Potensi Ekonomi Kerakyatan di Riau

Bisnis Minggu, 19 Desember 2010
Potensi Ekonomi Kerakyatan di Riau

(Dilihat dari Aspek Sosial Budaya)

Oleh Rida K Liamsi
Ekonomi kerakyatan itu adalah sistim ekonomi, bukan lembaga pelaksana ekonomi. Jadi, ekonomi kerakyatan itu adalah sistim perekonomian yang berorientasi pada kepentingan kesejahteraan rakyat dan bukan dalam pengertian perekonomian yang dijalankan oleh rakyat.

Ekonomi kerakyatan itu adalah sistem ekonomi jalan tengah, yaitu sistim ekonomi yang dilaksanakan sebagai koreksi dari sistim ekonomi sosialis (keynesianisme ) yang berorientasi pada pengendalian ekonomi oleh negara, dan sistim ekonomi leberal (neolib ) yang berorientasi pada pasar (Friedman, dll).     Ekonomi kerakyatan itu adalah sistim ekonomi keynesian plus demokratisasi, dan sistim ekonomi  neolib minus keserakahan.

Ekonomi kerakyatan di Indonesia itu bersumber dari Pancasila sebagai dasar Negara di mana sila kelimanya menegaskan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat” dan UU Dasar 1945, khususnya pasal 33 yang menegaskan bahwa seluruh kekayaan bumi, air, dan udara harus  dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kemakmuran seluruh rakyat.

Ekonomi kerakyatan sebagai sistim perekonomian  belum pernah dilaksanakan secara penuh di Indonesia, karena pengaruh rezim politik yang memerintah. Di  zaman orde lama (Bung Karno dengan Ekonomi Terpimpin), di era Orde Baru ( Era Suharto dengan Trilogi Pembangunan: Pertumbuhan, Pemerataan dan Stabilitas), dan era Reformasi (Era SBY dengan  Desentralisasi  dan Privatisasi).

Ekonomi kerakyatan di Indonesia sulit diujudkan secara sempurna sesuai harapan, karena Indonesia sudah terperangkap dalam sistim ekonomi global penganut pasar bebas. Karena itu terjadi kepincangan kesejahteraan. Di mana 70 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) nasional dikuasai oleh 40 persen kalangan atas, dan 60 persen oleh kalangan menengah ke bawah. Selama 65 tahun merdeka, pendapatan rata-rata per kapita penduduknya baru USD 1500.

Untuk mengubah itu, perlu keberanian dan kemauan politik yang kuat. Demokrasi barat bukan cara yang tepat.

Ekonomi kerakayatan di Indonesia baru akan memberi dampak posistif jika melakukan tiga kebijakan utama. Pertama, menaikkan peran dan kontribusi Badan Usaha  Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) terhadap PDRB nasional sampai 65 persen (saat ini baru 35 persen) agar dapat menjadi tulang punggung ekonomi.

Kedua, membatasi kepemilikan investasi asing pada BUMN/BUMD strategis yang melakukan privatisasi  hanya maksimum 40 persen dari 33 persen program privatisasi. Selanjutnya memberi jalan bagi pengusaha/investor nasional untuk mengambil perannya.

Ketiga, menjadikan sistim ekonomi syariah sebagai kekuatan baru sistim ekonomi kerakyatan sebagai koreksi atas sistim ekonomi leberal.

Ekonomi Kerakyatan di Riau implementasinya lebih sulit dibanding daerah lain, karena peran pusat terlalu besar untuk melindungi sektor ekonomi strategis (minyak, gas, hutan, perkebunan). Kekuatan ekonomi yang tersedot ke pusat, membuat  tingkat pemerataan dan kesejahteraan masyarakatnya terabaikan.

Di Riau, meskipun sebagai menyumbang devisa negara paling tinggi, tapi pemerataan dan kesejahteraan masyarakatnya masih kurang dari rata-rata nasional. Misalnya dapat dilihat dari indikator kelistrikan yang hanya 42 persen, sementara rata-rata nasional 65 persen. Selanjutnya soal telekomunikasi baru 45 persen, padahal nasional 75 persen. Ketidaksejahteraan masyarakat Riau juga dapat dilihat dari angka pengangguran yang masih 40 persen lebih. Riau juga belum berswasembada beras.

Selain itu, meskipun pendapatan perkapita Riau masih USD 1.800 dan pertumbuhan ekonominya rata-rata delapan persen per tahun di atas rata-rata nasional yang hanya 5,8 persen, namun Riau tetap belum sejahtera. Hal itu karena kontribusi terbesarnya dari sektor pertambangan dan jasa yakni 45 persen dengan daya serap tenaga kerja rendah.

Ekonomi kerakyatan sangat potensial dikembangkan di Riau. Mengingat sistim sosial budaya masyarakat Riau yang sebahagian  besar adalah masyarakat berbudaya Melayu sangat  kondusif untuk mempercepat  pelaksanaan sistem ekonomi kerakyatan.  Terlebih kalau kekuatan ekonomi syariah bisa ditingkatkan, karena budaya Melayu identik dengan budaya Islam. Ekonomi kerakyatan di Riau akan mudah suksesnya, karena basis ekonominya adalah sektor pertanian dalam pengertian luas. Struktur ekonomi kelas bawahnya sangat kuat, karena peran UMKM nya sangat besar. Tapi selama ini telah terabaikan.

Selain itu ekonomi kerakyatan di Riau  juga bisa lebih berhasil dilaksanakan, jika ada kebijakan Riaunisasi. Artinya penguasaan aset-aset ekonomis dan strategis oleh daerah, terutama melalui BUMD-BUMD-nya, baik tingkat provinsi maupun kabupaten. Terutama disektor perkebunan dan industri, agar memudahkan memberi perhatian untuk membangun kekuatan ekonomi kelas bawah. Belanja pembangunan daerah diprioritaskan untuk memperkuat infrastruktur ekonomi yang paling banyak menyerap tenaga kerja sektor pertanian dalam pengertian yang luas.

Untuk membangun ekonomi kerakyatan, lembaga-lembaga keuangan, baik bank maupun non bank harus memberi keberpihakan bagi pembangunan ekonomi kelas menengah ke bawah (UMKM) dengan menetapkan minimal 45 persen pembiayaan bank diberikan kepada  UMKM agar bisa tumbuh dan berkembang. Dari sekitar Rp30 triliun dana pihak ketiga yang terhimpun di Riau, hanya sekitar 15 persen yang disalurkan ke sektor UMKM. Selebihnya dibawa ke Jakarta, atau diserap oleh perusahaan kelas menengah ke atas.

(Pokok-pokok pikirian Rida K Liamsi pada acara Seminar Hukum, Sosial Ekonomi yang berwawasan Pembangunan, Indonesia Malaysia Kini dan Hari Esok. Diselenggarakan oleh Riau Lawyer Club bersama University Teknikal Malaysia, Malaka).