Bulang Cahaya: Sejarah, Perempuan dan Intrik Politik Kekuasaan (Bagian 2)

Budaya Kamis, 18 Maret 2010
Bulang Cahaya: Sejarah, Perempuan dan Intrik Politik Kekuasaan  (Bagian 2)

Dalam mengolah sejarah menjadi sebuah teks sastra, Rida K Liamsi menghadirkan novel Bulang Cahaya sebagai kisah sekaligus berita pikiran. Sebagai kisah, novel Bulang Cahaya bercerita tentang suatu masa dalam sejarah Riau dan kisah tragedi percintaan tokoh-tokohnya, dan sebagai berita pikiran novel ini mencoba menyampaikan gagasan, pemikiran dan pendapatnya sendiri tentang realitas (termasuk realitas sejarah). Meskipun realitas yang ditampilkan dalam novel ini tentu bukan merupakan realita sui generis, namun semuanya diolah berdasarkan fakta dan data-data.


Dalam novel Bulang Cahaya ini pengarang mengisahkan masa transisi pemerintahan kerajaan Riau-Lingga sepeninggal Sultan Mahmud yang wafat pada 12 Januari 1812 M dimana kerajaan diperebutkan oleh kedua putera tirinya yakni Sultan Husin dan Sultan Abdurrahman. Hal inilah yang merupakan turning point kemunduran kebudayaan dan kekuasaan kerajaan Riau. Menurut data sejarah, akhirnya kedua saudara tiri yang berseteru ini melibatkan pihak-pihak asing yang justru membelah kerajaan. Sultan Husin meminta bantuan pihak Inggris sedangkan kelak Sultan Abdurrahman meminta bantuan pemerintah Hindia Belanda. Novel Bulang Cahaya ini memang berakhir tidak sampai pada peristiwa terbelahnya kerajaan Riau dan masuknya Inggris dan Belanda di Kerajaan Riau, hanya sampai pada saat Sultan Abdurrahman dinobatkan sebagai Sultan oleh Raja Jaafar yang menjabat wali negara. Namun ending novel sudah menyiratkan kepada pembaca bahwa kelak akibat penobatan ini kerajaan Riau menjadi runtuh.

Sebagai suatu narasi yang dapat dinikmati novel Bulang Cahaya menyuguhkan  suatu cerita atau kisah manusia yang di dalamnya penuh dengan tematik-tematik kehidupan. Di dalamnya terdapat tragedi, penderitaan, kekuasaan, cinta dan konflik-konflik internal psikologis seperti lazimnya sebuah kehidupan. Dalam hubungannya dengan sejarah, cerita atau naratif dipusatkan pada pusaran waktu atau periode tertentu terkait peristiwa-peristiwa yang mungkin secara lahiriah hanya terjadi atau ditemukan pada periode masa itu.

Sebagai pengarang, Rida K Liamsi memberi referensi imajinatif ke dalam sejarah sehingga novel tetap memiliki sifat simbolik yang tetap menyimpan “misteri” tertentu yang terbuka dengan interpretasi. Dengan memanfaatkan sejarah, novel Bulang Cahaya mencoba menghadirkan kembali pikiran, perasaan dan orientasi masa lalu yang bermanfaat pada masa sekarang dan mungkin yang akan datang.

Membaca Bulang Cahaya memang cenderung lebih mengasyikan ketimbang mengerutkan kening. Pengarang memang tidak bermaksud mengajak pembaca berpusing-pusing mencerna isi novel namun lebih cenderung membetot perasaan, simpati dan empati pembaca dengan menyuguhkan sebuah kisah cinta di balik wiracarita. Dengan kata lain baik secara struktur maupun gaya bercerita novel ini tampil dengan sederhana dan tak mau berumit-rumit sehingga mudah untuk dicerna dan dihayati oleh pembacanya. Secara struktur novel dikembangkan dengan pola cerita berbingkai seperti dalam cerita Kisah 1001 Malam.
   
Dimulai dengan bagian Prolog sebagai bingkai awal dimana tokoh pencerita bernama Raja Ihsan mendapatkan kiriman naskah kuno dari sahabatnya dari negeri Belanda. Isi naskah kuno inilah yang menjadi isi novel Bulang Cahaya, tentang kisah asmara tokoh Raja Jaafar dengan puteri Tengku Buntat yang tak berkesampaian karena faktor politik dan kekuasaan, sampai Jafaar menjadi Yang Dipertuan Muda hingga “berhasil” membalaskan dendam cintanya dengan menggagalkan suami mantan kekasihnya menjadi Sultan dengan cara mengangkat adik tirinya menjadi Sultan. Jadilah novel ini  berbicara tentang tragedi cinta yang berkelindan, bersilangsengkarut bahkan berbenturan dengan kekuasaan dengan akhir yang sangat dahsyat: runtuhnya sebuah imperium besar bernama kerajaan Riau-Lingga.

