Senin, 14 Oktober 2024
Sagang, Senin (29/4/2019), menyelenggarakan Dialog Kebudayaan. Tema yang diusung: Menimbang Posisi Kebudayaan Melayu dalam Kemajuan Riau ke Depan (Meneroka Riau Tahun 2045). Acara yang berlangsung sehari penuh di Balai Pauh Janggi, Kediaman Gubernur Riau. Peserta dari berbagai elemen hadir memenuhi jemputan dari panitia, baik dari kalangan budayawan, sastrawan, seniman, pelajar, tokoh masyarakat, penggerak dan pelaku kebudayaan, dan masih bayak lainnya.
Dialog Kebudayaan ini menghadirkan para pembicara yang terdiri atas tokoh-tokoh budaya, tokoh politik, akademisi, juga para pelaku sejarah. Tidak tanggung-tanggung, Yayasan Sagang juga mengundang pembicara pakar dari Malaysia dan Thailand. Mereka adalah UU Hamidy (akademisi), Dr Chaidir MM (mantan Ketua DPRD Riau), Prof Dr Ashaluddin Jalil MS (mantan Rektor Universitas Riau), Datuk Sri Al azhar (Ketua Majelis Kerapatan Adat LAM Riau), Prof Dr Datuk Zainal Kling (Malaysia) dan Ass Prof Dr Phaosan Jehwae (Thailand).
Drs H UU Hamidy, Dr H Chaidir, Prof Dr H Ashaluddin Jalil.
Dialog Kebudayaan ini diawali dengan sambutan sekaligus pidato kebudyaan oleh Wakil Gubernur Riau H Natar Nasution. Awalnya, kegiatan ini memang akan dihadiri langsung oleh Gubernur Riau, H Syamsuar Msi sesuai dengan rencana panitia dan Gubernur saat pertemuan-pertemuan sebelum acara dilaksanakan. Tapi karena ada hal yang tak bisa ditinggalkan, kehadiran Syamsuar diwakilkan ole Edy Natar dengan membacakan pokok-pokok pemikiran tentang kebudayaan Riau ke depan yang dikonsep langsung olah Syamsuar.
“Berbicara soal kebudayaan adalah berbicara tentang hal yang sangat penting. Kebudayaan suatu daerah atau negeri, sangat mementukan kemajuan daerah atau negeri tersebut. Dengan demikian, kebudayaan memiliki peran sangat penting dalam kemajuan Riau ke depan. Tidak bisa dipisahkan. Pembanguan di Riau tidak terlepas dari pembangunan kebudayaan itu sendiri,’’ kata Edy Natar saat membacakan pidato kebudayaan.
Moderator Fakhrunnas MA Jabbar bersama tiga narasumber Drs H UU Hamidy, Dr H Chaidir, Prof Dr H Ashaluddin Jalil.
Kegiatan Dialog Kebudayaan ditandai dengan pemukulan kompang oleh H Edy Natar, Ketua Yayasan Sagang Kazzaini Ks, Ketua Dinas Kebudayaan Yoserizal Zein dan seluruh nara sumber. Dilanjutkan dengan Dialog Kebudayaan sesi pertama
yang dimoderatori Fakhrunnas MA Jabbar dengan pembiacara UU Hamidy (akademisi), Dr Chaidir MM (mantan Ketua DPRD Riau), Prof Dr Ashaluddin Jalil MS (mantan Rektor Universitas Riau). Sedangkan pada sesi kedua menghadirkan pembicara Datuk Sri Al azhar (Ketua Majelis Kerapatan Adat LAM Riau), Prof Dr Datuk Zainal Kling (Malaysia) dan Ass Prof Dr Phaosan Jehwae (Thailand).
