asli dengan Melayu Bugis.
   
Pada titik inilah persoalan seksual tidak saja sekedar diperlakukan dan dianggap sebagai sebuah “kenikmatan” tetapi lebih dari itu selalu dikaitkan dengan persoalan kekuasaan. Hal ini oleh Foucault dikatakan sebgagai agregasi hubungan-hubungan sosial yang secara historis dan berkelindan dengan rezim kekuasaan. Motif seks sebagai pintu menuju kesepakan kekuasaan ini tidak saja terjadi dan dialami oleh Tengku Buntat di kerajaan Riau-Lingga tetapi juga oleh wanita-wanita di kerajaan-kerajaan nusantara lainnya.

Di Jawa misalnya, dalam kitab Pararaton, tokoh Ken Arok pendiri kerajaan Singasari yang menjadi cikal bakal kerajaan Majapahit untuk melenggang ke kursi kekuasaan memperistiri Ken Dedes isteri dari rival politiknya, Tunggul Ametung. Perkawinan politik yang merupakan perwujudan kuasa seksual terhadap kepentingan kekuasaan sebagai sesuatu yang sah dan formal juga tampak pada masa pemerintahan Raja Kameswara II di Kediri (1104-1222). Untuk menyelesaikan perang saudara yang berlarut-larut antara Kediri (Daha), Kahuripan (Jenggala) dan Gegelang, Raja Kameswara II yang berasal dari Kahuripan menikahi puteri Sekar Tadji (Candra Kirana) dari kerajaan Daha. Pernikahan politis seperti ini juga dilakukan oleh Raja Majapahit pertama Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardhana yang untuk membendung invasi kerajaan Cina (Tartar) menikahi dua puteri asing dari kerajaan Campa dan Cina yang bernama puteri Dara Petak dan puteri Dara Jingga. Demikian pula pada masa yang lebih muda, pada masa pemerintahan  Mataram Islam dibawah kekuasaan Sultan Agung, untuk memadamkan pemberontakan Surabaya Sultan Agung menikahkan puterinya yang bernama Wandan Wangi dengan Pangeran Pekik penguasa Surabaya sekaligus memanfaatkan pelabuhan Surabaya sebagai pangkalan armada laut untuk memadamkan pemberontakan di sepanjang pesisir utara.
   
Dengan latar pernikahan politis ini pengarangnya berusaha menyiratkan bahwa cerita novel Bulang Cahaya tak sekedar kisah kasih tak sampai tetapi ingin menyampaikan kepada pembacanya bagaimana seksualitas merupakan bagian dari skenario politik dan kekuasaan dimanapun kekuasaan itu berada. Seksualitas dan pernikahan adalah bagian dari “siasah” dan pemerintahan adalah “siasah” itu sendiri.

***

Dengan membaca novel Bulang Cahaya ini, lamat-lamat pembaca dapat menangkap dan mendengarkan bagimana pengarang mengingatkan bahwa sejarah masa lalu dapat menjadi cermin tempat kita mematut diri di masa kini. Masa lalu dapat dijadikan referensi untuk menghadapi masa yang akan datang, meski tentu saja referensi ini tidak bersifat formal, kaku dan absolut tetapi lebih cenderung menghadirkan substansial masalah yang mungkin terulang dalam bentuk atau wujud material yang berbeda.

Membaca novel ini, pembaca dapat lebih arif menyikapi sejarah. Tidak ada kemutlakan dan ketunggalan dalam sejarah, sejarah dapat hadir sebagai sebuah medan yang senantiasa menyimpan peluang untuk  membuka tafsir baru. Sejarah akan senatiasa menyimpan potensi-potensi signifikan untuk lahirnya  sejarah baru sekaligus berfungsi sebagai tengara mengingatkan manusia atas berbagai kemungkinan baik atau buruk pada masa silam dan masa datang.

******