Membaca novel ini mengingatkan kita pada cerita-cerita bersambung S.H Mintaredja yang sangat populer di harian Kedaulatan Rakyat Yogjakarta,  serial Api di Bukit Menoreh atau Keris Nagasasra-Sabuk Inten. Baik novel Bulang Cahaya dan Api di Bukit Menoreh hadir dengan struktur yang sederhana namun ceritanya lancar mengalir, memikat, membetot dan mengasyikan. Yang membedakan keduanya adalah setting ceritanya, kalau Api di Bukit Menoreh mengambil latar sosial budaya kerajaan Mataram Islam Jawa di era Panembahan Senopati (raja Mataram pertama), Bulang Cahaya bersetting sosial budaya kerajaan Riau menjelang keruntuhan kerajaan Riau.

Dalam novel ini pengarangnya seakan-akan membuat versi lain tentang Sejarah Melayu Lingga yang berbeda dengan versi yang sudah ada. Hal ini tampak ketika pengarang justru menempatkan tokoh Raja Djaafar sebagai tokoh utama sekaligus hero cerita. Dipilihnya tokoh Raja Djaafar sebagai hero dan tokoh utama dalam novel menjadi sangat menarik karena hampir semua versi sejarah dari buku-buku sejarah temtang Riau peranan Raja Djaafar (Jaafar) sebagai Yang Dipertuan Muda tidak dianggap dominan. Peranan Raja Djaafar dalam kitab Tuhfat al-Nafis ---yang dianggap sejarah “resmi” kerajaan Riau---- yang tampak menonjol dan “dipuji” hanya tampak ketika tokoh ini berhasil melaksananakan perintah Yang Dipertuan Besar (Sultan) Sultan Mahmud  untuk menagkap dan memenggal kepala seorang tokoh agama bernama Lebai Kemat yang berasal dari Minangkabau yang mengajarkan ajaran sesat bahwa ia adalah Tuhan.

Pemilihan tokoh Raja Djaafar sebagai tokoh utama, hero dan protagonis juga terasa menarik dan merupakan sebuah “keberanian” yang sangat “mencengangkan” mengingat selama ini dalam berbagai versi tentang sejarah Melayu Raja Djaafar selalu dicap sebagai tokoh antagonis penyebab keruntuhan kerajaan Ria-Lingga. Sedangkan yang selalu dianggap tokoh protagonis dan luar biasa adalah Engku Puteri Raja Hamidah adik dan saudara seayah dari Raja Djaafar, yang merupakan isteri keempat Sultan Mahmud Marhum Besar (1803 M) yang berseberangan secara politis dengan Raja Djaafar. Bahkan dalam kitab-kitab babon sejarah Melayu semacam Tuhfat al-Nafis, Raja Djaafar disebut-sebut secara  langsung sebagai biang keladi runtuh dan terrbelahnya kerajaan Riau Lingga karena menobatkan Sultan Abdurrahman  putera tiri kedua Sultan Mahmud tanpa meminta persetujuan Engku Puteri sebagai pemegang regelia kerajaan.

Menurut berbagai sumber dari sejarah Melayu, regelia kerajaan atau alat-alat kebesaran adat istiadat dalam adat istiadat Melayu dianggap sakral dan keramat karena melambangkan kebesaran dan kekuasaan yang berpengaruh pada kosmologi kesemestaan. Semua benda-benda regelia menjadi sangat penting pada saat pelantikan seorang raja atau Sultan. Penabalan atau penobatan seorang raja dianggap tidak memenuhi syarat, tidak bermartabat dan tak bermarwah apabila tidak disertai oleh kebesaran regelia ini. Dan Engku Puteri sebagai pemegang regelia kerajaan tidak bersedia melantik Sultan Abdurrahman atau Tengku Jumat sebagai Sultan. Namun dalam novel Bulang Cahaya dengan tegas dan mantap Raja Djaafar yang menjabat sebagai Yang Dipertuan Muda berani mengabaikan peranan alat-alat regelia kerajaan, seperti termaktub dalam kuutipan berikut:

“Baiklah kalau begitu. Sebagai  saudara tua dan sebagai Yang Dipertuan Muda,
 kakanda sudah sampaikan apa yang patut kakanda katakan. Kakanda telah
 memutuskan akan tetap menabalkan Tengku Jumat sebagai Sultan Riau,
 meskipun hanya dengan sehelai bulu ayam yang diletakkan di belakang
 kepalanya. Sekarang kita bersurai!” Suara Djafar keras dan tajam. Belum pernah
 dia sekasar itu kepada adiknya Engku Puteri (hal. 283).