Drs H UU Hamidy
Berbagai pemikiran tentang posisi kebudayaan di Riau saat ini dan akan datang bermunculan dari narasumber. Datuk Seri Al azhar misalnya, dengan tegas ia mengatakan, “Posisi kebudayaan di Riau harus dirancang sedemikian rupa sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi. Tapi jujur, majunya kebudayaan di Riau saat ini, terutama melalui sni budaya, masih jauh dari keterlibatan pemerintah. Bisa dikatakan belum ada campur tangan pemerintah secara nyata. Gegap gempita, lebuk lebaknya kesenian, kesusasteraan yang menjadi bagian dari kebudayaan itu sendiri lebih banyak digerakkan oleh komunitas. Mereka berjuang dan bergerak sendiri.’’
Sementara itu, Dr H Chaidir menyebutkan, menempatkan posisi kebudayaan pada tempat yang layak dalam kemajuan dan pembangunan Riau saat ini maupun akan datang, harus dilakukan secara bersama-sama oleh berbagai elemen. “Kerja kebudayaan ini bukan kerja ringan, tapi tidak juga berat asal dilakukan bersama-sama. Pemerintah adalah pemegang kebijakan dan kewenangan, laksanakan fungsi itu sesuai dengan perencanaan yang matang. Begitu juga dengan berbagai pihak lain, dari berbagai elemen sampai akar paling bawah, guru dan siswa misalnya, harus mendukung gerakan kebudayaan tersebut,’’ kata Chaidir pula.
Ass Prof Dr Phaozan Jehwae dari Thailand.
Ass Prof Dr Phaosan Jehwae dari Thailand lebih banyak bercerita tentang bagaimana orang Melayu Patani, Thailand bisa mempertahankan bahasa dan kebudayaan Melayu di sana, meski di bawah tekanan musuh selama seratus tahun lebih. Hal terpenting yang tidak boleh dilupakan, katanya, yakni alif, ba dan ta. Tiga hal ini diwariskan secara turun temuruh oleh nenek moyang mereka kepada generasi seterusnya.
“Alif adalah Islam, Ba adalah bahasa dan Ta adalah tanah air. Tiga hal ini yang harus dijaga terus menerus agar kebudayaan Melayu tidak hilang. Tiga landasan ini harus kokoh dan kuat. Bagaimana kebudayaan Melayu akan kuat jika tanah air tidak dipertahankan, tanah dijual sehingga orang Melayu sendiri tidak punya tanah. Ini bahaya dan menggerus kebudayaan hingga habis tak berakar,’’ katanya pula.
Tak kalah pentingnya pemikiran yang disampaikaan Prof Dr Datuk Zainal Kling. Menurutnya, harus ada kekuatan kemauan yang kuat dalam mendukung dan terus berjalannya kebudayaan itu oleh pemegang kebijakan. Keseriusn itu kemudian ditransformasikan kepada semua pihak hingga garis paling bawah. “Dengan demikian, kebudayaan Melayu itu kuat hingga ke akar, berkembang dan maju dengan semestinya. Lalu menempati posisi yang layak dan kuat untuk memajukan sebuah bangsa,’’ katanya.
Wakil Gubernur Riau, Edy Natar Nasution menyampaikan sambutan dan pemikiran-pemikiran tentang kebudayaan Riau ke depan.
Dialog Kebudayaan yang berakhir pukul 16.00 WIB tersebut diwarnai dengan diskusi, tanya jawab dan perbincangan yang hangat. Tidak hanya persoalan-persoalan kebudayaan di Riau yang mencuat dengan jelas, tapi juga ada solusi yang mantap. Tak heran jika Ketua Yayasan Sagang, Kazzaini Ks, menyebutkan kalau kegiatan tersebut menjadi penting bagi Riau.
