Senin, 14 Oktober 2024
Sumbangan terbesar dan terpenting kebudayaan Melayu kepada kebudayaan nusantara ini adalah bahasa Melayu. Di Indonesia, bahasa Melayu telah menjadi cikal bakal bahasa nasional, bahasa Indonesia. Di Malaysia, bahasa Melayu menjadi bahasa resmi. Di Singapura, meski terbatas, bahasa melayu tetap menjadi bahasa pergaulan baik dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial kemasyarakatan. Di Brunei pun demikian. Di Thailand bahagian selatan, bahasa Melayu masih menjadi alat komunikasi sehari-hari masyarakatnya. Bahkan sudah dilakukan berbagai upaya, agar bahasa Melayu dapat menjadi bahasa resmi di lingkungan negara-negara Asean, bahasa resmi di Perserikatan bangsa-Bangsa, mengingat ada lebih kurang 300 juta penduduk yang dikatagorikan sebagai rumpun Melayu. Tetapi, setelah bahasa Melayu, apa lagi yang telah disumbangkan oleh kebudayaan Melayu yang dinilai sangat penting dan monumental, sebagai ujud kebesaran dan keagungan dari tamadun Melayu itu ?
Memang agak sulit rasanya untuk menunjukkan secara nyata dan percaya diri, kontribusi lain kebuadayaan Melayu sekarang ini kepada kebudayaan nasional, regional maupun internasional. Di negeri yang tamadun Melayu masih kukuh dan menunjukkan keunggulannya, seperti Malaysia, yang secara ekonomi tampak lebih maju dan kukuh, mungkin akan ditemukan beberapa kontribusi yang bernilai strategis dan patut dipuji, terutama dibidang ekonomi, sains dan tehnologi. Tetapi, pencapaian cemerlang itu, sejauh mana sudah bergaung dan memberi pengaruh terhadap perkembangan sekitarnya, khususnya kawasan yang berbudaya Melayu, dan menunjukkan : Inilah Kebudayaan Melayu
Pencapaian Malaysia dalam bidang ekonomi itu, sebenarnya sebuah memontum yang baik, dan bagaikan gerbong dapat membawa kawasan sekitarnya untuk maju ke depan. Karena bagaimanapun sejarah sudah menunjukkan, bahwa yang membesarkan dan menyebarluaskan tamadun Melayu melalui bahasa Melayu ke seantero nusantara ini adalah para saudagar, para pelaut, para ulama, yang persebarannya didorong dan didukung oleh keunggulan ekonomi perdagangan. Keunggulan ekonomi yang dibangun dengan semangat kemelayuan dan berteraskan Islam yang sepatutnya menjadi faktor penggerak dan pendorong, yang memberi warna dan mempercepat ujudnya sistim dan keunggulan tamadun Melayu, sehingga jejak Melayu itu tampak di mana-mana.
Di Indonesia, dan kawasan rantau Asean umumnya, ujud keunggulan Malaysia dalam bidang ekonomi bisa dilihat dari sosok “khazanah “, imperium bisnis mereka yang kini merambah ke merata sektor ekonomi, seperti komunikasi, keuangan, perkebunan, dll. Tapi apakah kepiawaian dan konsep ekonomi Melayu moderen yang menyertai dan dikembangkan itu, bisa menjadi bahagian yang ikut membesarkan juga ekonomi rumpun Melayu yang lain? Episode ekonomi ini berhasil menunjukkan bahwa : Orang Melayu ternyata pebisnis handal.
Tapi, adakah dia mewariskan sebuah kekuatan kemelayuan yang dapat menjadi inspirasi rumpunnya? Saya khawatir keunggulan itu hanya ujud dari sebuah imprerialisme baru dibidang ekonomi yang nisbi norma-norma budaya Melayu sebenarnya. Kita tak bisa seperti kebudayaan Cina yang dikembangkan para Cina Perantau, yang dengan semangat kuningnya membangun solidaritas ekonomi dan budayanya. Kita belum bisa seperti imperium Yahudi, yang meski jumlahnya kecil tetapi menggenggam keuangan dunia.
Kita juga mengabaikan keunggulan tamaddun Melayu di bidang kemaritiman, baik ilmu maupun tehnologinya, yang tidak semua bangsa di dunia memilikinya. Rasanya sudah susah mencari jejak Melayu di samudera dunia ini. Keunggulan maritim itu kini tinggal menjadi warisan dan catatan sejarah. Itupun kalau masih ada yang mencatat dan menyimpannya di dalam mezium. Tapi dalam keseharian, keunggulan bahari itu, tidak dapat memberi inspirasi dan motivasi baru bagi masayarakat Melayu dalam merebut kembali laut dan samudera yang mengepungnya.