Sebaliknya pula, tokoh Engku Puter Raja Hamidah sangat mengagungkan marwah kerajaan. Pelantikan seorang raja tanpa kebesaran relegia kerajaan sama dengan mempermalukan kerajaan, membuat kerajaan kehilangan marwah dan martabatnya, seperti terkutip di bawah ini:

“Bentangkan layar. Pulang ke Penyengat. Biarkan beta yang menanggung
 akibatnya. Hanya ini lagi yang menjadi marwah kerajaan. Kalau regelia inipun
 sudah digunakan untuk yang salah, tak ada lagi gunanya. Tak ada  lagi marwah.
 Tak ada lagi adat kerajaan. Biarkan Raja Djaafar yang menanggung beban hinaan
 Itu,” katanya kepada para hulubalang, pengawalnya. Suaranya melengking tinggi.
 Penuh kemarahan. Air matanya meleleh di sudut matanya … (hal. 311).

Sejarah memang akhirnya mencatat bagaimana perseteruan Sultan Husin (Tengku Long) deengan adiknya Sultan Abdurrahman (Tengku Jumat) akhirnya melibatkan pihak-pihak asing. Tengku Husin meminta bantuan pihak Inggris dan Abdurrahman meminta bantuan Belanda. Sultan Husin yang tetap berambisi menjadi Raja Riau meminta bantuan pihak Inggris untuk mendapatkan dan merebut  regelia, konon kabarnya dengan pihak Inggris Sultan Husin menerapkan money politic dengan mengkompensasikan regelia kerajaan dengan uang sebesar 50.000 ringgit Spanyol, sedangkan Sultan Abdurrahman menerapkan paksaan dengan meminta bantuan pasukan Belanda untuk menguasai Pulau Penyengat dan mengepung istana Engku Puteri. Dan pada tanggal 13 Oktober 1822 regelia kerajaan tanpa restu dari empunya, Engku Puteri Raja Hamidah dapat direbut Belanda dan digunakan melantik kembali Abdulrrahman sebagai Sultan Riau. Setahun kemudian, Trakat London memecah kerajaau Riau Lingga menjadi dua belahan, Tumasek menjadi wilayah dalam pengaruh Inggris dan Riau di bawah pengaruh Belanda. Meskipun Tengku Husin  dengan bantuan Inggris dapat menjadi raja di Tumasek akhirnya kelak Tumasek jatuh seutuhnya di tangan Inggris dan berganti nama menjadi Singapura. Di Riau, Abdurrahman dan Raja Djaafar juga takluk di bawah kaki Belanda.

Dengan sentuhan imajinasi dan estetis, novel ini seakan-akan memberikan lakon carangan baru tentang runtuhnya kerajaan Riau-Lingga. Tokoh-tokoh dalam sejarah yang cenderung ditampilkan secara mutlak, secara hitam-putih dalam novel dihadirkan sebagai manusia utuh yang memiliki kompleksitas jiwa dan watak. Tokoh-tokoh seperti Raja Djaafar dihadirkan sebagai sosok manusia yang selain tokoh yang berwatak tegar juga dihadirkan sebagai manusia yang pada satu titik bisa menjadi lemah dan putus asa. Demikian pula tokoh Engku Puteri, Sultan Mahmud Syah dan tokoh-tokoh lain. Dengan membaca novel ini pembacanya bisa menyelami dan menilai tokoh Raja Djaafar tidak saja semata-mata sebagai tokoh penentu sejarah runtuhnya kerajaan Riau-Lingga namun juga dapat menyelami keterbelahan jiwanya, beban status dan kewajibanya serta beban karena rumitnya posisinya sebagai keturunan Bugis Melayu dalam konstelasi politik Raja-raja Melayu. Sekaligus pula pembaca dapat menyelami kesakitan hati dan penderitaan batin akibat campur tangannya kekuasan dan politik dalam kehidupan cinta seorang sosok manusia.