Senin, 14 Oktober 2024
Karya sastra merangkum berbagai persoalan kehidupan. Persoalan-persoalan tersebut menyangkut kehidupan (manusia) sosial sebagai mikrokosmos, lingkungan alam sebagai jagad raya (makrokosmos), dan aspek transendental (ke-Tuhan-an). Persoalan-persoalan itu bisa dalam bingkai terpisah-pisah (split frame), bisa pula membentuk bingkai kesatuan (unity frame).
Sastrawan meramu bingkai-bingkai persoalan tersebut dengan kejeniusan linguistik yang dimilikinya. Bahasa-bahasa yang unik selalu saja tumbuh dari pena para sastrawan sebagai media prasyarat perkembangan kebudayaan (peradaban).
Perjalanan Kelekatu telah menghidangkan berbagai bingkai persoalan kehidupan. Dalam hal ini, Rida mengakui bahwa sebagian besar puisi-puisinya dalam ontologi ini merupakan hasil dari perjalanan fisik dan batin. Secara fisik, hasil dari perjalanan penyair ini telah merekam berbagai persoalan yang berkaitan dengan bingkai mikrokosmos dan makrokosmos. Secara batin pula, dengan penuh perenungan, penyair melakukan perjalanan menuju hal-hal yang berkaitan dengan sifat-sifat relegius, profetik (aspek transendental) sebagai perjalanan menuju cahaya ke-Tuhan-an.
Puisi-puisi (genre lain) memang tak bisa lepas dari persoalan kemanusiaan dan lingkungan alam. Sanghai Baby, Di Great Wall, Seekor Lumba-Lumba yang Ngembara, Surat Kepada GM, Percakapan Terakhir, dan beberapa puisi lain merupakan hasil perjalanan fisik Rida. Dari hasil perjalanan ini, penyair menangkap berbagai hal, yaitu (1) kerinduan kepada orang tua, (2) kerinduan kepada alam yang bersahabat, (3) penderitaan di suatu sudut kehidupan, (4) cinta, kebencian, ketakutan, kesetiaan, kerinduan, dan kesedihan, (5) kematian seseorang, (6) bencana alam. Puisi-puisi yang berkaitan dengan perjalanan batin Rida di antaranya juga berbaur dengan puisi-puisi di atas seperti Di Great Wall, Seekor Lumba-Lumba yang Ngembara, Percakapan Terakhir, Aceh Suatu Hari Sesudah Tsunami, Di Masjid Amir Hamzah, dan kuncinya terdapat dalam puisi Kelekatu.
Dalam kumpulannya ini, ada beberapa persoalan yang menyedot perhatian Rida secara khusus. Pertama, peristiwa air mata Tsunami yang menenggelamkan Aceh. Peristiwa ini menggugah manusia untuk tidak melupakan Tuhan. Setelah kata gempa (bahasa Melayu), muncul pula Tsunami yang mengerikan itu. Kata Hasan Junus, makna Tsunami sederhana saja, yaitu gelombang pasang, tetapi makna konotasinya mengerikan sekali. Bencana ini telah meluluhkan kesombongan kita sebagai makhluk lemah. Selain itu, Rida pun mengingatkan kita peristiwa teror ketidakamanan di Negeri Serambi Mekah itu. Puisi-puisi tersebut, yaitu Aceh Suatu Hari Sesudah Tsunami, Di Tebing Lauttawar, dan Di Tapaktuan Mereka Takut Menunggu Malam. Ketiga puisi ini juga mengandung nilai-nilai religius. Gambaran perhatian Rida ini dapat kita simak dalam kutipan puisinya berikut ini.
Di Baiturrahman,
Di ujung gerimis, setelah hujan tangis
Aku menyaksikan hamparan pualam yang muram di pucuk
malam
….
Di dekatku serasa beratus-ratus roh tiarap
Meratap
: Kamilah yang pagi itu hanyut bersama gelombang
Bergulung bersama pohon
….
