Selasa, 08 Oktober 2024
Oleh: Tjahjono Widjanto
kau dan tubuhmu
adalah bandar bangsawan
segala pedang berhulu panjang
berperang berebut perawan
di tiang kerajaan
di liang kematian
…
(Akulah Penyamun Sirih Besar: Marhalim Zaini)
sudah tahu peria pahit
mengapa digulai dalam pasu
sudah tahu bercinta sakit
mengapa tak jera dari dahulu
(Pantun Melayu Lama)
Sudah semenjak awal kelahiran sastra Indonesia modern banyak sastrawan yang memanfaatkan peristiwa kesejarahan sebagai sumber inspirasi kreatifnya. Dimulai dengan Abdoel Moeis pada masa Balai Pustaka, ditulislah dua buah roman berlatar sejarah: Surapati dan Robert Anak Surapati. Setelah dua roman ini segera dikuti dengan roman atau novel berlatar sejarah lain mulai dari Hulubalang Raja (Nur Sutan Iskandar) hingga era yang lebih modern seperti novel Roro Mendut (Ajip Rosidi), Genduk Duku, Lusi Lindri (J.B Mangun Wijaya) dan novel-novel sejarah Pramoedya Ananta Toer seperti Bumi Manusia, Anak semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca, Panggil Aku Kartini Saja, dan Arus Balik.
Dalam mengolah peristiwa kesejarahan tersebut sastrawan sebagai sang kreator dihadapkan pada dua pilihan. Pilihan pertama pengarang berada atau mengambil posisi yang “linear” dengan sejarah yang dianggap “resmi”, sedangkan pilihan kedua, pengarang mengambil posisi berseberangan dengan sejarah “resmi”. Pada pilihan pertama, pengarang lebih berperan sebagai tukang cerita masa silam. Sedangkan pilihan kedua memposisikan penulisnya untuk mengkritisi sejarah yang resmi atau bahkan menciptakan versi lain dari sejarah sebagai sebuah tandingan dari sejarah itu sendiri.
Pada pilihan pertama pengarangnya cenderung hanya sebatas menggali atau mengungkapkan sejarah sebagai sebuah peristiwa belaka yang tak beranjak dari sejarah resmi. Roman Surapati dan Robert Anak Siurapati merupakan contoh dari pilihan pertama ini di mana pengarangnya tidak beranjak dari sejarah resmi versi kolonial Hindia Belanda saat itu. Tokoh Untung Surapati tidak tampil sebagai hero, justru yang tampil sebagai hero adalah tokoh Robert anak kandung Surapati hasil perselingkuhannya dengan noni Belanda bernama Zusana. Hal ini berbeda dengan pengarang pada pilihan ke dua. Pada pilihan ini pengarang mengolah sejarah lebih eksploratif. Seajarah “resmi” tidak dianggap sebagai realitas tunggal yang mesti paling benart dan paling sahih, justru pengarang cenderung mengolah sejarah sebagai salah satu realitas yang harus dipertanyakan kembali.
Novel Bulang Cahaya karya Rida K Liamsi merupakan sebuah teks sastra yang terinspirasi sekaligus mencoba mengolah sejarah kerajaan Riau-Lingga yang membentang dari kepulauan Riau sampai ke pantai timur semenanjung Malaysia. Sebagai sebuah novel yang mengolah sejarah, novel ini dapat dikategorikan pada pilihan kedua yang mencoba menafsirkan sejarah dengan caranya sendiri. Meskipun tentu saja karena memang diniatkan sebagai sastra sejarah, pengarangnya mempelajari berbagai sumber sejarah Kerajaan Riau Lingga seperti Tuhfat an Nafis karya Raja Ali Haji, Silsilah Melayu Bugis, dan Sejarah Riau. Tulisan pendek ini mencoba menelaah serba sedikit novel ini dengan melihat kaitanya dengan sejarah Kerajaan Riau-Lingga.
***