Menapaki Bukit Penuh Kilau di Wilayah Eksplorasi Freeport, Papua (3-Habis)

Menciptakan Resonansi CSR yang menggaung

Bisnis Rabu, 27 April 2011
Menciptakan Resonansi CSR yang menggaung

DON KARDONO, Papua

Apa kesan orang terhadap PT Freeport Indonesia? Anak perusahaan Freeport McMoran Copper and Gold itu? Tambang tembaga dan emas terbesar di dunia? Di atas gunung 4.200 meter dari permukaan laut? Bisa menatap kilauan salju abadi di puncak Jayawijaya?

Truk-truk sebesar gambreng, pengangkut batu-batuan yang ditambang yang masih tercatat sebagai truk terbesar di dunia.

Yang satu ban-nya saja seharga mobil All New CRV, sekitar 40.000 dolar AS.

Tinggi ban-nya, tiga kali tinggi badan saya. Ada sekitar 200 truk, yang tiap hari mengangkut 750.000 ton. Itu hanyalah kesan fisik yang mengendap di benak orang.

Saya sempat bertanya, mengapa mobil-mobil Ford Everest dan Toyota Land Cruiser yang beroperasi di sana, selalu dilengkapi antene bendera yang panjangnya lebih dari 2 meter menjulang? Di puncaknya diberi lampu flash berkedip-kedip menyilaukan.

Fungsinya apa? Saya baru tahu, rupanya itu pertanda ada mobil kecil. Karena lawannya ada truk-truk raksasa yang kalau menggilas dua mobil di atas, serasa sedang menginjak kerupuk saja.

Padahal, dua jenis mobil itu kalau di Jakarta, sudah tergolong mobil berbadan besar dan tinggi. Dua jenis mobil itu, juga selalu berwarna putih. Biar kelihatan kalau sedang parkir di proyek. Kesan lain yang acap ditangkap publik adalah mangkuk raksasa (grasberg) dengan jalan melingkar dari atas ke bawah.

Politisi Jakarta sering melihat pertambangan yang ditemukan oleh Geologis Belanda, Jean-Jacquez Dozy tahun 1936 itu dengan nada minor. Dari soal eksploitasi sumber daya mineral, sampai dampak lingkungan akibat eksplorasi itu.

Ada juga yang memandang dampak ekonomisnya buat negeri. Dibanding dengan nilai ekonomis yang lari ke tangan pemilik modal. Ada pula yang mengkritisi perpanjangan kontrak karya.

Isu-isu tentang lingkungan hidup, sistem pembagian hasil eksplorasi, dan hal-hal seperti di atas memang lebih nyaring didengar. Apalagi mereka yang belum pernah melihat historis perusahaan pertambangan yang timbul tenggelam itu.

Bahkan pernah nyaris ditutup, ketika cadangan mineral baru belum ditemukan dan dieksplorasi.

Tentu, itu hal-hal yang bisa menjadi bahan perdebatan panjang. Sesekali kita boleh menengok nada-nada mayor, apa saja kontribusi Freeport untuk negeri. Baik secara material maupun immaterial. Paling tidak, bisa dijadikan penyeimbang. Seperti timbangan, ada yang di kiri, ada juga yang di kanan.

Dalam sebuah perbincangan santai dengan Nurhadi Sabirin, Vice President Surface Maintenance dan Wahyu Sunyoto, Vice President Geotech Service, ada begitu banyak corporate social responsibility yang sudah dirasakan publik. Cuma, mungkin, resonansinya tak sampai ke Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia.

Soal ketenagakerjaan misalnya, Nurhadi menyampaikan, tahun 2010 saja ada 22.318 karyawan. Dari jumlah itu, 6.478 orang asli Papua, dan 22.381 orang Indonesia non Papua.

‘’Tenaga kerja asing hanya 2,08 persen, atau 475 orang. Perusahaan pertambangan ini sudah di-running orang-orang Indonesia. Tiap tahun ada 150 sarjana teknik baru yang direkrut dari berbagai universitas,’’ jelas Nurhadi.

Karyawan perempuan, kata dia, baik dari PTFI maupun kontraktor yang bekerja di sana terus meningkat, dari sisi kualitas dan kuantitas. Jika 2003 hanya 12 persen, maka 2010 jadi 14,77 persen. ‘’Menurut kajian LPEM-Universitas Indonesia, multiplier effect (dampak ganda) dari operasi Freeport juga cukup signifikan. Yakni menyumbang 1,59 persen PDB Indonesia, 60 persen PDRB Provinsi Papua, dan 96 persen untuk Kabupaten Mimika,’’ jelasnya.

‘’Perusahaan ini juga memberikan lebih dari Rp89 triliun pada PDB nasional 2009, membayar pajar sebesar 1,42 persen dari anggaran nasional,’’ tambahnya. Total pembayaran yang telah dilakukan Freeport selama 2010 sampai Desember telah mencapai 1.922 juta dolar AS atau sekitar Rp17,4 triliun dengan kurs saat ini.

Itu terdiri atas Pajak Penghasilan Badan sebesar 1.261 juta dolar AS, Pajak Penghasilan Karyawan, Pajak Daerah serta pajak-pajak lainnya sebesar 308 juta dolar AS, royalti 185 juta dolar AS, dan deviden bagian pemerintah 169 juta dolar AS.

Juru bicara PT Freeport Indonesia Ramdani Sirait menambahkan, perusahaan juga memberi kontribusi tak langsung.

Seperti investasi infrastruktur di Papua berupa kota, instalasi pembangkit listrik, bandar udara dan pelabuhan, jalan, jembatan, sarana pembuangan limbah, dan sistem komunikasi modern. Infrastruktur sosial yang disediakan perusahaan termasuk sekolah, asrama, rumah sakit dan klinik, tempat ibadah, sarana rekreasi dan pengembangan usaha kecil dan menengah.

‘’Jika dihitung, PTFI telah melakukan investasi senilai kurang lebih 6,6 miliar dolar AS pada berbagai proyek,’’ kata Ramdani. Guna mendapat stok tenaga terampil asal Papua, tahun 2003 PTFI mendirikan Balai Latihan Kerja dengan nama Institut Pertambangan Nemangkawi (IPN) di Kuala Kencana, Timika. Hingga kini sudah meluluskan lebih dari 1.500 siswa magang untuk bekerja di PTFI dan perusahaan kontraktor. Standar kelulusan di IPN cukup ketat, karena ada teori, praktik di peralatan simulator, dan praktik memegang alat langsung.

Truk-truk monster, yang ban-nya sebesar kingkong itu bisa diperagakan di ruang simulator. Mirip sekolah pilot, sebelum memegang kendali pesawat, harus lulus di depan layar yang skala dan posisi duduknya persis seperti di atas truk.

Bagaimana cara maju, mundur, belok kiri, belok kanan, sampai hal-hal yang amat presisi, semua diajarkan secara virtual.

Selain itu, lanjut Ramdani, PT Freeport Indonesia juga membuat komitmen selama lima tahun, 2010-2015 dengan nilai 1 juta dolar AS untuk penyediaan beasiswa pada mahasiswa Papua untuk meraih diploma di AS. Yakni program master dan program community college, serta program pengajaran bahasa Inggris untuk di sekolah-sekolah di Papua.

Komitmen itu dibuat melalui perjanjian kemitraan dengan American-Indonesian Exchange Foundation (AMINEF), yang merupakan cabang Bi-National Fullbright Commission di Indonesia.***