Engku Puteri (Part IV)

Budaya Rabu, 09 September 2009
Engku Puteri  (Part IV)

Perempuan yang Melawan dengan Seribu Kata

IV. Melawan dengan Kata-Kata.

Tetapi peran dan eksistensi Engku Puteri sebagai sosok perempuan yang tegar, kukuh, dan berhati baja, dan melawan sekuat tenaga, untuk mempertahankan marwah dan martabat kerajaan Riau Linga sebagai sebuah negeri yang berdaulat, bukan hanya melawan kesewenangan kekuasan Sultan Riau Lingga Abdurrahman dan Yang Dipertuan Muda Raja Djaafar yang telah melanggar pantang dan menyepelekan adat istiadat, dan tidak menghargai pandapat dan nasehat sang pemegang Regelia. Perlawanan yang lebih keras dan lebih berat, adalah ketika ada kekuatan asing yang ingin merampas Regelia itu, bagi kepentingan kekuasaan dan politik mereka. Ini ditandai degan dua peristiwa penting, dan sangat historikal :

 

Pertama, ketika Inggris yang bertapak di Singapura, dibawah kendali Thomas Standford Raffles, dan tangan kananannya Mayor William Farquhar, mulai menjalankan politik kotornya untuk memecah belah kerajaan Riau Lingga. Mereka, memanipulasi perasaan kecewa Tengku Husin yang gagal menjadi Sultan Riau dan Kelompok Temenggung Johor yang merasa telah disingkirkan pihak Bugis, dengan cara mengangkat Tengku Husin sebagai Sultan Singapura. Untuk melantik Tengku Husin secara syah menurut adat istiadat Melayu sebagai Sultan, mereka berusaha untuk mendapatkan Regelia Kerajan Riau yang ada ditangan Engku Puteri, karena mereka tahu Regelia itu masih tetap ditangan Engku Puteri, dan belum direbut oleh lawan politik mereka, Belanda yang saat itu menguasai Riau Lingga dan sekitarnya. Mereka suruh Tengku Husin membujuk ibu tirinya Engku Puteri agar Regelia itu diserahkan kepadanya, karena dia akan dijadikan Inggris sebagai Sultan di Singapura. Mereka begitu yakin akan memperoleh benda pusaka itu, karena mereka tahu betapa sayangnya Engku Puteri pada Tengku Husin yang dulu dibelanya supaya menjadi Sultan Riau Lingga. Tapi, Engku Puteri ternyata menolak, karena menganggap tindakan anak tiri kesayangannyan itu, justru melanggar adat dan akan memecah belah kerajaan Riau. Raja Hamidah begitu kecewa atas prilaku anak tirinya itu.

 

Karena Tengku Husin gagal membujuk ibu tirinya, lalu mereka mencoba menyuap Engku Puteri dengan menawarkan sejumlah uang, sekitar 50.000 ringgit Spanyol, untuk menyerahkan Regelia itu. Engku Puteri tetap menolak, dan kali ini merasa sangat terhina oleh tawaran uang suap itu (Engku Puteri tak memerlukan uang itu, karena dia sendiri cukup kaya). Dia menganggap sikap arogan Raffles dan bawahannya Mayor Farquhar itu sebagai tindakan penjajahan dan mau merampas kedaulatan Riau melalui penguasaan Regelia kerajaan. Akhirnya, karena gagal memiliki Regelia itu, dan agar pelantikan Tengku Husin tetap bermakna secara adat, mereka sengaja mengantit (mencopot) perabung (bumbungan) istana Engku Puteri di Penyengat, dan dibawa ke Singapura, dan dijadikan simbol pelantikan. Tengku Husin akhirnya dilantik sebagai sultan Singapura oleh Inggeris (Februari 1819) dengan gelar Sultan Husin Muhammadsyah, dan sejak itu Kerajaan Riau Lingga yang kekuasaannya termasuk Johor Pahang dan Singapura, pecah dua. Riau Lingga dibawah Sultan Abdurrahman, dan Singapura, Johor dan Pahang dibawah Sultan Husin. Pemisahan itu menjadi lebih nyata sejak Traktat London, tahun 1824.

