Oleh : Rida K Liamsi

Belajarlah dari Sejarah

Aktifitas Jumat, 15 Oktober 2021
Belajarlah dari Sejarah
Rida K Liamsi

Wilayah administratif propinsi Kepri sekarang ini , dahulunya  adalah wilayah kekuasaan kerajaan  Riau Lingga yang dirampas Belanda melalui Perang Riau 1784.  Kerajaan ini ,  didirikan  Sultan  Sulaiman  Badrul Alam Syah, tahun 1722, dengan bantuan bangsawan Bugis Upu upu Lima Bersaudara ( Daeng Perani Bersaudara  ), sebagai penerus  Kerajaan Melaka dan Johor , bahagian dari lmperium Melayu, yang eksis di rantau  Melayu ini sekitar 8 abad.

Persekutuan dan persemendaan Melayu Bugis ini mengikat diri mereka dalam kontrak politik yang disebut "Sumpah Setia Melayu Bugis ". Sumpah  setia untuk berbagi kekuasaan, dan sumpah setia untuk tidak saling berhianat. Ibarat  mata kiri dan mata kanan . " Wahai  Sulaiman , inilah  aku Daeng Marewa,  Raja muda mu. Apa yang tidak kau suka melintang di depan  mu, maka aku bujurkan . Apa yang semak  di mata mu, aku cucikan " . Artinya , Daeng Marewa  sadar benar  , betapapun dia hebat , perkasa dan berkuasa serta memegang angkatan perang , dia  hanya seorang Raja Muda. Yang tunduk pada Sultannya. Hitam kata Sultan ya hitamlah. Begitu kiga sebaliknya.

Yang menjadi  Sultannya atau Yang Dipertuan Besar , ketika itu adalah  Tengku Sulaiman, dari pihak Melayu. Itu sumpah politik, berlaku sampai ke anak cucu. Itulah tamsil yang menjadi pedoman  dalam mengatur kekuasaan , siapapun yang  kemudian menjadi penguasa di  Negeri ini di kemudian hari . Yang melanggar dan berhianat , akan kualat dan akan menerima  padahnya. Dimakan sumpah besi kawi . Begitu kata sejarah. Begitu kata tuah dan petuah  di negeri ini , negeri yang oleh pihak  Melayu dan Bugis dinamakan  "   Segara Sakti , Rantau bertuah " .

Darah  biru Melayu itu tidak  boleh dilangkahi  . Bukti sejarah di kerajaan  Riau  Lingga ini sudah menunjukkannya. Juga di Johor , juga di  Melaka, di Pahang, Terengganu, Siak dan lainnya . Itulah tuah negeri Melayu , pewaris darah Sang Sapurba  dan Demang Lebar  Daun  itu.  Karena utu, ada semacam doktrin, atau kaedah, bahwa menjadi  Melayu itu tidak cukup dengan hanya hidup dalam adat istiadat melayu, berbahasa melayu, beragama islam. Tapi orang  yang asalnya bukan melayu , harus lebur dalam  darah melayu. Antara lain, menikah dengan orang berdarah melayu. Itulah yang misalnya dilakukan  oleh Raja Abdul Rahman ibni Raja Muhammad Yusuf Al Ahmadi.

Dia berdarah Bugis, karena keturunan dari Daeng Celak adik beradik dengan Daeng Marewa, meskipun ibunya, Tengku Embung Fatimah, berdarah  Melayu, anak Yang Dipertuan Besar Mahmud Muzaffar Syah. Tapi Dia tidak boleh serta merta menjadi Sultan Riau Lingga, karena  tahta Yang Dipertuan Besar itu hak orang Melayu. Maka dia harus " menjadi melayu " dulu dengan antara lain menikahi Tengku Zahara, puteri Tengku Usman, keturunan Mahmud Riayat Syah melalui cucunya , Sultan Muhammad Syah. Karena itu, menunggu prosesnya melebur menjadi Melayu itu, tahta kerajaan Riau dipegang sementara oleh ibunya, Tengku Embung Fstimah. Cukup lama, sekitar 3 tahun Tengku Embung Fatimah berstatus sebagai Sultanah , sebelum Raja Abdul Rahman boleh dinobatkan sebagai  Sultan.

Ada sebuah cerita menarik yang dikutip dari sejarah , yang  patut diambil pelajarannya. Satu ketika Tun Abu Bakar , Temenggung Maharaja Johor, ingin mengubah jabatannya dari Temenggung Maharaja menjadi Maharaja saja. Dalam posisi kuasanya ketika itu , dia bisa saja mengubah gelar dan jabatannya itu , karena Johor dan Singapura  ketika itu , sudah berpisah dari Riau dan Lingga. Tapi karena tuah dan daulat Melayu itu, dia datang menghadap Sultan Riau Lingga Mahmud  Muzaffar Syah, dan Yang  Dipertuan Muda Raja Ali.   Kedua penguasa itu, menyuruhnya bertemu dengan Pemangku  Adat dan penasehat Kerajaan, yaitu Raja Ali Haji. Minta pentunjuk. Minta nasehat. Minta ditabalkan. Begitulah. Kekuasaan dan ambisi politik mesti tunduk dan berlutut di depan tuah dan daulat. Di depan adat dan perlembagaan.

