Catatan dari Korea-ASEAN Poets Literature Festival (3-Habis)

Antara Geum Gang dan Saorak, Menyusun Batu

Budaya Kamis, 16 Desember 2010
Antara Geum Gang dan Saorak, Menyusun Batu

Oleh Rida K Liamsi

SAYA dan Nirwan Dewanto berangkat ke Korsel 1 Desember 2010 malam. Tapi sampai hari terakhir, kami masih bimbang memutuskan berangkat atau tidak dan terus bertukar informasi. Berita televisi masih terus menyiarkan cerita konflik Korea Selatan (Korsel) dan Korea Utara (Korut) yang makin  tegang dan memanas, apalagi setelah latihan bersama militer Korsel-Amerika Serikat. Berbagai demo dan pembakaran bendera, terus terjadi.

Saya sempat menelepon sebuah nomor di Korsel yang saya peroleh dari koran yang memberitakan keterangan pers Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan mengatakan nomor khusus itu siaga 24 jam untuk dihubungi kalau terjadi sesuatu di Korsel dan warga negara Indonesia perlu informasi cepat. Rupanya itu nomor khusus di KBRI Korsel, dan pejabat di sana dengan senang hati menjelaskan keadaan, dan meyakinkan belum terjadi hal-hal yang membahayakan. Mereka juga belum akan mengumumkan semacam travel warning band bagi kunjungan WNI ke Korsel. Nirwan juga kembali menyurati panitia pelaksana dan meminta informasi terakhir. Interpreter yang disiapkan untuk kami peserta Indonesia meyakinkan, bahwa Korsel aman. Yang terjadi di sana saat itu, menurut mereka hanya ‘’perang kecil’’ dan sudah sering terjadi.

Di pesawat Air Bus Korean Airline, ketika bertemu dengan Nirwan, kami saling bercanda. ‘’Kita kira, pesawatnya kosong, dan hanya kita yang terbang,’’ kata saya. Tapi kami lega karena pesawat penuh, dan bukan hanya oleh penumpang warga Korsel, tapi dari berbagai negeri termasuk dari Indonesia. ‘’Tidak cemas berangkat ke Korsel?’’ sapa saya pada seorang penumpang Indonesia. Dia tersenyum, dan angkat bahu, kayaknya seperti tak begitu peduli. Sayapun angkat bahu juga.

Di Bandara Incheon, setelah terbang enam jam lebih, keadaan memang biasa-biasa saja. Tak ada tentara yang hilir-mudik, atau tanda-tanda gawat lainnya. Padahal Incheon itu kota terdekat dengan pulau Yeong Pyong yang ditembaki Korut, dan kata berita televisi, ke sinilah  penduduk pulau itu diungsikan.

Di Seoul pun begitu juga.  Jalan-jalan penuh dengan orang bermantel tebal (dinginnya sudah tiga derajat celcius). Plaza dan pusat belanja tetap ramai. Matahari musim dingin ramah, dan angin dingin sesekali menyambar. Tajam dan pedih. Kami orang ASEAN sudah mulai menggunakan sarung tangan, topi woll, dan mantel. Menggigil memang, tapi bukan karena ancaman perang.

Selama lima hari di Seoul dan sekitarnya, kami juga dibawa ke Hwa Jin Po, sebuah kota perbatasan yang sudah amat dekat dengan garis perbatasan dengan Korut. Kami sempat melewati kawasan yang katanya di sanalah istana peristirahatan Presiden Korsel, dan di seberangnya lagi, di kawasan Korut, istana peristirahatan Presiden Korut. Kami juga melewati kawasan yang disebut kawasan unifikasi, tempat tukar-menukar tawanan. Memang kami tidak mendapat izin untuk masuk ke kawasan DMZ (Demarcation Militery Zone), tapi sepanjang kawasan perbatasan itu tak tampak para meliter berjaga. Sesekali ada truk tentara lewat, tapi hanya satu dua. Ada sebuah barak tentara yang kami lalui, tapi amat sepi. Memang kawasan Hwa Jin Po ini berseberangan letaknya dengan Seoul dan Pulau Yeong Pyong, lebih kurang lima jam bermobil. Tapi sama-sama di garis sempadan. Di sini, burung camar dan itik musim dingin masih bebas terbang dan tidak takut ditembak meriam. ‘’Di seberang sana itu ada peluru misil,’’ kata seorang teman penyair ASEAN berkelakar.
***

