Senin, 14 Oktober 2024
Membaca Puisi Rumpun Melayu, Membaca Hati Nurani Melayu menjadi judul pidato kebudayaan sastrawan kenamaan Malaysia Ahmad Kamal Abdullah alias Dato’ Kemala pada miladnya ke-70 Tahun, yang jatuh pada 30 Januari 2011. Pidato yang menggugah dan bernas itu memberi nilai tambah pada acara yang bertajuk Baca Puisi Rumpun Melayu yang ditajanya 30-31 Januari 2011 di Kuala Lumpur, Malaysia.
Laporan TIM RIAU POS, Kuala Lumpur
“Ajaib, Unik dan Profetik” tiga kata inilah yang dilontarkan Dato’ Kemala dalam pidato kebudayaannya di Fakulti Bahasa dan Komunikasi Universiti Putra Malaysia (UPM), Kuala Lumpur. Bahkan dalam pidatonya, Presiden PENA asal negeri jiran itu menegaskan, tiga kata itu adalah kesan yang ditangkapnya sepanjang enam dasawarsa mengunyah dan menghayati puisi rumpun Melayu. Para pujangganya tumbuh dengan bobot dan bakat yang istimewa serta tak lapuk karena hujan dan tak lekang karena panas.
Di hari jadinya ke-70 Tahun, Dato’ Kemala mengundang puluhan penyair tiga negara serumpun (Indonesia, Malaysia dan Singapura), berkumpul dan berdiskusi tentang perjalanan puisi Melayu. Tidak hanya itu, ia juga mengajak mereka untuk membaca puisi di depan penikmat, pelaku dan pecinta sastra Kuala Lumpur pada hari pelucuran bukunya. Meski acara digelar secara sederhana, namun cukup memberi arti dalam keberagamaan pandangan penyair tentang Melayu.
Penyair undangan Dato’ Kemala yang hadir antara lain Rida K Liamsi (Riau- Indonesia), Sastry Bakry (Sumbar-Indonesia), Hermayulis (Jakarta-Indonesia), Sutrianto (Riau-Indonesia), Nazir Fahmi (Riau-Indonesia) dan Fedli Azis (Riau-Indonesia). Selain itu, dr Ir Wan Abu Bakar (Kuala Lumpur-Malaysia), Djazlam Zainal (Malaka-Malaysia), Hazwan Ariff Hakimi (Malaysia), Che Husna Azhari (Bangi-Malaysia), Rajeswari Seeta Raman (Malaysia), Zahiruddin Zabidi (Malaysia), Lili Siti Multatuliana Sutan Iskandar, Nimoiz Ty, Free Hearty, Hasimah Harun, Iqram Tetungau, Ahmir (Singapura) dan banyak lagi.
Sebelum pembacaan puisi, lebih dulu diawali dengan pelancaran buku atau peluncuran buku Meditasi Dampak 70 Kemala pada milad si Dato’ Kemala ke-70 Tahun oleh Dekan FBMK UPM YBhg Prof Madya Dr Che Ibrahim Salleh. Elu-eluan juga disampaikan Prof Madya Arbak Othman Khamal bertajuk Meditasi Dampak 70. Baca puisi perdana digelar di Dewan Besar Imam al-Ghazali komplek Masjid Abdul Rahman bin ‘Auf Batu Jalan Puchong, Kuala Lumpur.
Sastrawan kenamaan Riau, Rida K Liamsi diberi penghormatan untuk membacakan puisi pertama di helat tersebut. Ia pun membacakan puisinya bertajuk Tempuling. Dikatakan Rida dengan nada berseloroh, dirinya agak canggung membaca puisi di komplek masjid dan baru kali ini melakukannya. Namun pembacaan yang atraktif dengan vokal yang lantang dan jelas memberi warna pada pembacaan puisi pada milad Dato’ Kemala tersebut. Di hari pertama, Rida membacakan dua puisi dalam buku kumpulan puisinya Tempuling dengan tema laut.
Berturut-turut pula para penyair membacakan puisi-puisi sendiri maupun puisi penyair lain, baik karya penyair Malaysia sendiri, Singapura maupun Indonesia. Di hari pertama tersebut, Ahad (30/1) ditutup dengan dialog sastra yang langsung dipandu Dato’ Kemala. Diskusi berjalan alot karena setiap penyair menyampaikan pandangannya masing-masing, terutama tentang Melayu secara umum.
“Ini peluncuran buku kedua antologi puisi yang diterbitkan pada hari jadi saya. Sebelumnya, tepatnya 2010 pada hari jadi saya ke 69 tahun diterbitkan buku bertajuk Musibah Gempa Padang. Kedua buku ini merupakan antologi puisi Indonesia-Malaysia (nusantara) dan saya berharap pertemuan semacam ini tidak berhenti di sini saja, melainkan terus dilanjutkan agar dialog budaya serumpun kian berkembang dan diperhitungkan di dunia internasional,” ulas Dato’ Kemala, usai diskusi tersebut.
