Kamis, 12 September 2024
Oleh DON KARDONO
Ketika monster ulat bulu jenis arctornis submarginata menakut-nakuti warga Probolinggo, Jatim, lalu menyebar ke Jateng, DIY, Jabar, Bali, sampai Bogor dan Bekasi, publik sempat galau.
Ini teror apa lagi? Apa perlu Densus anti-ulat bulu? Atau diperlukan tim Gegana, penjinak ulat? Ada baiknya belajar, sekalipun harus ke Negeri Papua!
Dalam sebuah diskusi kecil di Hotel Rimba Papua, saya sempat gambarkan betapa risaunya orang Jakarta dengan ulat-ulat berbulu itu. Meski jalannya tak secepat ular, tapi penyebarannya begitu gesit. ‘
Dari ujung timur Jawa, tiba-tiba sudah terbang mengepung ibu kota. Baru dengar cerita dan foto-foto ulat berbulu saja sudah membuat bulu kuduk merinding. Orang sudah ngeri bercampur jijik.
Sampai-sampai ada yang berpikir, ‘’Jangan-jangan ini pertanda kiamat sudah dekat. Tandanya banyak makhluk aneh-aneh.’’
Orang Papua pun tertawa mendengar kegelisahan semacam itu. Setidaknya Kerry Yarangga, Section Head Dept Kesehatan Masyarakat dan Pengendalian Malaria, PT Freeport yang jebolan Unhas Makassar.
Dia membandingkan bagaimana warga Papua harus ‘bersahabat’ dengan musuh dalam selimutnya, yakni nyamuk Anopheles dan Aedes aegypty!
Kedua nyamuk itu terus bermutasi dan makin cepat. Pil kina yang pernah diajarkan nenek moyang sebagai penangkal malaria, itu sudah terlalu usang dan tak mempan.
Jika kita minum pil kina, giliran nyamuk-nyamuk era BlackBerry di sana yang menertawakan: ‘’Hari gini masih pil kuno? Update dong! Plis deh!
Sampai-sampai Dirut JPNN, Rida K Liamsi yang ikut rombongan pun ikut dibuat trauma oleh ulah nyamuk yang isunya lebih ngeri dari aslinya itu.
Ke manapun, Chairman Riau Pos Group ini selalu mengoleskan cairan anti nyamuk di permukaan kulit yang terbuka. Kalau tidak, ya berjaket tebal, yang tak tembus moncong mulut nyamuk.
‘’Di Papua, diserang malaria itu seperti flu di Jawa. Biasa, tidak perlu kaget!’’ ucap Dokter Theodorus, Kepala UGD RS Mitra Masyarakat, rumah sakit yang merupakan perwujudan CSR PT Freeport Indonesia di Timika.
Tupono, Pemred Radar Sorong menambahkan. ‘’Nyamuk Anopheles paling hobi pada mereka yang berpakaian hitam-hitam!’’ ujarnya. Aha, saya anggap itu gurauan, karena saya pakai hitam-hitam.
Saya jawab: ‘’Pakai hitam? Siapa takut?’’, seperti iklan shampo anti ketombe saja. Rupanya, perbicangan itu makin membuat sebagian perwakilan Forum Pemred JPNN makin ‘tegang’ dan waswas.
Kerry Yarangga menyebut, predator tak boleh dimatikan fungsi dan perannya dalam ekosistem. Nyamuk misalnya, pihaknya menanam jenis ikan kepala timah, ikan yang menyantap jentik-jentik di rawa-rawa.
Sistem drainase juga diperbaiki, agar air tak tergenang lama. Hama ular, yang sering kali jadi pembunuh manusia, juga dipelihara burung-burung pemangsanya.
Istilahnya, cara alami untuk menjaga ekosistem dengan model parasitoida dan predator sebagai pembatas populasi. Itu sudah dilakukan bertahun-tahun dan dibuat proyek percontohan sebuah kota baru, bernama Kuala Kencana.
Kota yang didesain mirip kota-kota kecil di Amerika saja. Ada local wisdom (kearifan lokal), ada terpaan teknologi, dan antisipasi modernitas. Semua menyatu dalam lingkungan yang asri, khas hutan tropis di daratan Papua.
Hari Malaria, 24 April lalu diperingati khusus. Masih banyak endemi malaria di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa. Sementara tak banyak rumah sakit, sekalipun internasional, di Jawa yang dibekali dengan malaria terbaru.
