Sabtu, 02 November 2024
Laporan FEDLI AZIS, Pekanbaru
SETIAP grup yang tampil memiliki kelebihan dan kekurangan, sesuai dengan pemahaman dan pemaknaan para pengkaryanya. Cara mereka mengaplikasikan kolaborasi puisi menjadi seni pertunjukan juga berbeda-beda. Beragam makna dan karya yang dibentang menjadi bervariasi di gedung teater tertutup Anjung Seni Idrus Tintin.
Helat seni bertajuk Lomba Kolaborasi Puisi yang digagas dan diprakarsai DKR tersebut diikuti sebanyak 20 grup dari berbagai daerah di Riau. Mereka bersemangat dan tampil total untuk memperlihatkan hasil terbaik dari proses penciptaan yang mereka lakukan selama beberapa waktu. Jadilah panggung di gedung megah itu sebagai laman bermain antara sajak yang dipadu dengan percabangan seni lain seperti teater, tari, musik, dan seni rupa.
“Kami cukup bangga dengan minat dan apresiasi para peserta yang ambil bagian dalam lomba ini. Sebuah ajang uji bakat para pekerja seni dalam menciptakan karya seni pertunjukan yang berangkat dari sajak,” ungkap Ketua Umum DKR Kazzaini Ks di malam pembukaan helat tersebut, Jumat (28/6) yang dihadiri sastrawan ternama Rida K Liamsi dan Kepala Dinas (Kadis) Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Riau Said Syarifuddin.
Helat itu dibuka Said Syarifuddin dengan menabuh kompang didampingi Rida K Liamsi dan juga Kazzaini Ks. Lomba yang pertama kali digelar DKR dan bahkan institusi lainnya di Riau itu juga mendapat apresiasi tinggi dari warga kota bertuah Pekanbaru sekitarnya. Terbukti dengan ramainya penonton yang memadati tempat duduk di gedung tersebut. “Lomba ini perlu dilaksanakan secara rutin untuk memotivasi pekerja seni di Riau. Dan ini sejalan dengan visi Riau 2020 yang berazam menjadikan Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu di bentangan Asia Tenggara. Pemerintah daerah, melalui dinas kami mendukung penuh upaya positif yang dilakukan DKR ini,” ulas Said Syarifuddin.
Dominasi Teater
Lomba tersebut telah usai dan 10 peserta masuk dalam penjaringan dewan pengamat yang berjumlah lima orang, sesuai dengan percabangan seninya. Untuk menilai bidang sastra dipercayakan kepada sastrawan Saukani al Karim, teater dipercayakan kepada Musrial al Hajj, musik kepada Zuarman Ahmad, seni rupa pada perupa senior Dantje S Moeis dan tari diemban Syafmanefi Alamanda. Kelima dewan pengamat mengaku memiliki hak otonom sesuai dengan bidangnya tidak bersidang untuk mendapatkan kesepakatan terbaik menurut perdebatan yang alot. Mereka hanya bersepakat untuk memenangkan peserta yang meraih nilai tertinggi dari hasil gabungan semua penilaian menurut selera masing-masing.
Menurut Saukani al Karim, dewan pengamat menyebut lomba tersebut, setelah menyaksikan selama dua malam berturut-turut, sebagai opera puisi karena karya seni pertunjukan yang dibentang merupakan gabungan dari berbagai percabangan seni. Khusus untuk sastra, diulasnya, sebenarnya apa pun yang terjadi di atas panggung, karena lomba tersebut menyebutnya dengan kolaborasi puisi, seharusnya para sutradara setia pada teks puisi itu sendiri. Apalagi karya yang diciptakan berangkat dari teks puisi, bukan teater, tari, senirupa dan musik namun banyak sutradara tidak setia dan justru bukan memperkuat teks, melainkan mengaburkannya. Makna yang ingin disampaikan dalam teks puisi menjadi lemah, bahkan ada beberapa sutradara yang salah tafsir.
