( Catatan Kebudayaan Penghujung 2009 )

Membangun Tradisi, Menjunjung Kreativitas

Budaya Selasa, 02 Februari 2010
Membangun Tradisi, Menjunjung Kreativitas

MEMANDANG Penyengat di suatu petang, Anno Domini penghujung 2009. Matahari bersimbah jingga, menyiram puncak-puncak menara Mesjid Sultan dan berdenyar di puncak-puncak menara telekomunikasi. Pepohonan kelapa melambai. Rumah-rumah panggung sayup dan senyap menunggu gelap. Ombak-ombak sisa hempasan kapal-kapal feri Tanjungpinang-Batam berdebur dan bernyanyi sepanjang musim.


Cuma itukah yang kini ada dan tersisa? Cuma itukah jejak sejarah dan tamaddun Melayu yang besar itu, yang  dapat disaksikan di sana setelah dua abad berlalu? Mengapa dahulu, di pulau sekecil itu, bisa lahir budayawan besar seperti Raja Ahmad, Raja Ali Haji, Haji Ibrahim Engku Muda, Aisyah Sulaiman, Raja Ali Kelana dan sederetan nama lain? Peri dan pekerti seperti apakah ketika itu yang membuat mereka para syuhada itu mampu menghasilkan karya-karya besar seperti  Gurindam XII, Bustanul Khatibin, Tuhafat an Nafis, Mukaddima fi intizam dan ratusan karya-karya bernas lainnya? Tradisi dan komunitas budaya seperti apakah yang tumbuh dan berkembang disana, sehingga dapat mewariskan jejak tamaddun  yang begitu monumental bagi generasi kemudian?

Itulah pertanyaan-pertanyaan kultural yang senantiasa muncul dan menggoda saya, setiap kali memandang Penyengat dari terap-terap wisata di bibir pantai Tanjungpinang. Renungan-renungan gelisah seperti itulah yang selalu merasuk hati saya, ketika berdiri di dataran monumen Raja Haji Fisabilillah atau dari Melayu Square atau dari restoran Sadap, ketika rembang datang, sambil menatap Penyengat beringsut menuju malam. Dan malam ini, dari podium ini, saya mengajak kita, menutup tahun 2009 ini, dengan renungan budaya yang demikian ini, sambil bertanya:  Apa yang terjadi pada kita? Mengapa jejak masa lampau Penyengat Indrasakti itu, tidak mampu lagi memberi kita inspirasi untuk menghasil karya-karya yang bersejarah dan monumental?

Tahun 1803, ketika Sultan Mahmudyah III membuat keputusan menghadiahkan pulau Penyengat Indrasakti kepada calon permaisurinya Raja Hamidah Ibni Raja Haji Fisabilillah, anugerahkan itu, tidak hanya berhenti hanya sebagai “sebuah mas kawin tanda cinta“. Tetapi  keputusan itu juga merupakan sebuah keputusan politik yang berdampak sangat luas  dalam sejarah jatuh bangunnya kerajaan Melayu Riau-Lingga. Sebab dalam keputusan itu, Sultan Mahmud juga menginsytiharkan, tentang apa yang  dia istilahkan sebagai “pembagian permakanan“ untuk Raja Hamidah dan saudara-saudaranya dan juga keturunan Bugis. Dan wilayah “permakanan”  untuk calon permaisurinya itu, ternyata tidak hanya pulau Penyengat, tetapi mencakup juga daerah lain disekitarnya sampai ke Pulau Tujuh (Natuna dan Anambas sekarang). Karena itu, keputusan itu, akhirnya, bukan saja telah dengan serta merta memberi dan menetapkan wilayah kehidupan ekonomi dan sosial bagi pihak Keturunan Bugis di kerajaan Riau Lingga ketika itu, tetapi juga untuk keturunan Melayu. Keputusan itu telah membelah wilayah kerajaan Riau-Lingga ke dalam wilayah sumber ekonomi keturunan Melayu dan Keturunan Bugis yang dalam perjalanan sejarahnya kemudian telah menegaskan: semua wilayah Kerajaan Lingga-Riau bermula dari pulau Penyengat dan sekitarnya sampai ke Natuna, adalah wilayah permakanan Raja Hamidah dan saudara-saudaranya serta keturunan Bugis lainnya, dimana pihak keturunan Melayu tidak boleh mengganggunya. Sebaliknya, mulai dari Daik sampai ke Singkep, senayang dan bahagian selatan, adalah daerah permakanan pihak  keturunan  Sultan dan puak Melayu lainnya, yang pihak Bugis tidak boleh mengganggunya.