KONFLIK politik Korut dan Korsel itu memang sudah berlangsung lama, jauh sebelum perang korea 50 tahun lalu. Bahkan penerjemah saya yang mahasiswa Jurusan Ekonomi Manajemen di Han Kook University itu mengatakan, sengketa itu sudah ada sejak zaman dewa-dewa menguasai Korea dulu. Dari balik jendela kaca bus yang membawa rombongan menuju Kota Sokcho, tempat salah satu acara festival akan dilakukan (di bagian timur Korsel) dia menunjuk Gunung Geum Gang, gunung terindah di Korea, punya 12.000 puncak kecil, seperti bukit-bukit. Itu di Korut. Lalu Gunung Saorak, gunung tertinggi di Korsel.

‘’Dulu, dewa-dewa Korea pernah memerintahkan semua gunung-gunung di Korea berkumpul jadi satu di Gunung Geum Gang, di Korea Utara. Tapi gunung Saorak menolak, maka gunung Geum Gang marah. Sejak itulah sengketa Korut dan Korsel itu bermula,’’ katanya, menceritakan legenda yang dia terima dari ayah ibu, dan neneknya. ‘’Itu bukit Ulan, adalah korban sengketa dua gunung besar itu,’’ lanjutnya menunjuk sebuah bukit, berbatu cadas, yang indah di sore hari karena siraman cahaya petang. Bukit itu, kononnya ingin bergabung ke Gunung Geum Gang di Korut, tapi terlambat dan batas waktunya habis. Sedangkan mau kembali ke selatan ditolak oleh Gunung Saorak. ‘’Jadi dendam dan sengketa itu, mulai dari situ, dan  memang dulu begitu,’’ lanjut mahasiswa semester akhir itu.

Tapi, sebagai generasi muda yang tak lagi begitu peduli pada legenda dan asal mula sengketa, mereka menafsirkan konflik itu terutama karena perbedaan ideologi politik, antara komunis di Korut, dan demokrasi di Korsel. Dan juga, rasa iri, antara utara yang miskin dengan selatan yang makmur. Makanya, katanya, kalau ditanya kepada generasi muda Korsel apa mereka setuju Korut dan Korsel bersatu, mereka langsung menolak.   

‘’Kami tak mau memikul beban sejarah dan politik. Kami tak mau kemakmuran kami di selatan harus dikuras untuk kepentingan utara,’’ lanjut mereka. Karena itu, mereka juga tidak merasa terlalu peduli sampai kapan sengketa itu akan berlangsung. ‘’Kalau utara makmur, pasti gak ada perang. Mereka kan mestinya seperti Cina. Komunis, tapi liberal, makmur,’’ katanya sederhana.

Generasai muda Korsel sekarang mengejar kehidupan mapan. Makanya mereka setuju saja kalau pemerintahnya membangun perlindungan bagi negerinya, berapapun biayanya yang keluar, karena yakin konflik itu tak mudah untuk selesai.
 
‘’Kami punya sistem kehidupan bawah tanah. Subway,’’ katanya lagi, sebagai tempat berlindung, kalau perang nuklir sampai terjadi, atau peluru kendali Korut tiba-tiba menyerang seperti tembakan meriam artileri yang dilakukan pada Pulau Yeong Pyong. Di subway-subway mereka yang katanya saat ini hidup sampai pukul 12 malam itu, semua fasilitas hidup telah dilengkapi. Air bersih, listrik, pemanas udara, dan lain-lain, kalau memang kawasan itu harus jadi tempat perlindungan atau evakuasi. Kononnya siap menampung lebih 20 juta orang.