“Sutradara musti cerdas, cermat dan ketat dalam menggunakan teks puisi agar karya puisi yang dipanggungkan tidak merusak puisi itu sendiri. Lomba selama dua malam ini, harus diakui, dominasi teater begitu terlihat dan terasa. Karenanya, kami sepakat menyebutnya sebagai opera puisi, bukan kolaborasi puisi,” papar Saukani panjang lebar.
Benar adanya. Sebagaian besar peserta lomba tersebut diikuti komunitas-komunitas teater seperti Teater Matan, Blacan Art Community, Sanggar Keletah Budak, Rumah Sunting, Latah Tuah, Teater Senja SMAN 5 Pekanbaru, Sanggar Pusaka SMKN 1 Pekanbaru, Sanggar FIB Unilak, Teater Ketjik, LNd Dance Theatre Tembilahan, Sanggar Seni Bungo Cempako Rohil, Komunitas SMAN 2 Tambang Kaampar, dan seterusnya. Hanya dua saja komunitas dengan latar belakang musik SMAN 1 Pekanbaru dan Khamsa Project. Keluar sebagai pemenang pertama LNd Dance Theatre Tembilahan dan diikuti Teater Matan diurutan kedua serta SMKN 1 sebagai juara ketiga. Untuk tujuh pemenang non rangking diberikan kepada Blacan Art Community dan Kelateh Budak (asuhan Teater Selembayung), Teater Senja SMAN 5 Pekanbaru, FIB Unilak, Komunitas Ketjik, Sanggar Latah Tuan UIN Susqa serta Rumah Sunting.
Paling tidak, ke 10 grup tersebutlah yang mendekati penilaian sebagai karya kolaborasi puisi. Sedang lainnya, juga sudah bisa dikelompokkan ke arah kolaborasi puisi, namun belum maksimal dan satu atau dua percabangan jauh lebih mendominasi. Bahkan ada pula yang salah menafsirkan maksud serta tujuan yang diinginkan dalam penciptaan karya bernama kolaborasi puisi. Karenanya, pihak DKR mengharapkan, ke depan, peserta tidak hanya bertambah banyak, juga mampu menafsirkan maknanya secara apik.
Dantje S Moeis menambahkan, sebenarnya yang terpenting pada lomba ini, peserta seharusnya mengenal dulu secara baik makna dari kata kolaborasi puisi itu sendiri. Dalam kontek lomba ini, seni-seni di luar sastra, dalam hal ini sajak, diikutsertakan terlibat pada sebuah pada karya puisi yang dipilih untuk dibacakan. Secara sederhana, bahwa karya seni yang terlibat mendapatkan porsi untuk memaknai puisi ke dalam bentuk seni pertunjukan. Di lomba tersebut, ungkap Dantje, masih adanya proses segmentasi yang memberi porsi lebih pada satu atau dua percabangan seni sehingga karya itu lepas dari makna puisi yang dibawakannya. Di sini, makna puisi jadi terabaikan.
“Durasi atau rentang masa tampil pada beberapa karya terlalu panjang sedang sajak yang dibacakan pendek. Selain itu, tentu saja kemampuan menginterpretasi yang masih lemah sehingga menurunkan kekuatan makna puisi yang seharusnya makin dipertajam,” kata Dantje yang juga mengharapkan, ke depan diadakan workshop atau pelatihan terlebih dahulu sebelum lomba.
Sebelumnya, Kazzaini Ks mengatakan, lomba tersebut merupakan rentetan acara menjelang helat Hari Puisi Indonesia yang nantinya jatih pada 26 Juli 2013. Riau sebagai tempat digagasnya dan pemakarsa Hari Puisi Indonesia pada Juni 2012 lalu tahun ini melaksanakan lomba kolaborasi puisi. Sedang provinsi-provonsi lain juga merespon dengan berbagai perheletan seni di daerah masing-masing, termasuk Jakarta.
“Ini upaya untuk memuliakan dan memasyarakatkan puisi ke tengah-tengah masyarakat. Kita juga mengharapkan, provinsi-provinsi lain lain di Indonesia juga melakukan hal serupa sehingga puisi makin diminati, bahkan dirasakan masyarakat luas sebagai salah satu bentuk karya yang bisa mencerahkan dan meluruskan nurani manusia,” tambahnya.***