Gema Puisi Kado untuk Dato’ Kemala
Pidato Dato’ Kemala di Fakulti Bahasa Moden dan Komunikasi Universiti Putra Malaysia (UPM) pada hari kedua, Senin (1/2) cukup mengugah. Ditambah lagi, pidato tersebut memaparkan perjalanan dunia sastra, terutama puisi di kawasan nusantara yang pernah mencapai zaman keemasannya. Menariknya, Dato’ Kemala membuka pidatonya dengan membaca puisinya yang ditulis 1987 silam berjudul: MELAYUKU. Pohon rendang/atau/Punggur rebah/Berakar tunjang/atau Berbuah musibah?//Cucur, cucuri/Airmurni Islami/Di gurun-gurun/Hati/Cium, ciumi/Iktibar zaman/Bertasbih kasih//Di sini/Satu selalu/Jihad/Mengenal diri!
Pemenang SEA Write Award 1986 tersebut menegaskan, peran yang dimainkan para penyair rumpun Melayu sebagai pengendap, pemikir pada tamadun silam yang gemilang untuk mensinambungkan warisan itu dalam peta kebangkitan umat Melayu di gugusan pulau-pulau Melayu. Cita-cita seolah menyonsong arus geografi-politik yang sempit, maka sewajarnya baca Puisi Rumpun Melayu ini dijadikan wadah untuk merongkai benang kusut sepanjang dasawarsa yang lalu. Artinya, dalam kurun waktu setahun atau dua tahunan penyair dapat menilai kembali kemunduran atau kemajuan umat Melayu nusantara.
Penerima Anugerah Pujangga UPSI 2003 dan Anugerah Sastrawan Negeri Selangor Darul Ehsan 2005 itu menyebutkan, eksotisme itulah yang memikat bangsa-bangsa Eropa selain cengkeh, rempah, perak, emas, gading dan biji timah. Berapa juta lembar karya pujangga rumpun Melayu yang sudah dan sedang mengisi laboratorium ilmu pengetahuan seni-sastra dan budaya mereka hingga beratus sarjana persuratan Melayu sudah mereka lahirkan. Akibatnya, karena kelalaian, kealpaan dengan silap acuh tak acuh, kini harus berguru pada Eropa.
Karenanya kesadaran ini belum terlambat mencari hikmah dalam rumpun serai wangi dan pandan harum yang selama ini terbiar liar di halaman rumah rumpun Melayu. Para pujangga Melayu juga terbiar dan tidak diindahkan. Tentu saja sikap serupa itu tidak bijaksana. Khasanah sastra kita akan menjadi muflis sekiranya khasanah rumpun Melayu itu tidak terkaji dan diprakarsai dan Dato’ Kemala menutup pidatonya dengan mengatakan: Kita menanti sapaan dan tindakan praktis dari jauhari yang kenal manikam.
Usai membacakan pidatonya di depan petinggi UPM dan 50-an mahasiswa/i, ditambah puluhan penyair nusantara, pembacaan puisi kembali digelar. Kembali, Rida K Liamsi didaulat untuk membacakan karya-karyanya. Nampaknya, Rida mendapatkan tempat dalam membaca puisinya dengan membacakan dua puisi. Puisi yang berjudul Tangan cukup menyentuh hati dan mendapat aplaus dari semua orang yang hadir.
Kemudian berturut-turut pula penyair lainnya membacakan puisi-puisi karya sendiri maupun karya penyair nusantara. Hari itu, tiga mahasiswa/i asal UPM juga diberi kehormatan untuk membaca syair maupun gurindam.
Semua penyair yang membaca puisi menghadiahkannya pada Dato’ Kemala pada miladnya ke 70 tahun. Baik Rida K Liamsi, Wan Abu Bakar, Sastri Bakry, Sutrianto, Nazir Fahmi maupun Fedli sebelum atau sesudah membaca puisi menyebutkan, pembacaan puisi itu adalah kado bagi si Dato’. “Saya merasa tersanjung diundang ke sini dan membaca puisi pada hari jadi Dato’ Kemala,” kata Rida K Liamsi.
Usai baca puisi, Dato’ Kemala kembali mengatakan, agar kegiatan semacam ini tidak habis saat itu saja tapi terus digelar dengan menggilir tuan rumahnya, bisa saja di Indonesia (Riau, Sumbar atau Jakarta) atau di Singapura dan negara lainnya. Apalagi, baginya tautan emosional sastrawan rumpun Melayu adalah yang utama bagi sang Dato’. “Tautan penyair rumpun Melayu paling utama bagi saya tanpa membicarakan isu-isu politik yang penuh carut-marut,” akunya.
Ditanya tentang apresiasi sastra, terutama puisi di kalangan generasi muda Malaysia, Dosen Tamu Bahasa Melayu FBMK UPM itu menyatakan, para generasi muda Malaysia memang telah menyukai puisi, namun masih setakat ikut-ikutan. Karenanya, untuk lebih memasyarakatkannya, Dato’ Kemala yang senang mengembara ke berbagai negeri di dunia itu melakukan berbagai upaya seperti menggelar workshop, penerbitan buku-buku dan banyak lagi. Paling tidak upaya positif yang dilakukannya telah memotivasi dan melahirkan penyair di kalangan generasi muda di negeri jiran tersebut.
“Saya memang sudah tua, tapi semangat saya untuk memasyarakatkan puisi di kalangan generasi muda masih besar. Saya berharap, usaha ini diikuti banyak orang sehingga puisi-puisi terbaru karya generasi lebih muda muncul kepermukaan dan diperhitungkan,” tambahnya mengakhiri.***