Dari Peluncuran Buku Ombak Sekanak dan Rose

Rida Dulu Gelisah, Kini tak Pernah Menyerah

Budaya Minggu, 13 Oktober 2013
Rida Dulu Gelisah, Kini tak Pernah Menyerah

PANGGUNG berukuran 12x6 meter di Ball Room Hotel Aryaduta yang menjadi panggung utama peluncuran Buku Ombak Sekanak (sebuah memoar) dan Rose (kumpulan puisi), Sabtu (12/10), berubah menjadi Kampung Bakong dan berbagai lokasi tempat Rida kecil menjalani hidupnya.

Sosok Rida yang dipe­ran­kan Jefry Almalay, terus me­ngi­sahkan perjalanan hidup­nya. Sebuah mesin ketik tua terus berbunyi disudut kiri panggung. Itulah gambaran Rida yang terus mencatat, menulis dan menulis kisah hidupnya dan sajak-sajaknya.

Rida (Jefry), terus me­ngisahkan kehidupan masa ke­cilnya yang susah. Saat sekolah dengan sepatu koyak, Rida (diperankan Erik) hanya me­mi­liki satu sepatu, berbau busuk. Sepatu itulah yang diganti dengan sepatu baru oleh gurunya, Gultom. Kisah itu, diceritakan dan  divi­sualkan dengan nyata.

Perjalanan hidup yang su­sah menjadi klasi kapal juga dikisahkan sedemikian rupa. Lima pria terlihat lalu lalang di atas panggung dengan memi­kul goni di punggung. Itu gam­baran Rida saat kerja se­ba­gai klasi kapal. Perjalanan hi­dup se­bagai klasi kapal bu­kan­­lah be­ra­da di satu pulau saja, tapi dari pulau ke pulau. Bertahun lamanya. Hidup su­sah sebagai klasi kapal ditu­turkan jelas oleh Rida (Jefry). Sakit badan, tangan lecet, punggung mengelupas dan masih banyak lainnya, te­rung­kap jelas.

Gesekaan suara biola yang mengalun syahdu, menambah suasana haru semakin haru. Kisah demi kisah diceritakan dengan jelas. Bahkan saat menjadi guru dan hendak me­ni­kahi calon istri tercinta, Asmini Syukur. Rida terpaksa meminjam cincin milik mak­ciknya untuk meminang sang calon istri.

Perjalanan menjadi seo­rang wartawan dan sampai akhirnya menjadi pengusaha media besar, juga terpapar. Puluhan spanduk kecil yang di­bawa puluhan penari, ber­lalu lalang di atas panggung. Itulah simbol Rida masa kini yang sukses dengan usahanya; so­sok pria yang taak pernah kenal kata menyerah.

Rida K Liamsi sesung­guh­nya,  duduk di bagian paling depan dari panggung. Rida du­duk bersama Menteri BU­MN Dahlan Iskan, tokoh mas­yarakat Riau Saleh Djasit dan masih banyak lainnya. Sesekali  Rida yang terlihat dari dua layar di kanan kiri panggung, terlihat tersenyum, men­ga­ng­guk dan tercenung panjang.

Puluhan spanduk ber­tu­liskan berbagai media itu men­jadi pertanda peluncuran buku Ombak Sekanak. Ke­mu­dian dilanjutkan pembacaan puisi Rose yang menjadi pertanda peluncuran Buku Rose.

Persembahan teater, mo­no­log, tari dan musik dengan durasi sekitar satu jam itu dibidani Marhalim Zaini se­bagai Sutradara, Syafmanefi Alamanda sebagai penata ge­rak (koreografer), Arman se­bagai komposer dan Alyusra sebagai penata multi media. Pastilah, kisah-kisah yang terlihat hanya sebagian besar dari beratus kisah yang tertulis dalam 300 lebih halaman yang ada dalam Buku Ombak Se­kanak.

Ratusan penonton se­ma­kin tak beranjak dari ruangan Ball Room Aryaduta saat Mur­parsaulian, Cornelia Agata dan Sutardji membacakan puisi dengan gaya mereka masing-masing. Cornelia membacakan dua puisi Rose berujung lagu, sedangkan Sutardji mem­ba­cakan dua puisi dengan te­rus dilagukan.

Sorak sorai pe­nonton terus bergemuruh hi­ng­ga puisi ber­judul Tem­puling dibacakan Rida dengan iringan biola yang mendayu. (***)