Seoul sekarang memang kota yang luar biasa majunya. Dalam waktu hanya 50 tahun sehabis perang, kota itu telah berubah menjadi kota megapolitan, yang apik, tertib, dan nyaman.  Setanding dengan Tokyo, Shanghai, dan New York. Jauh meninggalkan Jakarta yang masih tetap semerawut. Serangan suhu dingin saja, seperti tak begitu lagi mereka hiraukan karena sistem daya tahan musim dingin itu sudah mereka rancang berpuluh tahun, sebagai pengalaman menjadi negeri yang bermusim dingin, sejak zaman kekaisaran. Itu bisa dilihat di bangunan bekas istana kaisar zaman dulu, yang selalu dijadikan objek wisata di sana. Di Kuil-kuil dan restoran.

Seoul juga menjadi kota wisata baru di Asia Timur. Surga belanja (meski terbilang mahal), dan wisata budaya. Hampir semua warisan sejarah mereka tawarkan ke para pelancong. ‘’Kalau di Amerika ada Gedung Putih, di Korea Selatan ada Gedung Biru,’’ kata pemandu wisata yang membawa kami keliling Seoul di hari pertama, mulai dari bekas istana utama kekaisaran Korea sampai ke istana presiden yang berada dalam satu kawasan yang luas, sambung-menyambung. Bangunan, tradisi, dan informasi budaya, mereka kemas dan tawarkan di sana. Dan jutaan wisatawan datang ke sana.

Tapi satu wisata unik bisa ditemukan di kawasan Gunung Saorak, gunung kebanggaan mereka. Selain matahari sore yang indah, patung Budha yang menjulang (memang tak setinggi Garuda Wisnu Kencana di Bali), juga  ada tradisi menyusun batu, yang kata penerjemah saya, namanya Dol-Tap. Dan saya menamakan Batu Harap. Para pelancong, saat berkeliling, dapat menemukan ceruk-ceruk yang tenang dengan pepohonan rimbun, dan tumpukan batu. Silakan menyusun batu-batu, tumpukkan, terserah berapa tinggi, lalu jangan lupa berdoa, apa harapan dan mimpi Anda. ‘’Tapi harus tegak, tidak boleh rubuh,’’ lanjutnya.

Dan saya diajarkan menyusun batu harap itu oleh Ko Hyung Ryeol, Ketua Organizing Committe Korea-ASEAN Poets Literature Festival. Berkali-kali dia membetulkan letak batu saya, ikut memilih batu dan mengganti yang kurang bagus, sampai susunan batu kami jadi tegak dan kukuh. Dengan isyarat dia menyuruh saya berdoa. Dan saya tertawa.

Memang tradisi Dol-Tap itu, bisa ditemukan juga hampir merata di kawasan Seoul, di pinggir jalan yang lengang dan tenang. Bagai boneka-boneka, bagai stupa-stupa kecil, beratus-ratus banyaknya, berdempet-dempet. ‘’Tapi yang paling diberkati, menyusun batu di Gunung Saorak. Tokoh sastra Korea Han Jong Un pun memulai perjuangan dan mimpinya dari Gunung Saorak,’’ cerita pendamping saya. Dalam hati, saya menyimpulkan, begitulah orang-orang Korea, setiap saat berdoa, setiap waktu menyusun mimpi, setiap saat selalu optimis akan hidup yang lebih baik. Hanya bangsa yang terus optimis, yang terus berharap, dan terus memupuk mimpi yang yakin masa depan yang lebih baik akan datang.

Ketika selesai makan siang di Kuil Manhae Han Yong Uh, saat para peserta ASEAN diminta membuat puisi tentang apa kesan mereka atas perjalanan ke Korea itu, saya menulis sebuah puisi alit. ‘’Ini semacam haiku,’’ kata saya bercanda sambil menyerahkannya puisi itu pada panitia, dalam versi Indonesia dan Inggris:

Menyusun
Batu
Di gunung Saorak
Tegak
................
Pile up
The stones
At Mount Saorak
Stand Up

Di Seoul Tower, di pelatarannya yang luas di punggung bukit, saya menemukan tembok-tembok yang penuh dengan gembok yang terkunci. Tergantung, timpa-menimpa, dan ribuan banyaknya. "Ini lambang cinta yang tak pernah putus," kata penerjemah saya lagi. Ha ha ha, Korea.***