Keputusan ini, dalam jejak sejarah jatuh bangunnya kerajaan Riau-Lingga lebih dari satu abad, adalah salah satu keputusan yang berdampak luas, baik dalam sistim politik, ekonomi, maupun  kebudayaan. Keputusan ini, dampaknya  hampir sama besarnya dengan Traktat London (1824) yang membagi wilayah Kerajaan Riau-Lingga-Johor menjadi dua. Sebahagian wilayah yaitu Singapura, Johor, dll nya di Semenanjung Malaka, menjadi wilayah Inggris dan sebahagian wilayah di Riau dan Lingga menjadi daerah kekuasaan Belanda.

Keputusan politik  “pembagian wilayah permakanan“ itu kemudian dalam perkembangannya, membuat kedua wilayah ekonomi itu menjalani nasib dan takdirnya masing-masing. Penyengat sebagai pusat pertumbuhan dan perkembangan, bersama daerah taklukannya, tumbuh dan berkembang sebagai wilayah ekonomi dan perdagangan yang sangat maju, karena mengambil imbas dari perdagangan Selat Malaka yang ramai dan strategis itu. Kawasan ini berinteraksi dengan pusat perdagangan yang dibangun Inggris di pulau Penang dan Singapura. Dalam perjalanan sejarahnya, wilayah ini menjadi sangat makmur sejahtera. Sebaliknya, wilayah Selatan dengan Daik sebagai inti wilayah, meskipun mempunyai sumber  penambangan timah dan hasil perkebunan lainnya, menjadi  wilayah yang stagnan dan bahkan mundur, karena berinteraksi dengan kawasan yang miskin dan jauh dari  pusat perdagangan yang berpusat di Batavia. Apalagi, Belanda memang tidak mewariskan sistim perdagangan yang terbuka dan seimbang, berbeda dengan tradisi perdagangan Inggris.

Kemudian daripada itu, Wilayah  pertumbuhan yang berpusat Penyengat ini mendapatkan momentumnya untuk bergerak maju, ketika Raja Djaafar yang ditunjuk sebagai Yang Dipertuan Muda Riau Lingga V menggantikan Raja Ali, menjadikan Penyengat sebagai pusat pemerintahan dan kekuasaan Yang dipertuan Muda. Ini keputusan yang sangat strategis dan visioner, berbeda dengan pendahulunya yang cendrung  memilih senegeri dengan Sultan atau memilih pulau kecil dan kurang strategis, seperti pulau Bayan yang dipilih Raja Ali.  Keputusan Raja Djaafar ini  telah menjadi motor penggerak yang  segera membawa Penyengat  dan wilayah taklukannya, bergerak ke depan dan memanfaatkan posisinya yang strategis itu untuk membangun ekonominya. Interaksi perekonomian  ini kemudian berbancuh dengan sistim politik dan moderenisasi pendidikan dan tehnologi, yang dibawa oleh Belanda melalui Tanjungpinang yang menjadi pusat keresidenan Riau-Lingga. Interaksi ini menumbuhkan sebuah jaringan kerjasama, sinergi ekonomi dan politik, serta proses akulturasi dengan dunia dan budaya sekitarnya, sehingga Penyengat  dan wilayah sekitarnya menjadi lebih berkembang dan cemerlang. Pengaruh kemajuan ekonomi, pengaruh kemajuan sistim politik dan era tehnologi ketika itu dan petembungan dengan perkembangan ekonomi dan budaya internasional, khususnya dengan kebudayaan Islam yang berpusat  di Turki dan Parsi, membuat Penyengat sebagai pusat pemerintahan Yang Dipertuan Muda mendapat arah dan kiblat bagi menumbuhkan tradisi budaya dan intelektualnya. Sebaliknya dengan Daik dan wilayah taklukannya, akhirnya makin terisolir, makin mundur, apalagi setelah Traktat London. Mereka harus dengan susah payah membangun aliansi budaya dan ekonomi dengan kawasan semenanjung Malaka dengan menggunakan peranan kaum kerabat dan puak Melayu lainnya, seperti Pahang dan Terengganu, yang secara ekonomi, politik dan budaya, tertinggal dengan Singapura , Johor dan Malaka. Karena itulah, di penghujung masa kerajaan ini, akhirnya ibukota kerajaan Riau Lingga itu, dipindahkan ke Penyengat, setelah darah Melayu dan Bugis menyatu dalam diri Sultan Abdurrahman Muazzamsyah.