“Kegiatan Dialog Kebudayaan ini menjadi sangat amat penting bagi Riau, karena Visi Riau 2020 sebentar lagi akan berakhir, hanya tinggal menghitung bulan. Selain itu, sampai saat ini belum terdengar kabar gerakan atau gagasan untuk menyusun visi baru sebagai lanjutan dari Visi Riau 2020 tersebut. Itu belum lagi jika kita bicara tentang evaluasi terhadap Visi Riau 2020 yang sudah berlangsung selama sekitar 18 tahun. Apa yang sudah dicapai? Sejauh mana capaian itu? Apa kendala yang dihadapi? Tertangkap kesan, selama ini, Visi Riau 2020 hanya ada dalam pidato-pidato di setiap kesempatan. Visi Riau 2020 disusun dan ditetapkan pada tahun 2001. Akan tetapi, sudahlah. Mungkin itu titik lemah di masa lalu. Titik lemah yang tidak bisa ditimpakan hanya kepada satu pihak. Titik lemah itu menjadi tanggung jawab semua, para pemangku kepentingan di Provinsi Melayu ini,’’ katanya
Prof Dr Datuk Zainal Kling dari Malaysia.
Itulah sebabnya, sambung Kazzaini, Dialog Kebudayaan ini semestinya cukup menarik perhatian. Dialog Kebudayaan ini menyentak kita semua bahwa ternyata kita perlu segera memikirkan kembali grand design Riau ke depan. Grand design diperlukan agar pembangunan yang dilakukan memiliki arah filosofis dan idealis yang jelas. Sebuah cita-cita jangka panjang yang kemudian dijabarkan dalam program-program kerja jangka pendek, 10 tahun, lima tahun, bahkan per satu tahun. Implementasi dari grand design ini kemudian dievalusi secara terus-menerus, setiap satu tahun, setiap lima tahun, setiap 10 tahun, sehingga betul-betul dapat diukur capaian yang sudah diperoleh, kendala apa yang dihadapi, dan dicarikan solusi cara-cara untuk menghadapi dan mengatasinya.
Harus dipahami oleh semua kalangan, lanjutnya, bahwa grand design yang dibuat bukan untuk kepentingan hanya satu golongan. Sebab, pejabat bisa silih berganti. Setiap orang ada masanya. Paling tidak ada aturan masa yang membatasi. Oleh karena itu, perlu dipahami oleh semua kalangan, bahwa siapapun yang diberi amanah untuk memegang teraju lanjutan semestinya dan seharusnya tetap setia pada kesepakatan. Hal ini perlu disampaikan, karena ada semacam kebiasaan di negeri ini bahwa setiap penggantian pimpinan maka akan berganti pula kebijakan. Kalau tetap sikap seperti itu yang dilakukan, alamat kapal tidak sampai di tujuan.
Ketua Yayasan Sagang Kazzaini Ks menyerahkan piagam penghargaan kepada nara sumber.
“Kami memandang, kepemimpinan Provinsi Riau yang baru saat ini memiliki momentum yang sangat baik untuk melakukan ini. Jika hal ini tidak dilakukan, kita khawatir kita kehilangan momentum. Apalagi kita tahu perkembangan dunia saat ini begitu cepat. Jika lambat kita bersikap, maka kita akan menjadi gagap. Hal ini dinilai penting, karena ini menyangkut dengan nasib Riau di masa depan. Bukan nasib hanya sekelompok orang. Yayasan Sagang menawarkan tenggat waktu tahun 2045. Angka itu menandai 100 tahun Indonesia merdeka. Ketika sampai ke angka itu, bagaimanakah wajah Riau? Oleh karena Yayasan Sagang beraktivitas di bidang kebudayaan, maka Dialog Kebudayaan, Senin lalu itu, fokus pada kebudayaan. Kita berharap ada pihak-pihak lain yang membicarakan atau membuka dialog pada bidang-bidang yang lain pula. Dialog ini hanya sebagai langkah awal, mungkin hanya sebagai pelecut, hanya sebagai pengingat kita semua bahwa ada tugas yang sangat besar,’’ bebernya.(fed)
Laporan : KUNNI MASROHANTI, Pekanbaru