Dari Seminar Nasional Persaingan Bisnis di Pasar Global

Waktunya Meletakkan Ekonomi di Bawah Kendali BUMN/BUMD

Bisnis Jumat, 23 Oktober 2009
 Waktunya Meletakkan Ekonomi di Bawah Kendali BUMN/BUMD
Foto: Rida K Liamsi saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Persaingan Bisnis di Pasar Global bersama Prof Dr Ir Darwin Sitompul (Guru Besar USU), dan Noraini Haji Omar Director of Internasional Patient?s Relation MMC

BUMN dan BUMD seringkali dianggap sebagai beban suatu bangsa karena dituding selalu merugi. Padahal hanya BUMN dan BUMD lah yang mampu memberikan harga yang murah dan terjangkau di era globalisasi dan pasar bebas saat ini. Mengingat keberadaan mereka di bawah kendali pemerintahan, pihak yang paling bisa melindungi kesejahteraan masyarakatnya. Selain itu, BUMN juga tak selamanya buruk, tergantung perhatian para pemilik. Buktinya kini lebih dari 50 persen PDRB Indonesia berasal dari laba perusahaan negara tersebut.

Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru andinoviriyanti@riaupos.com

Menurut Guru Besar Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Dr Ir Darwin Sitompul, Sabtu (16/5), globalisasi telah mendorong terjadinya demokrasi teknologi, demokrasi finansial dan demokrasi informasi. Artinya kini tidak ada lagi monopoli, siapapun atau kelompok manapun punya akses yang sama terhadap teknologi, finansial dan informasi.

Hal itu dikemukakannya di hadapan peserta Seminar Nasional Persaingan Bisnis dengan Sistem Informasi Manajemen dalam Menghadapi Pasar Global yang dilaksanakan oleh Magister Manajemen Universitas Riau, di Hotel Pangeran. Selain menghadirkan Darwin sebagai pembicara juga menghadirkan Director of Internasional Patient?s Relation Mahkota Medical Centre (MMC) Noraini Haji Omar, dan CEO Riau Pos Group dan CEO Riau Investment Corp Rida K Liamsi.

Darwin menyebutkan, demokrasi teknologi, memiliki makna setiap orang, dibelahan dunia manapun bisa menguasai teknologi terbaru. Misalnya kini semua orang bisa memiliki blackberry, i-phone, i-pod atau teknologi terbaru apapun. Begitu pula dengan demokrasi finansial. Asal punya uang, setiap orang bisa menjadi pemegang saham dari perusahaan manapun bahkan menjadi pemiliknya. Misalnya kini klub-klub sepakbola papan atas Inggris, kini bukan lagi milik orang Inggris. Tetapi milik orang Rusia, Amerika bahkan Timur Tengah. Terakhir, demokrasi informasi. Kini semua orang dapat mengakses informasi dengan cepat, mudah, dan murah.

Itu tentu saja menjadi peluang berharga untuk setiap orang, kelompok, maupun perusahaan untuk menguasai perekonomian suatu bangsa di mana saja. Lihat saja kini, bagaimana Mahkota Medical Centre (MMC), sebuah rumah sakit ternama dari negeri Jiran Malaysia, telah membuka cabang perusahaan di Medan dan Aceh yang berada di Indonesia. Menurut Noraini, itulah salah satu bentuk dari memanfaatkan era globalisasi dan pasar bebas yang memberikan peluang bagi perusahaan mereka berkembang, tidak saja di negara mereka tetapi juga di Indonesia.

"Lalu bagaimana dengan perusahaan Indonesia ? Apa perusahaan Indonesia bisa segampang perusahaan Malaysia masuk Indonesia ?" tanya Rida K Liamsi. Perusahaan Indonesia pasti tidak segampang itu bisa masuk ke Malaysia, tambahnya, karena negara Malaysia lebih memproteksi bangsanya dalam mengendalikan pasar bebas.

Sikap itu, seharusnya, menurut Rida juga harus dimiliki pemerintahan Indonesia. Indonesia tidak boleh membiarkan korporasi yang menguasai perekonomian bangsanya, karena kalau itu terjadi maka pemerintah tidak akan mampu menjamin dan melindungi kesejahteraan masyarakatnya.

Seperti halnya kini yang tengah di alami rakyat Amerika Serikat, yang kini perekonomian mereka sangat tergantung aturan sesuka hati yang dibuat oleh korporasi tersebut. Contohnya perusahaan pengeluar kartu kredit yang menaikkan suku bunga secara semena-mena. Masyarakat Amerika yang sudah sangat tergantung dengan penggunaan kartu kredit menjadi sengsara. Sementara pemerintah tak bisa berbuat apa-apa.

Menyadari hal itulah, barulah kini Presiden Barack Obama mengajukan rencana undang-undang tentang perlindungan terhadap para pemakai kartu kredit di Amerika, agar pengeluar kartu kredit tidak semena-mena menaikkan suku bunga. Campur tangan itu menunjukkan bahwa kini pemerintah memang perlu menjadi pengendali perekonomian suatu bangsa dan tidak membiarkannya hanya diatur swasta.

Sikap ikut campur dalam kegiatan ekonomi, namun tidak menghalangi pasar bebas seperti itulah yang diterapkan negara China, Malaysia dan Singapura. Pemerintahan di negara tersebut mengendalikan secara terus menerus kegiatan ekonomi pasar bebas agar tidak kebablasan.

Jika masing-masing negara kini telah mulai melakukan kendali pada pasar bebas di negara mereka, maka ke depan yang terjadi adalah persaingan negara, pemerintah dengan semangat nasionalisme global terbuka. Untuk menyikapi hal itulah, maka untuk menghadapi itu, menurut Rida sudah saatnya Indonesia mewujudkan Indonesia Incorporation. Agar ada kekuatan secara nasional yang mampu menguasaan korporasi dan persaingan dengan negara lain di era globalisasi tersebut.

Untuk mewujudkan Indonesia Incorporation itu maka Indonesia perlu memperkuat BUMN yang dimilikinya. Terutama memastikan bahwa hal-hal yang menguasai hajat hidup orang banyak, harus berada di bawah kendali perusahaan negara. Apalagi saat ini, BUMN tidak bisa disebut perusahaan negara yang selalu merugi. Pasalnya telah terbukti bahwa kini lebih dari 50 persen PDRB Indonesia merupakan laba dari perusaan negara. Terutama dari 12 BUMN hebat di Indonesia.

Dalam konteks Riau, maka Indonesia Incorporation juga harus didukung lewat Riau Incorporation. Jika di nasional memperkuat BUMN, maka di Riau harus memperkuat BUMD yang dimiliki. Sekali lagi Rida menegaskan, hanya perusahaan daerah dan negara itulah yang bisa dikendalikan oleh pemerintahan untuk menjamin dan melindungi kesejahteraan rakyatnya di era globalisasi saat ini.***