Di tengah kondisi dan perkembangan yang demikian itulah tumbuh tradisi budaya dan intelektual yang membesarkan budayawan seperti Raja Ahmad. Lalu menurun ke anaknya Raja Al Haji dan para bangsawan Melayu Riau lainnya seperti Engku Muda Haji Ibrahim, Aisyah Sulaiman, Raja Mohammad Adnan,  dll. Di masa inilah tumbuh dan berkembang semangat menimba ilmu, sampai ke negeri Persia, Turki, dan Belanda. Di masa inilah tumbuh dan berkembang tradisi mencatat, menulis dan meriwayatkan, baik dalam bentuk sastra lisan, maupun tertulis. Di masa inilah tumbuh dan berkembangnya kreatifitas seni budaya, terutama sastra, seperti syair, pantun, gurindam, hikayat dan lainnya. Di masa inilah tradisi sastra lisan dan tulisan mendapat tempat dan berkembang. Mungkin, tepatlah kesimpulan selama ini: Di negeri yang kehidupan ekonomi dan pendidikannya berkembang, maka tradisi budaya dan keilmuannya juga berkembang. Itulah yang dimiliki Riau Lingga ketika itu, melalui pulau Penyengatnya. Itulah tradisi yang membesarkan Raja Ali Haji dan generasinya.

Dan sekarang, dua abad kemudian, tradisi dan semangat kreativitas apa yang berhasil kita pertahankan? Dari Penyengat Indrasakti, kini, mungkin hanya jejak sejarah dalam bentuk artifak dan tinggalan lama yang masih bisa dilihat, meskipun mungkin makin membisu dan menjadi warisan budaya yang membeku. Mungkin sisa-sisa kepustakaan dan naskah lama yang tetap terpelihara dan dicari para peneliti dan menjadi karya-karya sastra atau budaya menarik yang terbit di Malaysia, Leiden, atau lainnya. Tapi karya besar seperti Gurindam XII mungkin sudah sulit dihasilkan, kecuali tradisi membaca Gurindam dan syair (itupun kalau Raja Abdulrahman dkk dapat mewarisi tradisi itu). Sekarang, di Tanjungpinanglah, baik sebagai ibukota Propinsi Kepulauan Riau, maupun sebagai kota yang ingin mengukuhkan diri sebagai salah satu pusat budaya Melayu (maka menyebutkan dirinya Kota Gurindam), akan lebih banyak memainkan perannya. Penyengat menjadi masa lalu dan kota tempat dilakukan ziarah budaya. Tanjungpinanglah kota harapan membangun budaya masa depan. Membangun kembali kegemilangan dua abad lalu itu. Bisa kah itu diwujudkan  atau tinggal menjadi mimpi dan obsesi para pekerja seni, walikota atau gubernur nya ?