Bagaimana mungkin akan menguasai samudera kalau kita kini hanya bisa membuat kolek dan jongkong, bukan bahtera? Warisan sejarah dan peradaban kemaritiman yang dulu cemerlang, kini sudah membeku. Menjadi makalah, menjadi buku, menjadi artifak, dan menjadi sesuatu yang asing dan tidak mewariskan apapun generasi yang akan datang. Bandingkan dengan Korea selatan misalnya, yang berani membangun sebuah museum bahari yang megah di sebuah kota kabupaten. Mengumpulkan semua kerang-kerang, karang, dll. Setiap minggu anak-anak datang ke sana untuk belajar tentang laut, tentang karang. Kita mungkin ada, di Bagan Siapi-api.
Begitu juga dengan ilmu kewiraan yang dulu pernah membuat para penjajah seperti Portugis, atau Belanda menjadi gerun dan hormat terhadap keberanian dan keunggulan strategi perang orang-orang Melayu. Dulu Raja Haji Fisabilillah digelar Hannibal dari Timur, karena keberanian dan keunggulan strategi perangnya. Sekarang, Raja Haji Fisabilillah sudah diberi gelar pahlawan nasional, tapi keahlian perangnya, tak pernah dikaji lagi secara mendalam agar hasilnya disumbangkan kepada negara serumpun untuk menjadi referensi bagi pembangunan angkatan laut negeri melayu lain.
Kita pernah punya panglima perang laut yang sangat ditakutkan Belanda, yaitu Panglima Sulung dari Reteh. Tapi apakah anak-anak kita tahu tentang Panglima Sulung, sementara tak sebuahpun buku sejarah Melayu Riau itu kita tulis dan ajarkan di sekolah? Negeri yang melupakan sejarah, apakah masih percaya diri untuk mengatakan kita bertamaddun tinggi ?
Dan menurut saya, yang juga sangat tragis adalah di bidang bahasa dan sastra. Setelah menyumbang bahasa, lalu kebudayaan Melayu tampaknya berhenti melakukan inovasi. Pantun Melayu misalnya, sebagai karya sastra yang dulu sampirannya selalu membuat bulu kuduk berdiri, seperti
“Kalau roboh kota Melaka
Papan di Jawa kami tegakkan”
Kini, sudah kalah populer dengan pantun kilat ala Jakarta seperti
“Buah salak, buah kedondong
Jangan galak gitu dong“
Padahal pantun Melayu, bukan hanya sarat dengan metafor yang berlatarkan sejarah dan keluasan informasi, tetapi juga dengan filosofi yang menunjukkan ajaran hidup orang-orang Melayu. Masih beruntung kita punya tunjuk ajar Melayunya pak Tenas Effendi, yang menjadi masterpiece itu. Walaupun kita sadar, bahwa sebenarnya, Pantun Melayu ini mempunyai peluang sangat besar untuk menjadi kontribusi unggulan, setelah bahasa bagi perkembangan kehidupan kebudayaan. Tapi kini, tradisi berpantun itu sudah semakin hilang, dan sekali sekala muncul dalam bagian-bagian awal ataupun akhir saat kita memberi sambutan, yang terkadang sampirannya membuat kita mengurut dada.
Dengan beberapa contoh realitas seperti itu, apa yang dapat diharapkan untuk lebih memartabatkan tamadun Melayu itu ?
Pilihannya, memang adalah bagaimana mencairkan kebekuan warisan tamadun itu. Bagaimana jejak kecermerlangan dan keunggulkan budaya Melayu itu, dapat memberi inspirasi, memberi semangat, mendorong masyarakat Melayu untuk membangun kebersamaan dan solidaritas kaum yang lebih kuat dan kukuh. Bagaimana misalnya, mengajarkan sejarah dan kebudayaan Melayu itu sejak masih di bangku sekolah dasar, dengan cara-cara yang sangat moderen. Bagaimana membangun museum sejarah kebesaran Melayu dan budayanya? Bagaimana dulu Riau ada sebuah Malay Cultural Center yang akan dapat dijadikan pusat studi dan kajian bahasa dan budaya terkemuka. Di mana pihak-pihak yang memerlukan informasi dan studi lainnya, akan datang ke sana dan mengambil manfaat dari keberadaan institusi itu.
Rasanya, dalam sisa waktu sepuluh tahun ini, kita akan dapat melakukannnya, asalalkan kita focus dan tidak kehilangan orientasi. Beruntunglah kita masih punya seorang Mahyuiddin Al Mudra, seorang tokoh Melayu, yang dengan kepeduliannya terus berjuang mempertahankan keberadaan Lembaga Kajian dan Pengembamngan Kebudayaan Melayu, dan dengan Melayu Online nya telah menyebarkan Melayu dengan warisan buidaya dan pemikirannya ke seluruh dunia, tapi itu di Jogjakarta. Beruntunglah kita masih punya seorang Tenas Effendie, yang dengan ketekunan dan kepiawaiannya masih mewariskan buku-buku yang tak ternilai harganya tentang kebudayaan Melayu, tapi dia dielu-elukan di Malaysia dan mendapatkan pesta disana.
Pidato Kebudayaan Rida K Liamsi di Anugerah Seniman Pemuncak, Riau, 2010.