Karena Tuah dan daulat itu jugalah , maka  Sultan  Mahmud  Riayat Syah berjuang menyelamatkan  Kerajaanya . Dia   menyingkir ke Lingga. Dan wilayah  inilah  yang dipertahankan dan diperjuangkannya  selama 30 tahun agar lepas dari cengkraman Belanda.

Tahun  1795 dia berhasil menjadikan Riau Lingga sebagai kerajaan  yang merdeka lepas dari tangan  Belanda dan Inggeris. Tapi tahun 1818 , karena penerusnya, kalah dalam diplomasi  politik melawan Belanda, Riau Lingga kembali dikuasai Belanda. Menjadi negeri vazzal atau negeri pinjaman begitu istilah kolonial  Belanda, sampai  kerajaan ini tumbang tahun 1912.

Artinya, kalau sultan Mahmud Riayat Syah  dan Yang Dipertuan  Mudanya  Raja Haji Fisabillah tidak berjuang dan berdarah darah  , tidak ada wilayah yang menjadi wilayah administtasi Propinsi Kepri sekarang ini. Inilah  wilayah warisannya kepada  kita para penghuni Kepri sekarang ini. Kalau tidak karena perjuangan mereka , mungkin tak ada apa yg kita sebut Kepri ini. Mungkin kita hanya bahagian dari Siak, atau Jambi , atau Palembang, atau Pontianak. Karena itu , berterimakasih lah  kepada jasa mereka itu . Yang tidak  pandai berterima kasih  , akan  kualat dan dihukum sejarah.

Wilayah  inilah yang kemudian  di zaman kemerdekaan , diambil alih NKRI dari Belanda dan sejak 1949 menjadi  Kabupaten Kepulauan Riau.Dan tahun 2003 , menjadi  wilayah propinsi Kepri setelah berpisah dari propinsi Riau. Dalam kontek memahahi dan belajar dari sejarah inilah para pemimpin atau calon  pemimpin  di negeri ini , seharusnya rujuk dan menjadikan  jejak sejarah ini  sebagai wacana pemikiran  , sikap dan kebijakan politik .        

Dalam  posisi strategis  inilah sebuah Lembaga  Adat  Melayu  ( LAM ) Kepri menjadi penting. Untuk tempat rujuk, bertanya dan minta nasehat. LAM  bertugas  mengingatkan dan menjaga agar perjalanan sejarah negeri ini , negeri Melayu ini selalu menjadi laluan dan rujukan sejarah. Seperti kata Sejarawan Dr Susanto Zuhdi , hanya bangsa yang belajar dari  sejarah  secara arif , akan bisa membangun masa depan bangsanya dengan baik.

Ada sebuah realitas baru terjadi di Malaysia , salah satu negeri Melayu utama di rantau ini . Mereka belum lama  ini menyelenggarakan  Kongres Marwah Melayu. Dr Mahatir berbicara di forum itu lebih dari satu jam. Kongres ini adalah upaya untuk memperbaharui fatsun politik di negeri Melayu itu . Meletakkan kembali harkat dan martabat Melayu itu kepada kodrat dan iradatnya. Kembali ke  jejak sejarah. Berterimakasih  pada  sejarah. Mengambil tuah dari sejarah.

Kepulauan Riau bukanlah sebuah negara . Hanya sebuah propinsi . Tapi dari rialitas sejarah itu ,  Kepri ini salah dari kawasan Negeri Melayu yang ada di Indonesia ketika ini bersama dengan Riau, Sumut , Aceh, Sumbar, Jambi, Sumsel, Lampung, Jakarta , Kalsel, Kalbar dan kawasan lainnya yang ada di ceruk samudera mulai dari Laut Natuna Utara, sampai ke Laut Jawa. Dan  pepatah  tua mengajarkan kita : Di mana  bumi dipijak di situ langit dijunjung.

Sebagai  negerinya orang Melayu  , mari  kita renungkan hakekat dan esensi sumpah setia Melayu Bugis dan Iktibar sejarah yang diwariskannya. Bukan sebentar terjadi persemrndaan dan persebatian politik itu. Hampir dua abad. Sudah jadi darah dan daging. Ini salah satu akar dan semangat demokrasi di Indonesia. Bacalah Tsamarat Muhimma bagaimana seharusnya cara memerintah dan menjadi pemimpin itu. Intisarinya ? Bacalah Gurindam Dua Belas itu. Semoga !

2020/2021