Belajar dari sejarah, terutama sejarah kerajaan Melayu Riau yang saya paparkan tadi, kegemilangan itu, hanya akan wujud kalau kita berhasil membangun tradisi. Tradisi budaya dan tradisi intelektual. Tradisi berkesenian, tradisi belajar dan menuntut ilmu sampai kemanapun untuk membangun kebudayaan itu. Tradisi menghargai karya-karya kesenian yang baik, yang besar. Tradisi menghargai para pekerja kesenian dan kebudayaan dan tidak membiarkan mereka menjadi gelandangan. Tradisi menghargai pikiran-pikiran dan gagasan besar tentang kebudayaan dan menempatkan mereka sebagai sosok terhormat. Duduk di dewan kehormatan, di dahulukan dalam  dalam serba urusan kemasyarakatan. Hanya tradisilah yang akan menumbuhkan kreativitas. Hanya tradisilah membuat sebuah jejak kebudayaan itu akan terus berlanjut dan berkembang. Hanya tradisilah yang mewariskan tamaddun dari satu generasi ke generasi seterusnya.

Sekarang ini untuk belajar membangun dan memelihara tradisi berkebudayaan itu, kita tak memerlukan bahang dan uap kemajuan  serta mencarinya jauh sampai ke  Turki atau Persia. Di Malaysia  (Johor dan Malaka terutama) kita  bisa saksikan bagaimana tradisi berkesenian dan berkebudayaan itu dibangun dan dipelihara. Di Jakarta dengan TIM dan Saliharanya, juga sebuah contoh bagaimana semangat berkesenian tetap tumbuh dan terpelihara dan dinilai perlu, meski dikota yang sangat keras dan materialistis. Kita semua dengan segala keterbatasan, sudah memulainya. Penghargaan negara seperti Ahli Mangku Negara (AMN) untuk seniman di Malaysia, adalah contoh bagai mana tradisi dan penghargaan itu menjadi cara menjunjung kereativitas. Di Jakarta, misalnya ada penghargaan Khatulistiwa, di Bali ada anugerah Empu Tantular, dan lainnya, termasuk Anugerah Sagang di Pekanbaru. Dan di Kep. Riau sekarang ini, ada anugerah Bulang Linggi. Mungkin kelak anugerah Engku Muda Raja Ibrahim untuk karya sastra, sama seperti anugerah Empu Tantular, dll. Inilah bahagian dari upaya dan membangun tradisi itu. Tetapi yang menjadi pertanyaan: Apakah itu bahagian dari strategi  pembangunan kebudayaan di daerah? Apakah tradisi ini terlindungi dan mendapat sumber dana yang memadai agar dapat terus dipertahankan? Apakah bukan hanya bersifat kebijakan dan melekat pada sosok yang berkuasa?

Kita memang harus terus menerus belajar dan bekerja keras untuk menyelamatkan semua warisan budaya, seperti pantun, seloka, gurindam dan lainnya, agar dia terus meneruskan memberi inspirasi bagi proses berkesenian, proses bersastra, proses berkebudayaan. Kita harus berjuang agar di sekolah-sekolah, mulai dari kelas paling rendah sampai perguruan tinggi, warisan kebudayaan itu tetap dipelajari dan memberi arti. Tetapi, sekali lagi, semua upaya itu tidak akan memberi hasil yang memadai, jika hanya selesai dalam seminar, dalam diskusi, apalagi kalau penuh caci maki. Kita harus punya tradisi, seperti yang sudah dirintis dan diberi contoh para budayawan besar dengan karya-karya besar mereka. Karya-karya itu harus dibukukan, dicetak, disebarluaskan. Dijadikan milik bangsa. Tak ada tamaddun besar yang dapat diwariskan dari satu generasi yang tidak mempunyai tradisi. Tak ada tradisi yang dapat dikekalkan, jika generasi pendukungnya miskin dan tidak berdaya secara ekonomi, serta kekuasaan yang tidak peduli.

Memandang Penyengat di suatu petang, kita membayangkan: Di pulau  1,3 km persegi itu, dahulunya sebuah tradisi budaya besar  pernah berkembang dan telah menyumbang warisan budaya yang tak terkira kepada budaya bangsanya. Sekarang, dari seberang Penyengat kita semua merenung, apa warisan budaya yang dapat kita  tinggalkan, yang membuat kita kelak dikenang?

(Disampaikan pada Pidato Kebudayaan di Tanjungpinang di penghujung  tahun 2009)