Selasa, 08 Oktober 2024
Hai Maha Wai
Apakah duka ku akan sampai ?
Aku menyaksikannya di layar kaca, Kini dia terbaring kaku di tilam berlapis sprai putih
Di ruangan tamu beralaskan permadani
Sisa-sisa kebesaran budaya Melayu
negeri yang dipujanya sepanjang hayat.
Seakan tercium bau setanggi dan bahang kematian. Meruap dan menembus celah celah duka. Isak tangis dan suara Yassin.
Wajahnya tetap teduh meski tampak pucat
Sisa rasa nyeri dan ngilu empedu
Cambangnya tampak menggerutu. Kelabu memanjang dari arah dagu menuju telinga
Tak ada waktu untuk bercukur selama lebih seminggu terbaring di ranjang rumah sakit. Kumisnya yang makin meranjau tampak terkulai. Abu-abu menutup garis bibir yang terkatup . Masih ada sisa senyum, misteri hati seorang Datuk. Wajah yang murung itu seperti bayang bayang seorang Iqbal sang filsuf Muslim yang pikiran pikirannya seperti jembia. Berkilat menantang zaman. Teduh dan sabar.
Sosok itu terbujur gagah . Seperti pancang nibung yang rebah di lautan yang terhampar tempat beribu perahu datang dan pergi. Bertambat dan berlayar. Tak tampak lelah, apalagi kalah dan menyerah. Kerut lebam di dahinya menanda jejak waktu yang berlalu dan dia menjadi nakhodanya. Berlayar dan terus berlayar . Mengangkat dan melabuh jangkar dari satu bandar ke lain bandar.
Pernah suatu ketika dulu di Bandar Serai di suatu siang yang panas, di ruang senyap berbau asap . Di celah-celah papan yang tersingkap kami berbincang , bersembang tentang masa lalu, tentang masa depan dan tentang kematian. Dia menghela nafas dan memandang jauh ke ujung jalan, jalan Sudirman, jalan terpanjang dan seakan tak tahu darimana bermula dan di mana akan berakhir. Di jalan yang gemuruh mimpi terus menderu. Sepanjang waktu, seakan tak mau tahu bahwa zaman semakin rentan dan waktu telah menjadi seteru
: Bukan kematian benar yang mustahak dan mendesak di selak sibak . Sebab kematian bisa datang bila-bila saja , di mana saja. Dan dengan cara apa saja. Kita tak bisa menolaknya. Tak berhak menidakkannya. Itu misteri Illahi. Takdir yang kita tak menemukan jawabnya kecuali menerima. Apa adanya. Kita hanya sehelai daun di sijaratul muntaha yang hanya menunggu saat saat gugur. Tapi kita punya BILA, meski itupun rahasia. Dan itulah hidayah . Itulah masa yang meski sedetik kita lah yang merancangnya . Untuk apa , menjadi apa. Harus mengapa dan harus bagaimana. Bahagian takdir yang kita bisa memilihnya. Menjadi ruang sunyi dan mengasah pena menulis beribu puisi, melawan dengan kata-kata. Atau mengepal tinju, meneriakkan kata-kata. Mengasahnya jadi pedang dan pergi ke medan perang berdepan dengan pikiran sungsang. BILA itu hak kita. Kitalah yang menjadi tuan atau budaknya. Di tengah misteri Illahi kita boleh memilih dan kelak mempertanggung jawabkannya, seperti ayat terakhir surah Yassin yang perkasa.
Kini dia terbaring kaku. Pancang nibung yang telah rebah meski bukan kalah. Itulah takdir yang dia tahu akan datang kapan-kapan saja Di mana saja dan dengan cara apa saja. Tapi dia telah menyacak pancang di tengah laut kehidupan bersama karunia BILA nya. Pancang peradaban. Pancang Melayu yang tegak dan segak mengharung waktu. Entah berapa camar telah hinggap meninggalkan jejak di puncak tegaknya. Entah berapa perahu telah bertambat menambat lukanya di tegak cacaknya.
: Jangan terlalu bagak membangun jejak. Kita cuma sebuah kandil di pelantar budi. Tetap menyala adalah kerja yang tak serta merta mudah di kota kan daripada di ota kan . Itulah hakekat kita bijak dalam mensyukuri BILA kita. Itulah yang mustahak kita selak dan sibak. Sebab selain punya BILA kita punya Kata-Kata , meskipun dengannya kita juga boleh menjadi penghianat dan berdusta. Menodai BILA kita. Jadi, angkatlah pena atau asahlah pedang kata-kata. Selagi BILA kita masih ada. Jarak antara BILA dan Ketiadaan itu, hanya sekelip mata , hanya sepatah kata.
2021