 

Kedua, ketika Belanda yang sudah bercokol kembali Di Riau Lingga setelah tahun 1815 (Perjanjian Wina) dan berbagi wilayah penjajahan dengan Inggris, mulai ikut campur dan membantu Sultan Abdurrahman untuk memiliki Regelia itu. Karena sejak dilantik jadi Sultan Riau Lingga (1812), Sultan Abdurrahman tetap belum merasa sebagai Sultan, meski sudah 10 tahun berkuasa, karena Regelia kerajaan itu belum dimilikinya. Karena itu, dia sempat merajuk dan meninggalkan Riau menuju Pahang, pertengahan 1822, dan mengancam tak akan kembali ke Lingga sebelum Regelia itu dimilikinya. Sultan memilih merajuk ke Pahang, meskipun sebenarnya dia dan Raja Djaafar dengan kekuasaannya bisa saja merampas Regelia itu dari tangan Engku Puteri yang tidak memiliki kekuasaan angkatan perang, serdadu dan senjata, namun mereka tetap tidak mau menggunakan kekerasan, dan merasa sangat kualat kalau sampai melakukan kekerasan. Mereka tahu, Regelia yang sakral dan sakti itu, akan kehilangan kuasa dan kesaksaralannya jika diambil dengan paksa, apalagi dengan darah.

 

Karena itu, pertengahan tahun 1822,setelah Sultan dan Yang Dipertuan Muda gagal membujuk Engku Puteri untuk menyerahkan secara sukarela regelia itu, maka Belanda, melalui Kapten Andrean Kock, memaksa Sultan dan Yang Dipertuan Muda, lalu mengirim utusan menghadap Gubernur Jendral Belanda, Gerard Philip Baron van der Capellen,di Batavia, untuk meminta bantuannya . Yang memimpin utusan itu, sengaja dipilih Raja Ahmad, adik Engku Puteri sendiri, untuk menunjukkan betapa kaum kerabat Engku Puteri di kerajaan Riau Lingga menentang sikap Engku Puteri yang enggan melepas Regelia itu. Lalu, orang lain yang dikirim ke Batavia adalah orang kepercayaan Raja Djaafar dan pelobi ulung, Sayed Zein al Qudsi.

 

Keputusan Belanda mengirim utusan itu, karena mereka sadar bahwa Inggeris bisa saja merebut Riau Lingga jika Sultan Abdurrahman yang merajuk ke Pahang itu, tiba-tiba berpaling tadah dan meminta Inggeris turun tangan, karena menganggap Belanda sendiri tidak mau membantunya. Karena itulah, maka Van der Capellen, lalu menugaskan Gubernur Belanda di Malaka, J.S.Timmermann Thijssen , agar dapat membantu membujuk Engku Pureri menyerahkan perangkat kebesaran adat itu, dengan cara mengundang Engku Puteri ke Malaka. Gubernur Jenderal Belanda di Batavia itu dikatakan juga telah mengirimkan sejumlah hadiah (seperti gramophone atau peti bernyanyi, kalung, benda benda kristal, dll ) melalui Gubernur Malaka, untuk melunakkan hati Engku Puteri. Tapi tawaran dan bujukan itu, meskipun diterima dan disimpan di istana Engku Puteri, tetapi janda Sultan Mahmud itu tetap menolak untuk menyerahkan Regelia kerajaan. Dia memberitahu Belanda bahwa Regelia Kerajaan Riau Lingga itu adalah kedaulatan sebuah negeri, dan Regelia itu hanya boleh dimiliki oleh sebuah kekuasan yang benar-benar menjunjung tinggi adat dan tradisi pemerintahan negeri Melayu.