(Aceh Suatu Hari, Sesudah Tsunami)
Di tebing Lauttawar, ternyata hari lewat dengan lebih hangat,
karena uap kopi yang gurih, suara jarring yang ditebar, dan
geliat ikan yang menggelepar, telah menyisihkan berita
televisi dan surat kabar. Di puncak Takengon, gempa
masih kerap menggampar, tapi pucuk-pucuk pinus masih bisa
berkelakar: Di sini Tuhan memang lebih sabar!
(Di Tebing Lauttawar)
Tuhan,
Di Tapaktuan kami kini takut menatap laut.
Sebab biru yang membentang harap, seketika bisa jadi misteri:
laut jadi hitam, laut jadi suru, laut jadi pekik kematian
Sebab, di ujung tanjung, telah lesap beribu-ribu cinta, telah
terkubur beribu-ribu mimpi.
sampai kini, tangisan kekanak, jadi belati menikam hati.
(Di Tapaktuan, Mereka Takut Menunggu Malam)
Kedua, peristiwa pencarian menuju cahaya Tuhan. Kehidupan memang merupakan suatu pencarian. Ini sangat padan kalau kita sandingkan dengan frase idiomatik Perjalanan Kelekatu. Bukankah suatu perjalanan merupakan suatu upaya untuk pencarian sesuatu? Pencarian yang dilakukan manusia bisa bersifat duniawi maupun ukhrawi. Kedua sifat perjalanan ini bertujuan untuk mencari kedamaian, kenyamanan hidup, ketenangan lahir dan batin, keharmonisan, dan kebermaknaan hidup.
Semua makhluk hidup pasti mati. Peristiwa kematian merupakan salah satu jalan pulang untuk menuju kehadirat Tuhan. Sebelum sampai pada waktu kematian, berbagai upaya dilakukan manusia sebagai makhluk. Upaya tersebut terkadang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Namun pada dasarnya, manusia adalah makhluk yang memiliki kebaikan. Puisi-puisi seperti Kedidi Kini Sendiri Pergi Mencari, Kelekatu, Di Jabbal Rahmah, Di Masjidil Haram setelah Menara Zamzam, dan Perjalanan. Mari kita simak peristiwa pencarian dalam kutipan puisi berikut.
Kedidi
Kini sendiri
Pergi
Mencari
Mencari jalan pulang
….
(Kedidi Kini Sendiri Pergi Mencari)
….
Ada ketika kita menjadi kelekatu
Menunggu resa angin, menjadi isyarat musim
Memburu cahaya, dan gugur saat gelap gulita
Tapi kita tak tahu bila
Bila
BILA
(Kelekatu)
….
Sekarang, dari Jabbal Rahmah, aku ingat perjalanan bathin
ku: Tuhan, di bentangan padang seluas pandang, aku pernah
wukuf. Pernah bersujud. Pernah meratap. Pernah pasrah.
Pernah menyerah. Tuhan, aku malu…
(Di Jabbal Rahmah)
….
Di penghujung musim panas, ketika sisa siang masih panjang,
aku menyimpan cemas: adakah kelak perjalanan bathin ini masih
tetap menggetarkan, dan masih akan luluhkan sujudku di
pangkuan-MU. Labbaika…Allahumma…
(Di Masjidil Haram, setelah Menara Zamzam)
Perjalanan Kelekatu telah menjadi teman perjalanan hebat bagi dunia sastra Melayu, terutama dalam hal pengucapan-pengucapan estetik-simboliknya. Kaya makna, mengandung idiomatik-jenius kultur Melayu, bagai laut yang terhampar luas, dan ibarat padang yang seluas pandang. Sangat kuat dengan citraan visual (visual image), citraan gerak, citraan simbolik. Di samping itu, kokoh dengan pendeskripsian suasana sehingga ada beberapa puisi bersifat naratif.
Aku menyimpan cemas: adakah kelak perjalanan batin ini masih tetap menggetarkan,…*** (TAMAT)
Musa Ismail adalah guru SMAN 3 Bengkalis dan penulis.