Notice: Undefined offset: 4 in /home/u6048245/public_html/erdeka/metadata.php on line 20
Puisi adalah Realitas yang Tidur - Rida K Liamsi
 

Dari Pertemuan Penulis pada Helat Anugerah Sagang 2010

Puisi adalah Realitas yang Tidur

Budaya Jumat, 05 November 2010
Puisi adalah Realitas yang Tidur

Pertemuan penulis dengan tema Masa Depan Sastra Melayu yang ditaja panitia Anugerah Sagang 2010 di Hotel Labersa, Kamis (28/10) berjalan akrab dan bersahaja. Apalagi di tengah–tengah pertemuan yang dihadiri penulis-penulis sastra dari berbagai komunitas tersebut menghadirkan dua nara sumber ternama seperti Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri dan Budayawan Malaysia Ahmad Kamal Abdullah. Paparan keduanya mengguggah dan mampu memberikan pencerahan sehingga layak untuk diapresiasi.

SUTARDJI langsung menyentak pertemuan dengan mengatakan, “puisi adalah seperti apa yang diajarkan Tuhan kepada Adam untuk memberikan nama pada benda-benda.” Puisi bukanlah kumpulan kata-kata karena puisi harus memberikan nama-nama baru pada benda dengan makna lebih luas. Karena itu, ia menjadi dunia yang mandiri dan tidak familiar.

Kata-kata puisi yang diciptakan penyair adalah ilham. Tumbuh seperti bibit tanaman dengan subur untuk masa depan. Karena puisi merupakan nama benda-benda maka ia menemukan suatu jalan pelepasan untuk kembali ke realitas. Apalagi puisi adalah realitas yang sedang tidur. Kata-kata yang lahir tidak seperti kata dalam kamus yang impersonal alias tidak berkarakter sebab kata-kata dalam puisi memiliki historisnya sendiri. Salah satu contoh kongkrit dan belum ada lawannya adalah teks Sumpah Pemuda.

Menurut Peraih Anugerah Sagang Kencana 2010 tersebut, teks itu merupakan perayaan imajinasi yang diciptakan beramai-ramai pada 28 Oktober 1928 silam. Teks tersebut belum tertandingi hingga hari ini, karena saat itu, semua pemuda berkumpul, melupakan identitas kedaerahannya untuk sebuah kebersamaan bagi masa depan bangsa ini. Tidak ada muatan politis di dalamnya dan murni menjadi puisi sebab mampu memberikan inspirasi bagi kemerdekaan Indonesia.

“Puisi bukan bagian dari sejarah tapi mencipta sejarah sehingga berdepan-depan dengan sejarah. Jadi, puisi harus memberikan inspirasi bagi sejarah,” ungkapnya.

Penjelasan yang bernas dan mendalam itu seakan keluar begitu saja bak air yang tumpah dari sebuah cawan. Menyegarkan dan tentu pula memberikan inspirasi bagi penulis-penulis muda yang hadir pada pertemuan tersebut. Ditambah lagi, Sutardji mengatakan, tulisan puisi berada di atas tulisan. Ia menyembunyikan realitas sebagai upaya untuk melupa. Ia tidak berdialog dengan realitas sebab jika berdialog dengan realitas maka ia bagian dari realitas itu sendiri. Puisi berdialog dengan dunia lain (imajinasi, red) sehingga bersifat mandiri.

Di sini, Sutardji juga memberikan sejemput kisah perjalanan dunia sastra di masa-masa awal perkembangannya di Indonesia. Menyinggung tentang Surat Kepercayaan Gelanggang yakni sikap kelompok-kelompok sastrawan yang terkotak-kotak. Kelompok pertama percaya pada dunia barat sedang kelompok kedua menginginkan ke timur. Namun kepercayaan pada timur dikalahkan dan salah satu puncaknya adalah karya-karya Khairil Anwar.

Namun belakangan, penyair mulai mengambil keduanya yakni barat dan timur seperti karya-karya Darmanto Yatman (pencampuran dua bahasa, barat dan timur) sehingga menjadi familiar. Hanya pada 1970-an Sutardji dan beberapa penyair lainnya tidak lagi membicarakan barat dan timur dan kembali ke akarnya (culture, red). Sutardji mulai dengan puisi mantera dan membuat kredo sendiri untuk memberikan kesadaran pada lokal. Penyair harus berpijak pada buminya dan mulai membicarakan kulturnya.

Lebih jauh dijelaskannya, di masa-masa itu sebenarnya sudah tumbuh keinginan untuk mengembangkan semangat lokalitas lewat puisi-puisi. Namun semangat itu tidak mampu diterjemahkan/ditangkap pemerintahan Orde Baru (Orba) dengan bijaksana. Jika saja, saat itu Orba tahu dan memberikan keleluasaan daerah dalam mengurus diri sendiri maka kedatangan Otonomi Daerah tidak terlambat seperti hari ini. Akhirnya, hari ini banyak terjadi kebablasan.

"Pada 1970-an sudah berkembang semangat lokalitas lewat puisi-puisi hanya saja, tidak diketahui pihak penguasa sehingga hari ini banyak terjadi kebablasan,” tambahnya mengakhiri.    Sementara itu, Ahmad Kamal Abdullah yang akrab disapa Kemala mengatakan, orang Melayu hari ini memerlukan puisi-puisi yang mempunyai horison pengalaman luas, ruang kanvas yang tidak sempit dan tidak mengarah pada prasangka. Cita-cita kemanusiaannya yang positif dan daya estetikanya yang tinggi bisa membantu dunia yang kian bobrok dengan pembunuhan dan kebencian etnik seperti berlaku di Eropa dan Afrika. Wajar jika penyair memahami cita rasa bangsa dan manusia di dunia.

Pertanyaannya, sudahkah puisi Melayu modern dikenal dunia seperti bangsa-bangsa dunia mengenal pantun? Dalam kenyataannya memang menyedihkan, pembicaraan buku-buku kreatif pengarang Melayu belum pernah dibicarakan dalam kolom Times Literary Supplement, London atau tabloid-tabloid yang sifatnya populer. Tapi hal ini tidak menafikan bahwa kesusastraan Melayu, terutama klasik mempunyai kalayak dan sarjana sendiri.

“Menyedihkan memang sebab sastra Melayu modern tidak pernah dibicarakan dunia. Tapi kesusastraan Melayu klasik memiliki kalayak dan sarjananya sendiri,” ulas Penulis Kreatif, sarjana dan aktivis Malaysia tersebut.(fedli)