Oleh : Rida K Liamsi

Mesjid Agung Mahmud Riayatsyah di Batam, Sebuah Kebijakan Bersejarah

Budaya Senin, 06 Januari 2020
Mesjid Agung Mahmud  Riayatsyah di Batam, Sebuah Kebijakan Bersejarah
Internet

Keberadaan Masjid Agung Mahmud Riayatsyah  di Batam ( insyaallah akan diresmikan September 2019 ini ) adalah sebuah peristiwa bersejarah. Paling  tidak ada tiga hal penting yang patut dicatat :

Pertama, keputusan memberi nama masjid agung itu dengan mengabadikan nama Mahmud Riayatsyah , sultan kerajaan Melayu Lingga, Riau, Johor dan Pahang yang pertama ( 1761-1812 ) itu adalah sebuah keputusan yang berani.

Kalau nama Mahmud  Riayatsyah itu diabadikan  di masjid yang ada di Daik, Lingga , tentu tidak begitu istimewa karena memang di sanalah Mahmud Riayatsyah bertahta sejak tahun  1787 sampai wafat 1812. Begitu juga kalau diabadikan pada mesjid raya di Tanjungpinang ibukota  propinsi Kepri karena Mahmud Riayatsyah pernah menetap dan beristana di Tanjungpinang ( di Ulu  Riau ) selama 36 tahun sebelum pindah ke Daik . Tapi mengabadikan nama Mahmud Riayatsyah itu di Batam, di sebuah kota metropolis  dan multi etnis itu tentulah memerlukan kelapangan dada  dan toleransi  yang besar dari berbagai  pihak untuk menerima sosok Sultan Melayu itu sebagai  jenama untuk fasilitas umum yang dibiayai oleh negara.

Memang pulau Batam itu dahulunya merupakan bahagian dari wilayah kekuasaan kerajaan Lingga,Riau,Johor dan Pahang. Memang Mahmud Riayatsyah  adalah pahlawan nasional, milik  bangsa Indonesia , yang namanya layak diabadikan. Tetapi dia adalah sosok Melayu yang secara kultural terkadang sulit  diterima di negeri ini, karena  Melayu pada hari ini dalam peta etnik di Indonesia hanyalah sebuah suku. Bahkan di Batam belum tentu adalah suku mayoritas. Hanya sejarah dan kesadaran budayalah yang mengakui keberadaan Batam sebagai sebuah negeri Melayu. Kecuali itu, sekarang ini semakin langka  masjid masjid yang dibari nama  dengan nama sosok sejarah. Kebanyakan memilih nama islamic yg menandai keberadaan peran dan fungsi masjid sebagai pusat ibadah ummat islam. Masjid Raya yang indah diatas bukit Dompak di Tanjungpinang , ibukota Kepri itu diberi nama Nur Illahi. Karena itulah keputusan menamakan masjid agung Batam itu sebagai Masjid Mahmud Riayatsyah sungguh keputusan yang bersejarah dan akan terus diingat dan dicatat dalam buku buku pelajaran di sekolah sekolah.

Kedua, keberadaan Masjid Mahmud Riayatsyah  itu adalah sebuah warisan kebudayaan dan menandai kebangkitan tamaddun Melayu Islam. Nilai historikalnya  kelak suatu hari akan  sama dengan keberadaan masjid  Penyengat Indera Sakti yang fenomenal itu. Mesjid yang tercatat dalam sejarah  sebagai masjid yang unik karena  dibangun dengan menggunakan putih telur sebagai  campuran semen dan nilai simbolik yg islami pada menaranya. Mesjid itu merupakan warisan kebudayaan Melayu  islam yang tak ternilai besar sumbangannya bagi kejayaan sejarah kerajaan Melayu Riau Lingga, meski masjid itu mula dibangun oleh Raja Abdurrahman, Yang Dipertuan Muda Riau Lingga ke-7 yang berdarah Bugis dan dilanjutkan oleh adiknya Raja Ali , YDM kedelapan. Sekarang ini di negeri yang mengaku sebagai jantung negeri Melayu ini sudah jarang ada warisan sejarah dan budaya yang bernuansa Melayu, meski para pemimpin puncaknya  adalah sosok Melayu atau yang merasa seorang Melayu. Apalagi misalnya memang belum ada ciri ciri khas yang bernuansa Melayu pada bangunan bangunan yang ada. Lihatlah kompleks kantor pusat pemerintahan propinsi Kepri. Dari udara terlihat sebagai gedung yang moderen. Agak berbeda misalnya dengan propinsi Riau yang masih mengekalkan selembayung sebagai ciri khasnya. Kononnya Perda tentang  bangunan berciri khas Melayu itu sedang diperdebatkan di DPRD Kepri.

Ketiga, Masjid Raya Mahmud Riayatsyah yang dibangun dengan biaya yang cukup besar itu, menandai adanya kemauan politik yang keras dari penguasanya , dalam hal ini Walikota Batam , untuk menjadikan masjid sebagai  warisan kebudayaan, serta adanya kesungguhan dari seorang pemimpin Melayu yang visioner. Sebab hanya bangsa yang besarlah  yang akan menghasilkan  kebudayaan yang besar dan bernilai sejarah dan menjadi tamaddun sebuah bangsa. Tamaddun besar itu lahir  dari bangsa atau kaum yang memiliki kekuasaan dan berkemampuan secara ekonomi. Dalam hal  ini, Walikota Batam telah menunjukkan kapasitasnya  sebagai seorang pemimpin yang tangguh,visioner dan bijak. Sosok pemimpin Melayu yang pada masa  ini semakin sulit dicari.


Saya tidak mempersoalkan  seberapa besar ciri khas kebudayaan Melayu dan Islam yang dipakai sebagai ornamen di masjid ini, karena itu bukan hal yang sangat esensial. Keberanian membuat keputusan dengan memandang jauh ke depan akan manfaat  dan faedah hasil keputusan itu bagi rakyatnya, bagi kaumnya itulah yang lebih penting. Keputusan yang bersejarah itu lahir dari niat dan kesadaran akan kekuatan yang dimiliki. Itulah filosofi  bangsa Melayu sejak dahulu kala. Lihatlah betapa bersejarahnya keputusan Sultan  Mahmud I ( Sultan Melaka terakhir alias  Marhum di Kampar ) yang membuat undang-undang pelayaran di era kerajaan Melaka dulunya, dimana undang undang itu dipakai di seantero dunia pelayaran di kawasan nusantara ini dan menjadi sumber dan referensi bagi negeri negeri lain dalam menyusun undang undang kemaritiman mereka.

Keberadaan Masjid Agung Mahmud Riayatsyah itu juga sekaligus mengkuhkan  visi dan misi Kepri sebagai Bunda Tanah Melayu dimana keberadaan  masjid agung itu menjadi penanda bagaimana  negeri yang pernah menjadi salah satu pusat imperium  Melayu itu menegakkan pancang penanda, panji kebesaran , serta upaya untuk mengekalkan suara keberadaan  budaya Melayu ini di tengah pertembungan berbagai budaya lain.

Shabas ! Karena kehadiran masjid agung Mahmud Riayatsyah ini lahir di era walikota Batam Mohd Ruddy, yang di komunitas melayu akrab dipanggil  Bang Ruddy itu , maka tabik dan tahniah lah Datuk Ruddy. Semoga membawa  barokah bagi kita semua.  Sekali lagi : Shabas !

Rida K Liamsi, Budayawan Melayu, saat ini bermastsutin di Tanjungpinang. Dapat dihubungi melalui surel : rliamsipku@gmail.com