Selasa, 29 April 2025
BATAM (RIAUPOS.CO) - Peradaban atau kebudayaan sebuah bangsa bisa bertahan, besar, dan bermartabat jika ditopang oleh kekuatan kekuasaan yang juga besar. Begitu pula, untuk menegakkan kebudayaan Melayu, perlu pancang atau penyangga yang juga kokoh. Satu di antara pancang itu terletak pada kekuatan di bidang ekonomi. Terlebih, jika ekonomi itu dibangun bersama oleh bangsa-bangsa yang mendiami kawasan serumpun Melayu.
Pernyataan itu mengemuka dan disampaikan oleh Budayawan Melayu, Rida K Liamsi saat menjadi narasumber di acara Dialog Kawasan Selatan pada kegiatan Kenduri Seni Melayu ke-17, yang diadakan sempena Hari Jadi Kota Batam yang ke-186.
“Tak ada tamadun besar yang lahir dari bangsa yang miskin dan tak berdaya. Karena itu harus ada pancang-pancang ekonomi rumpun Melayu yang tegak terpacak,” ujar Rida di hadapan para budayawan, sastrawan dan masyarakat umum yang mengikuti acara tersebut di Kantor Wali Kota Batam, Sabtu (5/12).
Dengan kuatnya pondasi Melayu di bidang ekonomi, bos media di wilayah Sumatera itu meyakini berbagai benteng geopolitik yang menyekat dan mengepung rumpun Melayu saat ini akan rontok dengan sendirinya. Bahkan, kata Rida, jalinan yang ada akan berganti menjadi rajutan solidaritas yang kuat serta memiliki visi seirama untuk mengangkat martabat Melayu agar dapat bersanding dengan rumpun-rumpun bangsa lain di dunia. “Tahun 2016 nanti momentumnya. Karena dengan kesepakatan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), maka semua sekat dan pintu ekonomi antar negara Asean sudah terbuka dan bisa ditembus,” ujar Pendiri dan Pembina Yayasan Sagang, Yayasan Jembia Emas dan Yayasan Hari Puisi Indonesia tersebut.
Rida juga mengingatkan, pentingnya kebersamaan dalam membangun sinergitas potensi yang ada di antara bangsa rumpun Melayu. Karenanya, Chairman Riau Pos Group itu mencetuskan ide agar menghidupkan kembali gagasan Perhimpunan Saudagar Melayu.
Forum itu, kata ia, diharapkan berkontribusi jadi salah satu penopang finansial berbagai kegiatan maupun pengembangan budaya Melayu di tanah serumpun. “Perhimpunan ini bisa melahirkan sebuah lembaga pendidikan dan pewarisan nilai-nilai budaya Melayu, mungkin sebuah perguruan tinggi yang keunggulan keilmuannya menjadi tapak bagi putra-putri kita kelak di rumpun Melayu untuk menimba ilmu. Biar jejak melayu tak hilang di dunia,” paparnya.
Usul Rida itu bersambut. Meski masih dalam tataran kecil, para budayawan dan sastrawan dari negara serumpun Melayu di kawasan selatan itu menyepakati pembentukan Sekretariat Bersama Lembaga Persuratan Melayu.
Lembaga ini meluncurkan kesepakatan pembinaan kebudayaan Melayu Serantau, serta bersepakat untuk menghimpun dana. Saat itu juga, terkumpul donasi hingga Rp20 juta. Dana itu jadi bekal untuk penerbitan naskah tentang budaya Melayu yang dihimpun bersama, baik untuk cetak mapun penerbitan digital.
Pada fase pertama ini, sekretariat lembaga itu disepakati untuk berada di Johor Bahru, Malaysia. Namun, sekretariat ini akan berpindah setiap tahunnya. Batam dan kota lain di Indonesia yang berada di kawasan serumpun Melayu berpeluang ditunjuk sebagai sekretariat pada periode-periode mendatang. Kuatnya hubungan antar bangsa serumpun juga jadi sorotan Wali Kota Batam, Ahmad Dahlan saat didapuk membuka acara. Menurut penulis buku Sejarah Melayu itu, hubungan antar negara yang berada di wilayah serumpun Melayu, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia pernah mengalami pasang-surut sejak masa lampau. Namun, jejak naik-turunnya relasi itu dinilai sebagai penguat jalinan hubungan bangsa Melayu pada masa kini. Ia mengungkap sejak era kolonial, hubungan dunia Melayu sempat terkooptasi. Pasalnya, saat itu negara serumpun dikuasai oleh negara penjajah berbeda. Indonesia dijajah Belanda, sedangkan Singapura dan Malaysia oleh Inggris. “Tapi yang luar biasa, di antara tekanan kolonial itu, jalinan budaya Melayu tetap hidup,” kata Dahlan.
Tak hanya itu, peraih gelar doktoral dari University of Malaya, Malaysia itu juga menyebut hubungan bangsa serumpun juga kembali ditempa pasca kolonialisme beranjak dari bumi Melayu. Terutama, akibat pengaruh politik kawasan. Kala itu, rekatnya hubungan Melayu sempat hampir tercabik dengan memanasnya hubungan politik antara Indonesia dengan Malaysia. Bahkan, Dahlan menyebut Presiden Soekarno pada masa itu pernah melontarkan slogan “Ganyang Malaysia”. “Ganyang itu mungkin bisa diartikan dengan hancurkan. Kita yang tinggal di kawasan serumpun ini tentu sangat khawatir dengan seruan pemerintah pusat itu, karena kita sama-sama orang Melayu,” tutur Dahlan.
Namun, sambungnya, ujian itu mampu terlewati dengan baik, dan bangsa Melayu tetap hidup rukun. Karena itu, Dahlan berharap bangsa-bangsa serumpun Melayu terus bersatu, dan melahirkan ide-ide besar demi menggalang agar Melayu tetap lestari hingga kelak nanti. “Dengan gagasan besar dari orang Melayu, saya yakin takkan Melayu hilang di bumi,” ucap Dahlan.
Segendang sepenarian dengan itu, Ketua Gabungan Penulis Negara (Gapena) Malaysia, Dato’ Wira Prof Abd Latif Abubakar turut mengobarkan semangat bagi bangsa Melayu agar tetap menggalang solidaritas. Serta, tetap memupuk agar budaya Melayu terus hidup meski generasi berganti. “Walau seribu tahun, saya harap Melayu tetap terwarisi,” kata Dato’ Wira.
Ia juga meminta bangsa serumpun Melayu terus menelurkan karya, serta tetap peka dengan perkembangan zaman. Tujuannya tak lain, agar dialektika dan dinamisasi tamadun Melayu tetap sesuai dengan perkembangan zaman kekinian. “Apa yang memperkaya, itu digariskan, dan karya intelektual itu yang akan memperkaya kita,” paparnya.(rna/rpg)