Ketika panas tinggi, sampai 42 derajat celcius, diperiksa darah, dokter sering terkecoh dengan demam berdarah atau tifus.
Karena itu sering ada pertanyaan, dalam tiga hari terakhir, apa ada perjalanan ke Papua? Untuk memastikan dia dihisap oleh sejenis vampire Anopheles apa tidak.
Ada baiknya, pengembangan kota-kota baru, kawasan pemekaran, new development, itu belajar di Kuala Kencana Timika. Semampang belum terlambat, untuk memberi gambaran konsep kota masa depan yang pro lingkungan.
Jalannya lebar, ada bike track (lintasan sepeda), ada jogging track (lintasan jogging), ada saluran air besar, jaringan listrik bawah tanah, dan hutan kota yang dibiarkan bebas ditumbuhi aneka ragam kehidupan hayati.
Ada alun-alun pusat kota, ruang terbuka hijau, tempat main anak-anak dan keluarga. Ada pusat perbelanjaan, perkantoran, perumahan dan restoran. Konsep green city (kota hijau), itu tak hanya selesai di konsep dan materi promo.
Tapi terwujud dengan disiplin di sana. Bahkan, masuk ke kompleks itu harus menggunakan driving license (semacam SIM) sendiri, selain SIM yang dibuat Polres-Poltabes. Di lingkungan pemukiman, maksimal kecepatan 40 Km per jam.
Di kompleks perkantoran hanya 25 Km per jam. Sedang di jalur bebas, kecepatan dibatasi hanya 60 Km per jam. Bagaimana kalau melanggar? ‘’Pertama, kami kena denda Rp400 ribu. Lalu, kalau melanggar lagi, disuruh refresh, ujian lagi, tertulis dan praktik. Dan beberapa hari mobilnya ditempel tulisan ‘’belajar-latihan’’.
Kalau pelanggaran berat, satu divisi dikenai sanksi. Tak terima bonus semua!’’ aku Ramdani Sirait, juru bicara PT Freeport Indonesia didampingi stafnya, Branco.
Ramdani menambahkan, di wilayah Tembagapura ada aturan lagi dalam traffict management (manajemen lalu-lintas), yang beda dengan Timika. Pegawai yang mengendarai mobil harus memiliki lisensi pengendara baru. Batas kecepatan dikendalikan oleh sensor-sensor di beberapa ruas jalan.
‘’Karena lahannya berbeda, banyak tanjakan dan kondisi jalan tak diaspal sempurna,’’ jelas pria berkacamata yang hobi tenis lapangan ini.
Saat melihat foto-foto di Google, saya sempat membayangkan, seandainya bawa MTB (mountain bike atau sepeda gunung) ke sana bersama kawan-kawan. Lalu naik sampai ke grasberg dan ertsberg, dengan kereta gantung dan bus.
Menyusuri jalur melingkar di bibir mangkuk areal pertambangan itu tentu akan jadi peristiwa yang amat sensasional. Seperti velodrome alam yang tak ada duanya di dunia. Berputar-putar di atas tumpukan mineral termahal yang pernah ada!
Tapi, jangankan di grasberg dan ertsberg. Di Tembagapura saja, saya tak pernah melihat motor roda dua! Jalur dengan kemiringan 50-60 derajat itu memang tak terlalu bersahabat dengan biker. Di kawasan industri seperti Freeport, safety first jadi prinsip yang amat penting. Maka, jangan heran, kalau di kawasan khusus itu hampir tak pernah terjadi kecelakaan lalu-lintas!
Pengelolaan sampah di Tembagapura dan Kuala Kencana juga bisa dijadikan contoh. Mengapa partisipasi publik begitu sempurna. Buang sampah di tempatnya, santun di jalan, menghormati orang lain, dan nilai-nilai positif lain.
Mengapa ketaatan mereka seperti tumbuh dari dalam diri? Bukan terpaksa atau dipaksa oleh kekuatan eksternal. Freeport telah melakukan transfer budaya publik yang tertib, sehat, disiplin, saling menghormati, dan bersikap positif. Sebuah peradaban yang tak gampang dibangun oleh Pemda dan pemerintah pusat di negeri ini. Mengapa kota-kota di Indonesia Timur-Tengah tak mau berkaca ke sana?
Mengapa harus belajar jauh-jauh ke negeri Cina, atau studi banding ke kota yang jauh dan mahal? Memang, gajah di pelupuk mata kadang tak tampak, semut di seberang lautan begitu jelas.(bersambung)