 

Karena bujuk rayu tidak juga berhasil, akhirnya Timmerman Tijssen memutuskan menugaskan Andrean Kock agar mendapatkan secara paksa Regelia itu, dengan bantuan dari Graaf van Ranzow, Residen Belanda di Tanjungpinang dan pasukannya. Mereka lalu mengepung dan memaksa masuk ke istana Engku Puteri di Penyengat, dan memaksa Engku Puteri untuk menyerahkan Regelia itu. Bahkan, tak lama berselang, Gubernur Malaka Timmerman bersama sejumlah pasukan juga datang ke Penyengat. Dibawah todongan pistol, senapan dan ancaman kelewang (bahkan sebuah letusan pistol terdengar di istana itu ), mereka merampas Regelia itu dari tangan Engku Puteri. Perampasan itu terjadi di depan sejumlah pejabat tinggi kerajaan Riau Lingga. Engku Puteri diriwayatkan tetap melawan dengan cara mengecam prilaku tak terpuji Gubernur Malaka dan pasukannya itu, Regelia itu tetap dirampas secara paksa, dan perempuan berhati baja itu, yang ketika itu berusia hampir setengah abad, memang akhirnya tak berdaya mempertahankannya. Seakan dengan pekikan panjang, Engku Puteri telah memaklumkan kepada para serdadu dan Gubernur Malaka itu, bahwa Regelia yang sakral itu, telah kehilangan kesaktiannya, begitu dia diambil dengan paksa dan dirampas dari tangan orang yang telah menjaganya sepanjang usia. Kemarahannya itu, sangat terasa dalam salah satu bahagian dari suratnya kepada Gubernur Jenderal Van Der Capellen, Desember 1822 (tiga bulan setelah Regelia itu dirampas), sebagai protes cara-cara kasar yang dilakukan oleh Gubernur Malaka itu.

 

Jikapun dalam surat itu, Engku Puteri terkesan bicara dengan sopan dan hormat, namun itu, dapat ditafsirkan sebagai siasat, agar peristiwa perampasan dan perlawanannya kepada Belanda itu tidak berimbas kepada sanak saudaranya yang lain, khususnya adiknya Raja Ahmad. Engku Puteri ingin resiko perlawanan itu dia tanggung sendiri, karena itu adalah bahagian dari perjuangan dan perlawanannya menegakkan marwah kerajaan melayu Riau Lingga, dan menjalankan amanah dari sang suaminya Sultan Mahmud. Suatu pembangkangan yang tak kurang dari 10 tahun lamanya, semenjak Sultan Mahmud mangkat. Engku Puteri menyaksikan betapa menderitanya adiknya Raja Ahmad yang terpaksa harus menjalankan tugas yang serba salah itu. Dia tahu adiknya sempat jatuh sakit ,parah dan hampir maut, dalam perjalanan pulang dari Batavia menghadap Gubernur Jendral Belanda itu.

 

Regelia itu, dibawa ke kantor Residen Belanda di Tanjungpinang, dan disimpan disana. Kemudian, Sultan Abdurrahman pun pulang dari Pahang, setelah mendengar Regelia itu sudah jatuh ke tangan Belanda, dan akan diserahkan keapadanya. Dan November 1822, Sultan Abdurrtahman pun dikukuhkan sebagai Sultan Riau Lingga dengan Sirih Besar dan perangkat Regelia lainnya. Dalam catatan sejarah dikatakan, pelantikan itu berlangsung dengan sangat sumbang, dan menyimpang dari berbagai adat resam negeri Melayu. Sepuluh tahun kemudian Sultan Abdurrahman meninggal, setelah setahun sebelumnya didahului kepergian Yang Dipertuan Muda Raja Djaafar. Setelah kejadian itu, bala dan bencana nyaris terus menerus menimpa kerajaan Riau Lingga, dan silih berganti kejatuhan terjadi. Mulai dari kezaliman Belanda memakzulkan Sultan Riau Lingga, seperti Sultan Mahmud Muzaffarsyah, 1857 (setelah 17 tahun memerintah) dan Sultan Abdurrahman Muaazzamsyah, 1911 sultan terakhir Riau Lingga. Maka berakhirlah imperium Melayu ini, dengan sejumlah jejak sejarah yang gemilang, cemerlang, dan juga kepedihan.